Kamis, 22 Maret 2012

MEMULIAKAN ALLAH DALAM PENDERITAAN (Prapaskah V)

Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” (Yohanes 12:24). Filosofi itulah yang meluncur dari mulut Yesus mana kala Ia berhadapan dengan orang-orang Yunani. Mengapa orang Yunani dan bukan orang Yahudi yang bertanya? Orang Yunani mewakili umat manusia yang bukan Yahudi, yang tidak termasuk ahli kitab, mereka yang mendapat wahyu ilahi turun-temurun. Orang Yunani kesohor sebagai bangsa yang gemar mencari hikmat. Filsuf-filsuf Yunani sudah populer ratusan tahun sebelum Yesus lahir. Maka tidaklah mengherankan kalau dari antara orang Yahudi maupun simpatisan Yudaisme yang hendak merayakan Paskah terdapat juga orang-orang Yunani. Kemungkinan besar orang Yunani ini telah melihat bagaimana aksi Yesus dalam membubarkan orang-orang yang berbisnis di halaman Bait Allah. Mereka ingin belajar apa yang sebenarnya menjadi filosofi dan perjuangan Yesus.

Yesus berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami. Biji gandum jika disimpan di dalam lumbung, ya tetap jumlahnya tidak akan bertambah. Namun, jika biji gandum itu disiapkan untuk menjadi benih, ia akan ditaburkan, ditutup atau ditimbun oleh tanah. Tampaknya mati! Apa yang terjadi beberapa hari kemudian? Benarkah biji gandum itu mati? Oh, ternyata tidak! Dari tanah yang sunyi itu muncul tunas, ada daun muda, perlahan-lahan tunas itu semakin kuat dan daunnya semakin banyak. Tunas itu kini menjadi batang gandum dan pada saatnya akan berbunga serta menghasilkan buah beratus kali lipat. Andai saja biji gandum itu dapat memilih. Ia tidak mau “mati” dan dipendam di dalam tanah, niscaya tidak akan ada tunas yang tumbuh lalu menghasilkan buah yang banyak. Biji itu tidak usah mengalami kedinginan lembab di balik tanah atau tantangan terik mentari. Hidupnya hanya untuk dirinya sendiri dan lihatlah kelak tidak pernah akan terjadi kesinambungan kehidupan.

Yesus itulah Sang Biji Gandum yang memilih mati demi kehidupan. Dia dapat saja mengelak untuk dikubur dan tidak usah mati, apalagi dengan cara mengerikan, disalibkan! Namun, itu tidak dilakukanNya. Ia memilih untuk mengosongkan diri dan tunduk kepada kehendak BapaNya. Dalam hal ini Yesus tidak disalibkan –sebab kalau disalibkan berarti Ia menjadi obyek - Yesus tidak menjadi obyek,  melainkan subyek, memilih untuk menempuh jalan itu. Ia tidak menjadi korban, melainkan seperti pemahaman kitab Iberani: imam Besar yang mengorbankan diriNya. Yesus sedari awal menyadari bahwa kematian melalui salib itu ibarat benih gandum yang terlihat seolah mati namun sebenarnya menyimpan potensi kehidupan. Di dalam Yesus orang kemudian melihat ambisi-ambisi yang pada umumnya menjerat manusia telah dikubur dalam-dalam. Di atas salib Yesus menang bukan atas kuasa Setan, sebab kuasa Setan sejak awal sudah dikalahkanNya. Ia menang atas diriNya sendiri. Yesus mengalahkan ambisi manusia. Ambisi untuk berkuasa, ambisi popularitas dan lain sebagainya. Dengan jalan penderitaan dan kematianNya, Yesus memuliakan Bapa-Nya. Ia taat bahkan sampai mati.

Gereja banyak memiliki figur. Para suhada, yakni orang yang dengan sungguh-sungguh bertahan dalam imannya walaupun harus menderita dan mati itulah yang membuat gereja semakin hidup dan bertumbuh! Sehingga ada ungkapan yang termasyur, “Darah para suhada/martyr merupakan benih dari Gereja.” Namun, sebaliknya ketika gereja berada dalam situasi yang aman dan nyaman cenderung membuat gereja seperti benih gandum yang tidak mau dipendam. Perpecahan dan pertikaian biasanya terjadi manakala gereja sedang terbuai dengan fasilitas kenyamanannya.

Seseorang dapat dipakai dengan sangat efektif oleh Allah manakala ia dapat mengubur atau mematikan ambisi-ambisi pribadinya. Anda dan saya tidak mungkin dapat memuliakan Allah jika dalam diri kita masih tersimpan potensi ambisius untuk pencapaian pribadi. Namun, bukankah hal yang wajar dan manusiawi bahwa setiap orang mempunyai ambisi. Ingin hidup nyaman dan aman? Bukankah ada banyak peluang untuk memuliakan Tuhan jika kita banyak uang dan fasilitas? Alasan atau tepatnya pembenaran seperti itu biasanya akan mengiring kita untuk tidak bersedia menjadi benih gandum yang siap dipendam. Belajar dari sikap Yesus, sebenarnya hanya ada dua pilihan: mau menjadi gandum yang siap dikuburkan atau hanya mau menjadi gandum yang tetap tersimpan di gudang. Seseorang yang mempunyai banyak alasan untuk menyatakan bahwa manusia membutuhkan fasilitas kenyamanan pada hakekatnya ia sedang mencitai nyawanya. Dan untuk orang yang seperti ini, Yesus katakan, “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya (Yoh.12:25a). Lantas, apakah hidup ini kita biarkan ceroboh, tidak mencintai diri sendiri? Tentu tidak! Yesus menjamin jika seseorang sungguh-sungguh berjuang di jalan Tuhan, mungkin saja ia menderita bahkan mati, tapi Tuhan menjamin, “tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.”(Yoh.12:25a).

Yesus mengatakan bahwa hanya dengan mengorbankan hidup (baca: kepentingan sendiri) orang akan mendapatkan hidup itu. Orang yang mencintai hidupnya (baca:memanjakan dirinya sendiri) terdorong oleh dua macam tujuan, yakni: oleh nafsu serakah egosentrisme dan keinginan untuk keamanan. Yesus beberapa kali mengingatkan bahwa orang yang memelihara hidupnya dengan cara demikian pada akhirnya akan kehilangan hidup. Tetapi orang yang mengorbankan hidupnya (baca: kepentingan sendiri) demi iman dan pelayanan terhadap orang lain justeru akhirnya orang yang seperti inilah yang mendapatkan makna hidup yang sesungguhnya.

Dapat kita renungkan andaikata tidak ada orang yang bersedia mengorbankan kepentingannya, semua sibuk dengan urusan dan egonya sendiri. Apa yang akan terjadi? Pastilah dunia ini lebih cepat berakhir dari yang semestinya. Semua tidak lagi peduli dengan lingkungan, etika, moralitas, belarasa dan sebagainya. Dunia dan kita berhutang banyak sekali kepada orang-orang yang menghabiskan kekuatannya tanpa perhitungan untung-rugi dan memberikan dirinya sendiri kepada Tuhan dan orang lain. Anda dan saya dapat memilih untuk sandai menikmati kenyamanan hidup dan fasilitasnya. Tidak dapat diragukan, kita akan menikmatinya. Namun, hakekatnya kita tidak pernah akan hidup!

Yesus mengajarkan bahwa hanya dengan pelayanan saja datangnya kemuliaan itu. Orang yang selalu diingat oleh dunia ini adalah mereka yang telah dengan sukarela berbagi cinta-kasih. Mereka yang melayani tanpa pamrih, memberlakukan orang lain dengan kasih sayang. Seorang wanita bernama Mrs. Berwick anggota gereja Bala Keselamatan Liverpool, ketika pensiun ia tinggal di London. Ketika pecah perang dan banyak serangan-serangan udara, orang-orang yang mengenalnya memikirkan bagaimana keadaannya dengan rumah yang teramat sederhana. Alih-alih memikirkan dirinya, Nyonya Berwick  merasa harus berbuat sesuatu bagi orang lain. Maka ia membuat peti kecil untuk memberi pertolongan pertama dan ia pasang pengumuman di jendela depan, yang berbunyi, “Jika Anda membutuhkan pertolongan, ketoklah di sini!” itulah sikap kristiani terhadap sesama. Ada alasan untuk takut, ada alasan untuk mencari rasa aman, sangat wajar Nyonya Berwick yang tua rentan tidak melakukan apa pun, tetapi ia tidak memilih diam. Dia hidup!

Yesus datang kepada orang-orang Yahudi dengan pandangan hidup baru. Orang Yahudi bahkan manusia pada umumnya sampai hari ini memandang bahwa yang disebut mulia itu adalah jika seseorang dapat berkuasa, menaklukan sesamanya dan berhak memerintah. Namun, Yesus menawarkan bahwa hanya melalui kematianlah datangnya kehidupan, hanya dengan pengorbananlah kita mendapatkan hakekat kehidupan. Hanya dengan pelayanan datangnya kebesaran dan kemuliaan. Mungkin Anda akan mengalami banyak ketidaknyamanan di dalam melakukan kehendakNya. Namun, percayalah jika Anda mengenal kasihNya, apa yang dianggap penderitaan atau kesulitan sebenarnya merupakan jalan Anda mengecap kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar