Selasa, 27 Maret 2012

SUDAH SELESAI (Jumat Agung 2012)

Menjelang libur semester, Eirene, anak kami diberikan tugas PR yang seabreg, banyak sekali! Mulai dari Matematika sampai Fisika, Biologi, PKN sampai Agama. Belum lagi ditambah tugas Sejarah, Bahasa Indonesia, Design Grafis dan tugas-tugas Komputer. Ia bergumam, “Yah, kalau gini caranya buat apa libur, mendingan sekolah aja deh!” Namun, satu per satu, tugas itu dikerjakannya juga sambil menggerutu dan berkelu-kesah. “Ah…,akhirnya selesai juga, lega rasanya!” Apakah yang dimaksudkan oleh Yesus menjelang ajalNya di kayu salib dengan berkata, “Sudah selesai!” (Yoh.19:30) mempunyai konotasi yang sama dengan uangkapan si Eirene ketika selesai mengerjakan tugas-tugasnya?

“Sudah selesai!” Banyak orang memahaminya sebagai sebuah ungkapan lega karena perjuangaan berhadapan dengan penderitaan sudah berlalu. Seorang yang sedang menghadapi penderitaan hebat karena sakit kankernya akan berharap segera penderitaan itu berakhir. Terkadang pasien-pasien seperti ini sering minta didoakan agar segera cepat dipanggil Tuhan. Sudah selesai! Atau orang-orang yang terhimpit dengan kesulitan ekonomi, pendapatan tidak menentu sementara kebutuhan hidup terus meningkat akibatnya memilih untuk menyelesaikannya dengan jalan pintas. Kasus-kasus bunuh diri atau membunuh orang untuk merebut hartanya merupakan cara yang dipandangnya logis untuk menyelesaikan masalah.

Tetelestai!” kata itulah yang diucapkan Yesus menjelang ajalNya. Tetelestai  berasal dari kata “telos”, yakni akhir yang merangkum perjalanan dari awal, yang memberi arti pada semua yang telah dilakukanNya. Rasanya Yesus hendak mengatakan, “Kini sudah terlaksana sampai utuh, paripurna!” Dalam bahasa Latin kata itu dituliskan “comsummatum est” berasal dari kata comsummare (dengan dua “m”). Comsummare berasal dari: con + summa: “merangkum semua jadi utuh. Kata itu bukan comsumare dengan satu “m” yang mempunyai arti “menghabiskan” (makanan, waktu, uang) yang ada hubungannya dengan konsumsi. Kata yang terakhir ini biasa kita dengar ketika seseorang telah lama mengidam-idamkan sesuatu kemudian kesampaian. Orang Jawa mengungkapkannya dengan kalimat, “Ya wis klakon.” Jadi ketika Yesus mengucapakan, “Tetelestai!” (sudah selesai) itu berarti apa yang telah dikerjakan selama hidupNya sampai berujung di kayu salib, merupakan ungkapan syukur atas seluruh penggenapan nubuat dalam Perjanjian Lama.

Ternyata untuk sampai pada kata tetelestai bukanlah perkara mudah. Yesus harus mengalami berbagai penderitaan dari sebelum Dia dilahirkan sampai menuju Golgota, bukit Tengkorak, lambang kematian yang mengerikan. penderitaanNya kian memuncak dalam masa-masa akhir hidupNya. Nubuat Nabi Yesaya digenapi di dalam diriNya. Yesaya 52:13-15, membuat bulu kuduk kita merinding. Yesus yang adalah Hamba Allah itu harus mengalami penderitaan luar biasa. Ia digambarkan memiliki rupa yang begitu buruk, sebuah kondisi yang menunjukan pada kerusakan yang luar biasa. Kita dapat membayangkan siksaan menjelang kematian yang dialami Yesus. Para pemimpin agama Yahudi yang menghendaki kematiaanNya, rasanya tidak begitu puas kalau Yesus cepat-cepat mati. Berkali-kali Yesus didera dengan cambuk yang diujung-ujungnya dipasang bola-bola besi yang mempunyai kait, sehingga setiap kali ambuk itu menerpa dirinya, kait-kait itu menancap pada kulit tembus ke dagingNya. Ketika ditarik pastilah kulit itu terkelupas dan daging itu sebagian terbawa oleh cambuk itu! Mahkota duri yang ditancapkan di kepalaNya sebagai olok-olokan prajurit menambah buruk rupaNya. Berkali-kali Ia jatuh memikul beban kayu salib sampai akhirnya tidak kuasa lagi memikul beban itu. Pantaslah kalau kepadaNya dinubuatkan sudah bukan seperti manusia lagi, nampaknya seperti bukan anak manusia lagi (Yesaya 52:14). Itulah luka-luka fisik yang dialamiNya.

Lebih menyakitkan lagi luka-luka batin. kepadaNya difitnahkan macam-macam tuduhan. Kesalahan yang dicari-cari. Meskipun Pontius Pilatus dengan tegas menyatakan tidak menemukan kesalahan pada diriNya (Yohanes 19:4) namun  para imam menghendaki supaya Yesus disalibkan. Pilatus tahu kebenaran, namun ia tidak kuasa menghadapi tekanan rakyat yang telah terhasut oleh para pemuka agama itu. Pilatus memilih cuci tangan. Hati Yesus pasti terluka manakala orang-orang yang menyambut dan mengelu-elukan Dia sebelumnya dengan kata-kata, “Hosana, Anak Daud!” kini kata-kata itu berubah menjadi, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” HatiNya pasti terisi-iris manakala orang-orang terdekat yang selama ini mengikutiNya mulai menghindar bahkan menghianati dan menyangkalNya. Lengkaplah sudah penderitaanNya untuk sebuah kata tetelestai! Untuk merampungkan penyelamatan bagi umat manusia!

Sulit kita memahami, mengapa untuk menebus umat manusia dari dosa, Yesus yang tidak mengenal dosa harus dikorbankan. Di manakah keadilan Allah? Di manakah tanggungjawab manusia yang telah melakukan dosa?

Jauh sebelum Yesus disalibkan, berbagai persembahan korban dituntut oleh Hukum Perjanjian Lama. Hukuman dosa dari dulu sampai sekarang adalah kematian. Ketika Anda berosa, Anda akan mati secara rohani. Itu berarti hubungan Anda dengan Allah terputus. Namun, belaskasihan Allah yang besar tidak menghendaki manusia berakhir dengan kematian kekal. Di dalam Perjanjian Lama, hewan korban dapat mewakili manusia yang berdosa. Sistem rumit dalam kitab Keluaran dan Imamat mungkin sulit dipahami dengan nalar manusia modern, tetapi sistem persembahan tersebut sebenarnya memberi petunjuk tentang kematian Yesus. Setiap persembahan korban di Perjanjian Lama mewakili manusia agar berkenan kepada Tuhan. Sebelum seseorang menyembelih hewan korban dan meletakkannya di altar, orang yang membawa korban itu akan meletakkan kedua tangannya di atas kepala binatang itu, yang merupakan pengakuan dirinya di hadapan Tuhan bahwa keadaan yang menimpa domba atau kambing ini adalah hukuman yang selayaknya ia terima karena dosa-dosanya. Makna edukasi dari ritual ini adalah agar manusia menyadari bahwa dosa itu membawa hukuman yang menyeramkan. Namun, alih-alih manusia menyadari dan mengerti makna ritual itu, ia berpikir: hartaku masih banyak, kambing, domba, lembu sapi masih banyak stock, oleh karena itu aku bisa melakukan dosa lagi dan membayarnya dengan korban persembahan!

Tuhan memberikan perintah-perintah khusus  berkenaan dengan jenis binatang apa yang boleh dipersembahkan. Orang tidak boleh membawa binatang yang kerdil, cacat atau sakit. Tuhan meminta salah satu binatang yang terbaik yang dimiliki. Lalu, bagi sebagian besar jenis persembahan, darah binatang tersebut dituangkan di samping altar dan binatang itu sendiri seluruhnya dibakar sebagai persembahan kepada Tuhan. Sekali setahun pada Hari Raya Pendamaian, imam besar membawa sedikit darah korban persembahan ke dalam Ruang Mahakudus di Bait Suci. Ia memercikannya ke atas tutup Tabut Perjanjian, yang menyimpan Sepuluh Perintah Tuhan. Ini dilakukan sang imam untuk mengadakan pendamaian bagi bangsa itu atas dosa-dosa yang mereka lakukan selama setahun.

Semua ini mungkin terasa sangat misterius, sulit dimengerti dan tidak relevan dengan kehidupan Anda. Tetapi sistem persembahan korban dalam Perjanjian Lama mempersiapakan konteks bagi kematian Yesus di salib. Dia datang untuk menjadi persembahan korban terakhir bagi dosa-dosa dunia. Dalam perkataan Yohanes Pembaptis, Dia adalah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia (Yoh.1:29). KedatanganNya sebagai persembahan korban terakhir yang sempurna bagi dosa juga menjelaskan pentingnya Dia harus menjalani hidup yang tanpa dosa. Tidak seperti para imam di bawah sistem persembahan korban. Dia tidak perlu membawa hewan persembahan korban bagi dosa-dosaNya sendiri. Sebaliknya Dia mempersembahkan diriNya (bnd. Ibrani 7:26-27). Jika Yesus manusia yang berdosa, persembahan diriNya sendiri tidak ada gunanya. Namun, karena Dia tidak pernah berdosa maka Dia dapat mati menggantikan kita sebagai korban penebus dosa. Sehingga orang dapat memandangnya bahwa sebenarnya dirinyalah yang patut dihukum. Namun, kini hukuman itu telah diambil alih oleh Yesus. Orang yang memahaminya pastilah tidak akan mengulangi dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Mengapa? Karena ia menyadari betapa mahalnya penebusan dosa itu. Anda tidak bisa membelinya, seperti membeli kambing atau domba!

Tetelestai! Sudah selesai! Sudah paripurna Yesus menyelesaikan tugas penebusan dosa. Berkaca dari apa yang dilakukan Yesus, maka kita pun mesti mempunyai tekad yang sama dalam mengemban misi kehidupan ini. Bila saat ini beban hidup terasa berat, perjuangan mengikut Tuhan tidak mudah, ingatlah apa yang dikatakan Yesus: tetelestai!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar