Kamis, 15 Maret 2012

DITINGGIKAN UNTUK MENYELAMATKAN (Prapaskah IV)

Meskipun kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) baru akan direalisasikan pada awal bulan April ini, namun aksi demo kembali marak. Mahasiswa, buruh dan masa menolak rencana pemerintah tersebut. Di beberapa kota aksi-aksi tersebut cenderung ricuh. Para pendemo umumnya mengingatkan pemerintah akan dampak buruk akibat kenaikan BBM tersebut. Kenaikan BBM akan memicu kenaikan harga barang atau jasa lainnya. Daya beli masyarakat kelas bawah pasti makin tambah terpuruk. Jumlah masyarakat miskin akan semakin bertambah. Belum juga BBM naik, kelangkaan BBM sudah terjadi di mana-mana, harga barang kebutuhan pokok sudah sulit dikendalikan. Kesengsaraan sudah menghadang di depan.

Tidaklah mengherankan dalam kondisi seperti ini kita sering mendengar keluhan masyarakat yang mengatakan, “Masih mending jaman Pak. Harto dulu, meskipun KKN ada di mana-mana, namun kebutuhan pokok selalu terjamin. Keamanan terkendali, tidak ada ancaman teroris, politik stabil.” Kondisi kepemimpinan yang tidak ajeg dan hilangnya orientasi perjuangan reformasi membuat sebagian besar orang memilih menghendaki kembali kepada situasi lama, walaupun sesungguhnya kondisi tersebut bukanlah kondisi ideal. Reformasi agar bangsa ini menjadi bangsa yang menjunjung nila-nilai demokrasi, kesetaraan hak, hidup tidak lagi di bawah kekangan rezim yang berkuasa seolah terlupakan begitu saja.

Di lain pihak, banyak orang memanfaatkan situasi labil pancaroba politis ini sebagai kesempatan untuk kepentingan sendiri. Banyak orang mengatasnamakan rakyat, namun sesungguhnya sedang memperkaya diri, kelompok dan golongannya terus mengerogoti bangsa ini. Para wakil rakyat, konon dipercaya sebagai juru bicara untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Sebagai wakil rakyat! Namun apa yang kini terjadi? Benar mereka wakil rakyat, namun dalam arti yang sama sekali bertolak-belakang dari yang diinginkan. Sehingga ada anekdot tentang wakil rakyat ini: “Jika rakyat ingin kaya, ya sudah kami wakili; jika rakyat ingin jalan-jalan ke luar negeri, itu juga sudah kami wakili, jika rakyat ingin ruangan, wc, tempat tidur dan gedung mewah, bukankah selama ini kami sudah mewakilinya? Ingin naik kendaraan mewah, kami sudah mewakili, pokoknya keinginan rakyat yang enak-enak sudah kami wakili! Para pejabat dan wakil rakyat ini diperjuangkan oleh rakyat, didukung bahkan dimuliakan dan ditinggikan oleh rakyat namun pada akhirnya bukan untuk menyelamatkan rakyat dari penderitaan melainkan mencari nikmat sendiri. Benar tidak semua wakil rakyat dan pejabat seperti itu, masalahnya seberapa banyak pemimpin yang berkarakter seperti Musa, yang membela umatnya? Nyaris tidak ada!

Keluhan umat atau masyarakat dalam keadaan sulit terjadi juga pada zaman Musa. Ketika Tuhan membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir menuju tanah perjanjiaan, tidaklah serta-merta kehidupan mereka berubah lebih baik. Mereka harus melalui perjalanan sulit melelahkan. Mereka harus keluar dari zona nyaman melewati lembah, gunung, gurun yang terjal, tandus dan ganas. Dalam kondisi seperti itu mereka berseru melawan Allah dan Musa, “Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak.”(Bilangan 21:5). Kesulitan itu membuat mereka lupa bahwa Allah sedang merencangkan hal yang baik. Bukankah hal yang sama terjadi dengan diri kita: sulit melihat rancangan Allah yang baik mana kala kesulitan menerpa. Ketika umat itu terus melawan Tuhan, Tuhan memberi peringatan berupa hukuman. Didatangkan-Nya ular-ular tedung. Ular-ular itu memagut mereka sehingga banyak di antara mereka yang mati. Kembali mereka kepada Musa dan memohon ampun. Menarik, Tuhan menyuruh Musa untuk membuat ular dari tembaga dan menaruhnya di sebuah tiang. Jika ada seorang yang dipagut ular, ia akan tetap hidup asalkan memandang ular tembaga itu. Konon lambang ular tembaga ini dipakai sebagai simbol apotek.

Apakah ular tembaga yang dibuat Musa itu mempunyai daya magis atau kesaktian tertentu sehingga orang yang dipagut ular tedung tidak mati? Saya kira bukan itu! Sayang di kemudian hari bangsa Israel memberhalakan benda ini, benda ini disembah sehingga akhirnya dimusnahkan oleh raja Hizkia (2 Raja 18:4). Bukan ular tembaganya yang sakti, namun spiritualitas di balik seseorang memandang ular tembaga itu. Ular-ular tedung adalah alat di tangan Tuhan untuk mengingatkan dan menghukum mereka yang tidak taat. Ular tembaga yang dibuat Musa juga adalah sarana di mana manusia yang sadar akan kesalahannya segera berhenti sejenak dan memandang ular tembaga itu. Bukan sekedar memandang, tetapi bagi yang telah terluka oleh gigitan ular tedung, mereka mempunyai keyakinan bahwa dengan memandangnya, arah pikiran mereka tertuju kepada Allah, mereka akan selamat. Jadi yang memulihkan adalah pusat perhatian mereka kepada Allah. Ular tembaga itu hanyalah syareat untuk mengingatkan kesalahan manusia sekaligus sarana pemulihannya.

Sejarah kehidupan spiritualitas kita mirip-mirip dengan perjalanan pembebasan Israel dari tanah perbudakan di Mesir menuju tanah perjanjian. Dalam konteks ini kita semua seperti orang Israel yang melawan Allah dan akibatnya dihukum dengan gigitan ular tedung, lalu mati. Kita telah jatuh di dalam dosa. Tidak ada seorang pun yang bebasa dari dosa (I Yohanes 1.8) dan upah dosa itu adalah maut. Memang kita tidak langsung mati secara fisik, namun mengalami kematian rohani. Jika pada jaman Musa, Allah meminta Musa membuat  ular tembaga, supaya dengan media itu orang yang seharusnya mati karena gigitan ular tedung tidak mengalami kematian. Kini kita percaya bahwa Allah juga  menyediakan jalan pemulihan untuk kita sekarang, Yohanes 3:14,15 mengatakan: “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” Allah menyediakan jalan itu oleh karena begitu besarnya kasih Allah (Yohanes 3:16) dan manusia pada dirinya sendiri –seperti orang yang digigit ular tedung-  tidak dapat menolong dirinya sendiri.

Sama seperti ular yang dibuat Musa tidak mempunyai kekuatan magis apa-apa di dalamnya. Hanya dibutuhkan ketaatan dan keyakinan. Maka hal serupa juga mestinya terjadi ketika kita memandang dan meninggikan Salib Yesus. Bukan an sich salibnya yang mempunyai daya magis atau kekuatan supranatural yang luar biasa, melainkan makna di balik salib itu. Maka salib tidak boleh diberhalakan. Salib menurut tradisi Injil Yohanes adalah jalan kemuliaan bagi Yesus di dalam menuntaskan karya keselamatan bagi umat manusia. Memandang dan meninggikan Salib berarti yakin dan percaya bahwa melalui karya penderitaan Yesus itulah dosa manusia ditebus.

Kata kerja “meninggikan” dalam bahasa Yunani adalah hupsoun. Dalam hubungan dengan karya Yesus, kata ini dikaitkan dengan dua peristiwa. Pertama, kata itu dipakai ketika Yesus diangkat di kayu salib (Yohanes 8:28; 12:32). Kedua, kata itu dipakai untuk Yesus yang diangkat atau ditinggikan ke dalam kemuliaan-Nya (Kisah Rasul 2:33, 5:31; Filipi 2:9). Bagi Yesus salib adalah jalan menuju kemuliaan. Percaya kepada salib Yesus itu berarti menjadikan salib itu hidup dalam diri orang yang mempercayainya, bukan percaya seperti pada berhala. Melalui salib, kita belajar dari Yesus tentang kerendahan hati dan ketaatan. Salib pada awalnya adalah hukuman yang memilukan dan memalukan namun, di tangan Yesus, salib telah menjadi mulia.

Manusia ingin dihormati dan dimuliakan. Tidak ada yang salah. Wajar! Yang salah adalah pemahaman tentang apa yang membuat orang dihormati dan ditinggikan. Saat ini umumnya orang beranggapan dengan uang dan kuasalah maka ia ditinggikan dan dihormati. Maka kuasa dan kekayaanlah yang dikejar manusia sampai mati. Dalam Yesus kita belajar, kemuliaan didapati justeru dengan kerendahaan hati dan ketaatan. Orang yang menghayati dan percaya akan karya salib Kristus mau tidak mau di dalam hidupnya terjadi perubahan. Perubahan itu nyata, dapat dilihat, dirasakan dan menginspirasi orang lain seperti apa yang dilakukan oleh Paulus (Efesus 2:1-10). Paulus mengingatkan jemaat di Efesus bahwa mereka, sama seperti dirinya dahulu adalah orang berdosa yang menuruti nafsu duniawi, berpikiran jahat dan selayaknyalah dimurkai tetapi oleh karena Allah di dalam Kristus yang penuh rahmat telah mengampuni dan memulihkan maka ia mengajak mereka untuk  mengerjakan pekerjaan baik yang telah dipersiapkan Allah sebelumnya. Bagaimana dengan kita? Apa yang sekarang sedang kita kejar dan kerjakan? Apakah pekerjaan-pekerjaan Allah atau keserakahan dan nafsu kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar