Sabtu, 10 Maret 2012

MEMBANGUN BAIT ALLAH DALAM TIGA HARI (Prapaskah III)

Pranata suatu komunitas masyarakat dunia umumnya dihubungkan dengan apa yang dianggapnya “Suci”, “Kudus” atau “Yang “Illahi”. Kedekatan dengan “Yang Illahi” itulah yang turut menentukan derajat seseorang dalam komunitas masyarakat tersebut. Semakin dekat seseorang berada dalam lingkungan yang kudus maka semakin tinggi derajatnya dalam komunitas itu (dunia sosiologi mengenal istilah: purity system). Dalam masyarakat Yahudi, tatanan strata sosial ditentukan dengan seberapa dekatnya seseorang berada dalam lingkungan Bait Suci. Boleh saja ia berkuasa atau kaya-raya, banyak uangnya. Namun, kalau dia seorang pemungut cukai atau seorang keturunan asing bahkan seorang kafir, masyarakat Yahudi tidak akan menaruh hormat. Semakin dekat seseorang dengan lingkaran Bait Allah, maka semakin tinggi derajat sosialnya di dalam masyarakat Yahudi. 

Ada ruang maha kudus. Ruang ini hanya dapat dimasuki oleh seorang imam, bukan sembarangan imam. Tetapi imam besar dan ada waktu khusus untuk masuk dalam ruangan itu. Maka kedudukan imam besar dalam masyarakat Yahudi menempati tempat utama sesudah itu para imam, kemudian orang Lewi, menyusul pria asli Yahudi. Sedangkan perempuan, pemungut cukai, orang asing, pendos yang melanggar Taurat serta kafir berada di tempat belakang.

Mengapa manusia cenderung menempatkan kedudukan seseorang dengan memandang seberapa dekatnya ia berhubungan dengan dimensi yang kudus itu? Oleh karena hanya manusialah yang mempunyai kesadaran tentang adanya dimensi yang illahi. Manusia pada umumnya percaya bahwa kehidupannya ditentukan oleh dimensi yang illahi itu. Yang Mahakudus itulah diyakini sebagai pemberi hidup dan yang menentukan jalannya kehidupan. Maka menjadi sangat penting untuk memfasilitasi kehadiran Yang Kudus itu dalam komunitas masyarakatnya.

Kehidupan masyarakat Yahudi tidak bisa dilepaskan dari konsep tatanan kekudusan yang berpusat pada Bait Allah. Karena Bait Allah lebih dari sekedar simbol kehadiran Allah, melainkan Allah sendiri yang berkenan menyapa umat-Nya. Sejak Raja Salomo membangunnya selama 46 tahun untuk menggantikan Kemah Suci pada abad 10 SM, Bait Allah telah menjadi pusat kehidupan Yahudi. Tidak mengherankan banyak cerita perkabungan dan ratapan ketika Israel ditaklukan oleh Nebukadnezar lalu ia menghancurkan Bait Allah. Bait Allah kedua dibangun kembali pada zaman Ezra-Nehemia sekitar tahun 536 SM dan selesai pada 12 Maret 515 SM. Dibutuhkan waktu dua puluh tahun lebih untuk membangun Bait Allah kedua ini. Kemudian Herodes Agung merenovasi dan memperluas Bait Allah ini pada tahun 19 SM. Namun, seluruh bangunan ini hancur oleh penyerangan pasukan Romawi di bawah Kaisar Titus pada tahun 70 M.

Bait Allah telah menjadi pusat kehidupan Yahudi. Di jantungnya kehidupan Yahudi ini, keempat Injil (Matius 21:12-13; Markus 11:15-17; Lukas 19:45-46; Yohanes 2:13-25) mencatat bahwa Yesus pernah marah besar. Kemarahan-Nya sangat besar. Ia membuat cambuk dari tali, lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba, lembu, uang penukar dan meja-meja mereka dijungkir-balikkan. Mengapa Yesus marah? Ada beberapa alasan, antara lain:

1.       Bait Allah atau Rumah Allah telah dinajiskan. Pada saat peristiwa Yesus marah di halaman Bait Allah adalah menjelang Paskah di mana saat itu berdatangan seluruh peziarah dalam hal ini orang Yahudi yang sudah aqil baliq dari berbagai penjuru dunia wajib datang ke Yerusalem. Mirip-mirip ibadah haji dalam kepercayaan Muslim. Mereka datang membawa pelbagai kelengkapan untuk ibadah. Umumnya mereka membawa uang masing-masing yang berlaku di daerahnya. Ada uang logam perak Roma, Yunani, Mesir, Tyrus serta Sidon dan uang perak Palestina sendiri. Tetapi pajak untuk Bait Allah diharuskan dibayar dengn mata uang Yahudi, yakni, uang shekel Galilea atau dengan uang shekel Bait Allah. Di sinilah para pemimpin agama itu melihat peluang. Mereka harus menukarkan uang dengan yang berlaku di Bait Allah. Mereka mengambil laba sebanyak-banyaknya. Orang yang mau beribadah mengalami pemerasan. Inilah pemerasan berjubahkan agama. Demikian juga dengan hewan yang dibawa untuk dikorbankan/dipersembahkan harus memenuhi kriteria tertentu. Hewan-hewan ini harus mendapat semacam sertifikat dari pemuka agama yang ditunjuk. Ya, mirip-mirip label halal, gitu. Biasanya ada saja kekurangan dari hewan tersebut jika di beli di luar lingkungan Bait Allah. Jadi untuk mudahnya, para penguasa Bait Allah ini bekerja sama dengan cukong hewan-hewan korban itu. Tentu mereka menjual berlipat ganda dibandingkan dengan membeli di luar lingkungan Bait Allah.
 
2.       Yesus marah oleh karena perlengkapan-perlengkapan ibadah, seperti: koin, hewan-hewan korban, dan pelbagai pernak-pernik tidak lagi dihormati sebagai simbol kekudusan. Akibatnya baik pengelola Bait Allah maupun orang-orang yang berkunjung ke sana memandangnya sebagai formalitas belaka. Di sini bahayanya kalau ibadah sudah terjebak pada formalitas. Manusia tidak mungkin mengalami perjumpaan dengan “Yang Kudus” itu. Alih-alih menghadirkan “Kerajaan Langit” yang penuh damai, sukacita, kasih, pengampunan, keadilan dan kebenaran, yang terjadi adalah semangat fanatisme sempit radikal yang siap menghunus pedang jika ada seseorang yang berani mengubah kultus ibadah.  Tak heran banyak sosiolog dan antropolog menengarai bahwa agama-agama formal seringkali menampilkan wajah garang dan sangar. Tidak lagi agama yang mengadirkan damai sejahtera.

3.       Yesus marah oleh karena halaman yang disediakan untuk orang yang tidak mengenal Allah diserobot untuk kepentingan bisnis. Markus mencatat “RumahKu akan disebut rumah doa bagi segala bangsa” (Markus 11:17). Bait Allah mempunyai beberapa skat atau halaman. Mulai dari yang paling luar sampai dengan yang paling dalam yang berpusat di ruang maha suci. Secara berturut-turut di sana terdapat halaman Orang Kafir, halaman Wanita, Halaman Bangsa Israel, dan terakhir Halaman Para Imam, serta Ruang Maha kudus.

Semua kegiatan jual-beli tersebut terjadi di halaman Orang Kafir.  Halaman itu adalah satu-satunya tempat di mana orang kafir boleh datang. Mereka dilarang untuk masuk ke halaman yang lebih dalam. Jadi kalau ada seorang kafir yang hatinya tersentuh oleh Allah, ia boleh datang ke Bait Allah tetapi hanya sampai ke Halaman Orang Kafir itu. Di situ ia boleh mengambil saat teduh, merenung, berdoa dan berhubungan dengan Allah dari jarak yang jauh.

Para pejabat Bait Allah dan para pedagang Yahudi telah menjadikan Halaman untuk Orang Kafir ini sebagai tempat yang gaduh dengan hiruk-pikuk orang jual-beli, sehingga sangatlah sulit orang Kafir yang tergerak mau beribadah itu bisa khusuk berdoa dan merenung. Suara binatang, gemerincing uang logam, teriakan-teriakan tawar-menawar, dan semua yang terdengar di situ telah menjadikan halaman itu tidak bisa lagi dipakai untuk beribadah. Apa yang terjadi di Halaman Bait Allah telah menutup kemungkinan bagi orang kafir yang datang mencari Allah. Jadi sebenarnya siapa yang kafir? Kafir berasal dari akar kata (kuffur)yang makna dasarnya adalah “menutup”. Dulu, sebelum Islam kata ini sering dipakai untuk mengambarkan seorang petani yang sedang menanam benih di ladang, menutup dan menguburnya dengan tanah. Sehingga kata kafir bisa diimplikasikan untuk orang yang menutup hatinya terhadap kebenaran, meskipun dalam KTP-nya tertera agama tertentu. Seseorang yang menutup akses bagi orang lain kepada sumber kebenaran berarti adalah biangnya kafir. Para pemuka agama berkolusi dengan cukong-cukong hewan korban, maka pada hakekatnya mereka sedang mengkafirkan orang sehingga tidak mendapat akses ke “Yang Maha Kudus” itu.

Jelaslah Yesus tidak bisa menutup mata melihat hal yang mengerikan terjadi di bait Allah. Yesus mengatakan, “Rombak Bait Allah ini dan, dalam tiga hari Aku akanmendirikannya kembali.” (Yoh.2:19). Marah! Itulah reaksi para pemimipin Bait Allah. Siapa rela tempat mendapat kedudukan terhormat dan cari uang akan dirombak atau dihancurkan! Mereka akan kehilangan semuanya. Sampai di sini para pemimpin agama itu masih memandang ibadah hanya sebagai formalitas. Maka ketika Yesus mengatakan demikian, mereka juga berpandangan Bait Allah sebagai sebuah gedung. Bukan hakikatnya! Yakni, sarana manusia berjumpa dengan “Yang Maha Kudus”. Bukankah kita juga terjebak dalam terminologi yang sama? Memandang rumah ibadah hanya dari sisi bangunan fisik. Ketika belakangan ini marak isu pelarangan tempat ibadah. Kita, yang ngotot membangun dan yang ngotot melarangnya sebenarnya telah terkooptasi, fokus pada sarana bukan kepada hakekatnya.

Yang dimaksudkan Yesus dengan merobak Bait Allah dan akan membangunnya kembali dalam tiga hari adalah mengacu kepada diri-Nya. Bahwa Ia sebentar lagi akan merampungkan tugas Bapa-Nya. Mangkat di atas kayu salib dan pada hari ketiga akan bangkit lagi. Hakekat Bait Allah adalah sarana perjumpaan Tuhan dengan manusia. Bait Allah yang menjadi simbol dan pusat peradaban Yahudi itu telah terjebak dalam formalitas, setidaknya pada zaman Yesus. Maka kini hakekat sarana manusia berjumpa dengan Yang Maha Kudus itu ada pada diri Yesus. Di dalam Yesus manusia dapat merasakan kedekatan dengan Sang Bapa. Tidak ada lagi sekat-sekat. Tidak ada lagi derajat status sosial. Semua orang bisa datang kepada Bapa, mengenal Bapa dengan intim melalui Yesus. Inilah yang Yesus maksudkan ketika Ia mengatakan, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti juga kamu mengenal BapaKu. Sekarang ini kamu telah mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” (Yoh.14:6-7).

Jadi jangan kita mengulangi apa yang terjadi di halaman Bait Allah. Yesus sudah membereskannya. Jangan lagi terjebak dalam formalitas hilang makna dalam ibadah. Temukanlah hakekat ibadah itu!
                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar