Jumat, 13 April 2012

MENEMBUS PINTU

Sungguh tragis nasib ketujuh penghuni rumah toko (ruko) “Brayan Jaya”, Jalan Yos Sudarso, Medan. Ruko penjual alat elektronik itu terbakar dini hari tanggal 10 April yang lalu. Jenazah mereka ditemukan petugas pemadam kebakaran di lantai dua ruko itu. Dalam peristiwa itu hanya Evrin yang selamat. Ia menyelamatkan diri dengan naik ke atap dan memberanikan diri loncat dari lantai 3. “Pintu masuknya saja berlapis-lapis, dan jendelanya saja banyak gemboknya. Jadi mereka terjebak dan tidak dapat menyelamatkan diri.” Kata seorang petugas pemadam kebakaran kota Medan.

Rasa aman terkadang menjadi bumerang. Menjebak diri sendiri! Banyak orang beranggapan dengan membuat pintu berlapis dan gembok yang canggih lalu berada di dalamnya akan merasa diri aman. Yah, aman dari pencuri dan orang jahat yang akan mengganggu diri maupun harta bendanya.

Rasa aman  itulah yang dibutuhkan oleh murid-murid Yesus. Beberapa hari terakhir mereka mengalami peristiwa dramatis-traumatis. Guru dan mesias mereka disiksa dan dibunuh atau tepatnya dibantai dengan cara brutal-sadistis! Kini mereka merasa terancam! Apa yang dilakukan orang saat dirinya merasa terancam? Setidaknya ada dua hal. Pertama, jika ia mempunyai kekuasaan maka akan mengerahkan segala dayanya untuk melawan ancaman itu. Tetapi sebaliknya, ketika ia tidak berdaya maka akan mencari tempat aman untuk menghindar. Sialnya, para murid ini berada pada posisi yang kedua. Tidak berdaya! Mereka memilih mencari tempat aman dengan mengunci diri dalam ruangan (Yohanes 20:19-23). Mereka tak berdaya secara fisik maupun secara spiritual. Keyakinan mereka terhadap mesias yang mereka andalkan sedang berada pada posisi titik nadir meskipun Maria telah menyampaikan berita kebangkitan itu. Hati mereka seperti pintu yang terkunci. Tidak percaya!

Ruangan yang terkunci telah menjebak para murid. Mereka tidak berdaya. Tidak ada yang dapat dikerjakan dalam ruangan terkunci itu selain kecewa, meratap, diliputi kecemasan dan ketakutan luar biasa serta menyesali diri. Di tengah suasana dingin mencekam, saat itulah Yesus hadir. Ia menampakan diriNya kepada para murid. Melalui kuasa kebangkitanNya, Yesus mampu menembus pintu yang terkunci. Yesus menyapa para murid yang resah, gundah-gulana itu dengan ucapan shalom, “Damai sejahtera bagimu!” kalimat itu berarti, “Kiranya Tuhan memberimu segalayang baik!” Ia pun memerlihatkan luka-luka bekas penyaliban yang menandakan bahwa yang muncul itu bukan hantu atau jasad banyangan. Sungguh Dia sendiri yang hadir. Kini sesudah kebangkitaNya, Ia Mahahadir.

Yesus tidak hanya menembus pintu ruangan yang terkunci. Namun, ia sangguh menembus pintu hati manusia yang dikuasai oleh belenggu maut: pesimis, ketakutan dan putus asa. Kuasa kebangkitan itu mengenyahkan kuasa maut. Para murid dipulihkan kembali. Kini Yesus secara resmi mengutus para murid. Dia menghembusi mereka dengan memberikan kuasa Roh Kudus agar mampu menunaikan tugas panggilan itu. Tidak dapat diragukan bahwa apa yang dilakukan Yesus terhadap para murid ini mengingatkan kita pada cerita lama tentang penciptaan, “Ketika TUHAN Allah membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi mahluk yang hidup” (Kejadian 2:7).  Inilah juga gambaran yang sama seperti yang dilihat oleh Nabi Yehezkiel di dalam lembah kematian, tulang-tulang kering, ketika ia mendengar Tuhan berkata keapada angin, “Hai nafas hidup, datanglah dari keempat penjuru angin, dan berhembuslah kepada orang-orang yang terbunuh ini, supaya mereka hidup kembali.” (Yehezkiel 37:9). Kedatangan Roh Kudus adalah sama seperti lahirnya kehidupan baru dari kematian.

Selanjutnya, apa dampak dari peristiwa itu di kemudian hari? Kita dapat menyaksikannya bagaimana para murid itu berkarya dan bersaksi. Kitab Kisah Para Rasul mencatat bagaimana Kuasa Roh Kudus itu menyertai para murid menyaksikan Injil Allah. Sehingga tercipta sebuah komunitas yang kian lama kian besar. Maut tidak lagi berkuasa atas komunitas itu. Itulah gereja! Gereja yang bukan sekedar lembaga keagamaan tetapi yang setiap anggotanya dengan gigih menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah.

Yesus tidak hanya sanggup menembus pintu ruangan yang terkunci. Ia mampu menembus hati manusia yang dikuasai oleh belenggu dosa dan maut. Setiap orang pernah melakukan kesalahan dan dosa yang merugikan diri sendiri atau orang lain. Dibutuhkan keberanian untuk merespon Yesus yang telah menembus hati kita. Keberanian untuk beranjak dari kuasa maut itu kepada kuasa yang menghidupkan. Banyak orang dalam hatinya telah menyadari akan kesalahan dan dosanya namun tidak cukup berani untuk melangkah kepada pembaruan hidup. Berikut ini sebuah kisah yang menarik untuk disimak: “Pahlawan atau pecundang?”

Di sebuah surat kabar Italia, muncul berita pencarian seseorang yang istimewa. Pada tanggal 17 Mei 1992 di tempat parkir Wayeli, seorang wanita kulit putih menjadi korban pemerkosaan pria kulit hitam. Sembilan bulan setelah itu, sang wanita melahirkan seorang bayi perempuan berkulit hitam. Ia dan suaminya tiba-tiba saja harus memikul tanggungjawab untuk memelihara bayi ini. Penderitaan itu bertambah ketika mereka tahu bahwa sang bayi menderita leukemia. Ia memerlukan transfer sumsum tulang belakang segera.

Ayah kandungnya merupakan satu-satunya penyambung hidupnya. Pasangan itu segera memasang iklan dan berharap pelaku pemerkosaan bersedia menghubungi Dr. Adely di RS Elisabeth. Berita mengenai pencarian orang ini membuat masyarakat heboh. Menjadi pembicaraan banyak orang. Masalahnya adalah, apakah si pemerkosa berani muncul? Padahal jelas, ia akan menghadapi kesulitan besar. Jika berani muncul, ia akan menghadapi masalah hukum, dan ada kemungkinan merusak rumahtangganya sendiri. Jika bersih keras untuk diam, ia sekali lagi membuat dosa yang tak terampuni.

Saat itu berita pencarian muncul di Napulese. Perasaan seorang pengelola toko minuman keras berusia 30 tahun porak poranda. Ia seorang berkulit hitam, bernama Ajili. Pada tanggal 17 Mei 1992, ia memiliki lembaran terkelam dalam hidupnya. Ia adalah peran utama dalam kisah ini. Tidak seorang pun menyangka, Ajili yang sangat kaya raya itu, pernah bekerja sebagai seorang pencuci piring panggilan. Tanggal 17 Mei 1992 adalah hari ulang tahunnya yang ke-20. Ia merencanakan pulang kerja lebih awal untuk merayakan hari ulang tahunnya itu. Namun, siapa sangka ia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari bossnya yang berkulit putih. Ia merencanakan pembalasan terhadap orang berkulit putih. Malam itu hujan lebat, tidak ada seorang pun yang lewat. Di parkiran ia bertemu dengan Martha. Untuk membalaskan dendamnya ia memperkosa Martha. Selesai melakukannya, Ajili panik dan ketakutan. Ia pergi ke Napulese, di kota inilah ia kemudian menjadi seorang yang kaya raya.

Lina, istri Ajili sangat terkejut, marah dan terluka. Ia tidak menyangka bahwa pria yang dicari selama ini adalah suaminya. Ia berteriak, “Kau pembohong!” malam itu juga ia membawa ketiga anak mereka pulang ke rumah ayah ibunya. Ketika Lina memberi tahu mereka tentang kisah Ajili kepada orangtuanya, mereka menasehatinya, “Benar, kita patut marah terhadap apa yang pernah dilakukan Ajili. Tetapi pernahkan kamu memikirkan bahwa perlu keberanian besar baginya untuk mengulurkan dirinya dan muncul? Hal ini menandakan bahwa hati nuraninya belum sepenuhnya tertutup. Apakah engkau mengharapkan seorang suami yang pernah melakukan kesalahan, tetapi kini mau memperbaiki dirinya ataukah suami yang selamanya menyimpan kebusukan di dalam hatinya?”

Mendengar nasehat itu Lina tepekur beberapa saat. Kini ia bangkit, kembali kepada Ajili dan menyatakan diri untuk menemani Ajili menemui Dr. Adely! Tanggal 8 Februari 2003 pasangan itu tiba di RS Elisabeth untuk pemeriksaan DNA. Hasilnya, Ajili benar-benar ayah Monika.

Pada tanggal 18 Februari 2003, dalam ruangan tertutup, Martha dan suaminya bertemu langsung dengan Ajili. “Maaf, mohon maafkan aku! Kalimat ini telah terkunci dalam hatiku selama 10 tahun. Hari ini akhirnya aku mendapat kesempatan dan keberanian untuk mengatakannya langsung kepadamu.” Martha menjawab, “Terima kasih kau dapat muncul. Semoga Tuhan memberkati sehingga sumsum tulang belakangmu dapat menolong putriku.”

Keesokan harinya, dokter melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang Ajili. Untungnya, sumsum tulang belakang itu sangat cocok untuk Monika. Dokter berkata dengan antusias, “Ini keajaiban!” Translantasi pun dilakukan. Seminggu setelah itu Monik boleh keluar dari rumah sakit dan dinyatakan sembuh.

Barangkali kita bukan pemerkosa seperti Ajili, atau pelaku teror yang menyebabkan bencana dan kematian. Namun, setiap kita pasti pernah melakukan dosa. Apakah sampai hari ini kita masih menyimpannya, menutup rapat dan menguncinya di dalam hati kita? Ingatlah Yesus yang bangkit itu telah menembus bukan hanya pintu terkunci, melainkan setiap hati manusia. Apakah kini kita punya keberanian sama seperti Ajili? Sudahkan kebangkitan Kristus membuat kita menjadi alat di tanganNya untuk menyalurkan kasih Tuhan, atau kita membiarkan untuk selamanya menutup pintu hati yang membuat kita menjadi pecundang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar