Jumat, 20 April 2012

KEBANGKITAN KRISTUS MEMBUKA SELUBUNG PIKIRAN

Perjalanan pulang dari Bandung ke Jakarta menggunakan jasa travel “Cipaganti” menyisakan pengalaman menarik. Duduk di samping saya seorang pemuda dengan karier di bidang marketing sedang naik daun. Ia bercerita tentang pengalamannya pertama kali merantau ke Jakarta. Di antar oleh bapanya dan didoakan dengan khusuk oleh sang eyang yang sangat menyanyanginya, maklumlah cucu laki-laki satu-satunya, anak bontot pula. Si pemuda itu bercerita tentang betapa baiknya si kakek pada dirinya. Di perantauan pun seringkali terbayang wajah si eyang itu. Jika ada kesempatan mudik tak lupa ia membawakan makanan atau barang kesukaan eyangnya. “Eyang, saya sudah berhasil bekerja di Jakarta, sekarang apa pun permintaan eyang akan saya usahakan.” Begitu ungkapan sayang si pemuda itu kepada kakeknya. “Eyang tidak mau minta apa-apa, kecuali minta kepada Gusti Allah agar kamu diberi kesehatan dan tetap berbakti kepadaNya.” Demikian jawab si eyang sambil mengelus kepala cucu kesayangannya itu.

Selang beberapa bulan setelah mudik terakhir itu, si pemuda mendapat kabar bahwa kakeknya meninggal. Karena tugas yang tidak dapat ditinggalkannya, akhirnya ia terlambat melihat wajah si eyang yang sangat dikasihinya itu. Jasad eyang sudah dimakamkan. Ia melanjutkan ceritanya: “Meskipun begitu, pak pendeta, saya bermimpi ketemu eyang. Eyang tampak bahagia dan ia berjanji akan menyertai saya! Janjinya itu benar loh, setiap saya menemui kesulitan dan banyak kompetitor yang berniat busuk terhadap saya, si eyang selalu muncul. Bukan mimpi tapi ia ada di dekat tempat tidur saya, tersenyum dan menjanjikan perlindungan! Saya sadar. Dalam ajaran agama saya, bisa saja yang kelihatan itu tampaknya eyang saya namun sesungguhnya itu adalah Jin yang menjelma sebagai eyang.”

Dalam kajian Ilmu Jiwa atau Psikologi, jika seseorang sedang mengalami depresi atau tekanan hidup yang dahsyat maka tidak mustahil ia merasa dapat melihat dan berkomunikasi dengan makhluk lain sedangkan orang lain tidak dapat melihatnya. Makhluk atau sosok itu diyakini dapat menolong membebaskannya dari dalam kesulitan atau tekanan hidup. Itulah Waham atau delusi. Waham adalah keyakinan kuat bahkan realitas yang terus dipertahankan oleh seseorang yang sedang bermasalah walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan tidak sesuai dengan fakta sosial yang sebenarnya.

Nah, apakah kemunculan Yesus dalam Lukas 24:36b-48 sama seperti kisah si pemuda teman seperjalanan saya itu? Bahwa kesulitan hidup yang sedang dihadapinya itu menjadikannya dapat melihat sosok sang eyang yang siap membantunya? Para ilmuwan rasional menyimpulkan bahwa peristiwa kebangkitan yang ditandai munculnya sosok Yesus yang dapat dilihat oleh para murid tidaklah jauh berbeda dengan waham atau delusi. Para murid mengalami depresi akut yang hebat dan tidak mustahil mereka terjangkit delusi. Penglihatan seolah nyata namun sebenarnya bukan realita! Benarkah sosok Yesus yang hadir di tengah-tengah para murid itu hanya sekedar delusi? Ataukah Yesus yang hadir di kamar atas itu adalah sosok “Jin” yang menyerupai Yesus?

Mari kita runut kisah “penampakan” Yesus menurut Injil Lukas 24:36b-48 ini. Kisah ini merupakan kelanjutan dari kisah Yesus yang menampakan diri kepada dua orang murid yang sedang menuju ke Emaus (Lukas 24:13-33). Kedua murid ini segera bergegas ke Yerusalem. Mereka berbagi cerita tentang perjumpaan dengan Yesus kepada murid-murid yang lain. Sementara itu juga, Simon juga telah melihat Yesus (Luk.24:34). Di kamar atas itu saya dapat membayangkan bagaimana gaduhnya para murid. Ya, saya kira bukan sunyi tetapi gaduh dengan pelbagai cerita. Para murid ini berlomba menyampaikan cerita tentang pengalaman mereka masih-masing ketika berjumpa dengan Yesus. Beberapa orang memang pernah merasa berjumpa dengan Yesus yang bangkit pada kesempatan yang berbeda-beda. Sangat mungkin yang mereka lihat dan alami tidak persis sama. Tentu saja di antara para murid ini ada yang merasa bahwa dirinyalah yang pertama kali berjumpa dengan Yesus. ada yang merasa paling dekat denganNya. Seperti ada kompetisi di antara mereka!

Pengalaman perjumpaan yang beraneka-ragam itu mengerucut pada satu inti, yakni Yesus sudah bangkit dan kini terus menyertai mereka. Namun untuk sampai pada titik itu tidak mudah. Mungkin sekali mereka masih saling meragukan pengalaman perjumpaan seorang dengan yang lainnya. Keraguan itu sudah muncul dalam Lukas 24:11. Ayat itu menggambarkan bahwa para rasul meragukan perkataan murid perempuan tentang Yesus yang bangkit sebagai omong kosong belaka. Demikian juga dua murid yang menuju ke Emaus sebelumnya meragukan akan berita serupa (Luk. 24:24).

Para murid membutuhkan waktu untuk mengelola pengalaman mengenai Yesus yang mati disalibkan dan bangkit kembali. Mereka butuh bantuan dari Sang Guru sendiri. Lambat-laun mereka mendalami pengalaman mereka dan makin bisa menghargai pengalaman satu dengan yang lain. Cerita tetang Yesus yang bangkit tidak selalu menjadi “ceritaku” yang harus di dengar oleh murid yang lain, mereka bersedia mendengar! Begitulah tumbuhnya iman kebangkitan ketika ada saling penghargaan satu dengan yang lain. Penghargaaan terhadap orang lain merupakan lahan yang subur untuk tumbuhnya benih iman kebangkitan.

Yesus terus memelihara iman para murid itu. Tiba-tiba Ia ada di tengah-tengah mereka, para murid terkejut dan menyangkaNya hantu. Saking gembira dan heran, para murid belum bisa percaya bahwa yang berhadapan dengan mereka ini bukanlah makhluk jadi-jadian, hantu, atau ingatan orang yang mati datang lagi. Yesus mengerti kebingungan mereka. Maka Ia menjawab keterkejutan mereka itu dengan menyodorkan luka-luka bekas penyaliban. Ia menyatakan diriNya bukan hantu, sebab hantu tidak ada daging dan tulangnya. (Lukas 24:39-40). Sekali lagi, untuk menyakinkan bahwa yang datang itu bukanlah makhluk halus, ialah dengan menguji menyuruhNya berbuat seperti orang hidup, yakni makan. Tentu saja para murid tidak berani mengajukan ujian itu. Namun, Yesus memberi jalan. Ia meminta diberikan makanan. Mereka kemudian memberikan sepotong ikan goreng.

Ikan merupakan hasil kerja para murid. Hasil kerja para murid itulah yang diminta oleh Yesus untuk dipakai sebagai batu uji bagi diriNya. Yesus yang bangkit itu berpijak pada kenyataan. Yakni, menikmati hasil jerih lelah para murid, suka-duka mereka dan juga kesederhanaan mereka. Yesus menyelami dan mengerti kesulitan para murid. Jelaslah penyataan Yesus ini menjawab dan menyakinkan para murid dan juga kita bahwa Dia bukan hantu atau Jin yang dapat berubah wujud seperti cerita si pemuda teman seperjalanan saya itu. Dia bangkit! Dia nyata, ada, bukan juga waham atau delusi!

Murid-murid kini boleh merasa lega, pikiran mereka sekarang menjadi “plong”. Selubung pikiran tentang dunia orang mati dan kuasa maut yang selama ini mengganjal dan membelenggu para murid kini terbuka. Mereka yakin dan percaya bahwa Tuhan mereka telah mengalahkan maut dan kuasanya. Kini mereka sehati untuk siap diutus membagikan sukacita itu kepada semua orang di segala tempat. Lihatlah betapa mencengangkan, Petrus dan Yohanes membawa kuasa kebangkitan Yesus itu untuk menyembuhkan orang lumpuh. Lalu Petrus dengan berani berkhotbah memberitakan Injil Yesus Kristus dan kebangkitanNya (Kisah Rasul 4:12-19). Mereka yang telah mengalami kuasa kebangkitan Yesus itu mengalami perubahan dasyat. Dari kehidupan yang berpusat pada diri sendiri, terpuruk dan frustasi kini terarah kepada Kristus yang bangkit dan memberdayakan orang lain. Si lumpuh kini bangkit berdiri! Si peragu kini dikokoh-kuatkan imannya.

Bagaimana dengan kita? Apakah kebangkitan Yesus itu telah menjadi mengalaman yang nyata? Ataukah kita masih berada pada aras teoritis dogmatis; mati-matian mempertahankan ajaran Yesus yang bangkit, namun tidak tampak dalam kehidupan kita? Ciri kita telah mengalami kebangkitan adalah hidup tidak lagi berorientasi pada diri sendiri; hanya diriku yang harus didengar, diperhatikan dan disanjung. Melainkan hidup untuk kemuliaan Tuhan dan memberdayakan sesama sebagaimana Yesus telah melakukannya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar