Kamis, 01 Maret 2012

PERJALANAN PENDERITAAN (Pra-paskah II)

Baru saja (Kamis, 1 Maret 2012) Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis terhadap Kasus Gayus HP Tambunan, pegawai Direktorat Jendral Pajak golongan III C dengan hukuman enam tahun penjara dan denda satu milyar rupiah. Kini muncul kasus “Gayus jilid 2” dengan tersangkanya Dhana Widyatmika yang diduga korupsi terkait perpajakan dan terindikasi melakukan tindak pidana pencucian uang. Tidak tanggung-tanggung karyawan setingkat Gayus ini diduga mempunyai kekayaan puluhan milyaran rupiah. Korupsi telah menjadi wabah sistemik dan struktural. Korupsi terjadi di mana saja, tak ada ruang steril di negeri ini untuk korupsi. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis data transaksi keuangan mencurigakan selama tahun 2011. Data mencurigakan itu antara lain: 166 orang dari kalangan eksekutif, termasuk kepala daerah terindikasi korup, 20 orang anggota legislatif terindikasi korup, jumlah ini akan terus membengkak karena PPATK masih meneliti 2000 transaksi mencurigakan lagi milik anggota dewan yang terhormat ini. Di kalangan penegak hukum ditemukan 29 polisi dan 12 jaksa terindikasi korup.

Mengapa praktek korupsi terus menjamur di negeri yang kata bangsa agamis dan religius ini? Tentu, jawabannya sangat variatif, tergantung kepada siapa dan pakar apa kita bertanya. Pakar hukum akan mengatakan, kurangnya wibawa penegakan hukum. Tidak ada efek jera yang diterapkan oleh sistem peradilan di negeri ini. Bandingkan hukumannya Gayus dengan seorang maling ayam, maling sandal atau maling buah kapuk. Seorang sosiolog akan mengatakan, budaya permisif, sistem politik yang lemah pengawasan yang longgar seolah mendukung sempalan sejarawan Inggeris John Emerich Edward Dalberg Acton: power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutly. Seorang agamawan mengatakan korupsi terjadi karena orang yang melakukannya tidak lagi peduli dengan iman dan nuraninya.

Saya kira kita sepakat bahwa korupsi terus membudaya, menggurita dan kian hari kian tak terkendali oleh karena manusia telah dirasuki budaya instant, ingin menggapai keinginan dengan jalan cepat dan tidak mau berjerih-lelah. Ingin kaya namun tidak mau susah memeras otak dan keringat. Ingin lulus cum laude tapi plagiat. Kalau bisa kosa kata “berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian” (bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian) dihapuskan saja. Hedonisme seolah menjadi bagian dan pujaan era modern. Buat apa susah, kalau ada pelung di depan mata! Tidak ada peluang pun dicari-cari. Tawakal, sabar sudah mulai memudar dari diri manusia jaman sekarang ini. Jarang kita jumpai saat ini ada seorang ayah atau ibu mengajari anaknya mengeja, membaca, mengajari menyelesaikan soal-soal PR-nya. Yang ada beli soal, cari bocoran, dan jawaban jadi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kini bangsa ini menghasilkan manusia-manusia yang tidak lagi mampu bertahan lebih lama dalam mencapai sesuatu yang luhur, mulia dan terhormat. 

Pada umumnya manusia menolak penderitaan. Tak tanggung-tanggung agama pun dipakai sebagai alat untuk mencapai kesenangan itu. Agama yang menjanjikan hidup sukses, pemecahan masalah secara singkat pasti digandrungi banyak pengikut. Agama direduksi, dipolitisasi untuk menjaring pengikut demi mencapai keinginan berkuasa. Dalam kazanah kristiani, banyak kita jumpai ajaran yang mengajarkan  kesuksesan dan penolakan terhadap penderitaan. Mau pandai, mau sukses, mau sembuh, mau jadi kaya, cukup dengan didoakan dan bayar persembahan! Aha! Instan bukan?

Petrus adalah sosok yang mewakili manusia pada umumnya. Menolak jalan penderitaan. Setelah sekian lama, Petrus mengikut Yesus. Ia menyaksikan apa yang diperbuat Yesus dan bagaimana respon orang-orang atas apa yang dilakukan Yesus. Banyak tanda-tanda ajaib, mujizat dilakukan Yesus. Maka sampailah Petrus pada keyakinannya bahwa yang diikutinya adalah Mesias. Ya, mesias versi dirinya dan versi komunitas Yahudi umumnya. Mesias yang dipandangnya berkuasa menaklukan semua lawan. Mesias yang gagah berani menghancurkan takhta kezaliman. Mesias yang berkuasa atas langit dan bumi. Mesias yang tidak mungkin dan tidak layak menderita!  Maka terkejutlah Petrus ketika Sang Mesias ini mengumumkan penderitaan yang harus dijalani demi menunaikan tuntas tugas Bapa-Nya (Markus 8:31-32).

Petrus adalah kita, mau mudah, instant dan mumpung. Mesias tentu sangat mudah membungkam para lawan dan dengan sekejap menegakkan kuasa-Nya. Namun, cara seperti ini ditolak Sang Mesias. Mesias menyebut cara seperti ini adalah cara Iblis yang hanya memikirkan kepentingan sesaat. Cara ini bukan cara Allah (Markus 8:33). Cara mudah, demi keuntungan sesaat akan berhadapan dengan Mesias. Maka setiap orang yang hanya memikirkan kepentingan sesaat, menghalalkan segala cara, melakukan penyelewengan terhadap kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan dalil mumpung berkuasa dan ada peluang, jelaslah orang-orang seperti ini tidak berada di jalan Tuhan bahkan menjadi lawan Tuhan. Ia akan kehilangan nyawanya. Ia tidak mungkin mendapat bagian dari kekekalan (Markus 8:36).

Sebaliknya, Yesus mengingatkan kepada calon dan atau pengikut-Nya untuk siap menempuh jalan yang sulit, jalan penderitaan, via dolorosa, seperti yang Dia peragakan. Ia mengatakan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut aku.”(Mrk.8:34a). Pendek kata, orang yang mau mengikut Yesus harus mau hidup seperti hidup yang dijalani Yesus. Tentu, bukan dengan memlihara jenggot panjang, pakaian jubah kumal. Bukan harafiah, tapi memilih jalan taat kepada Bapa-Nya. Taat pada janji-Nya, hidup tidak berorientasi pada pemuasan hasrat diri. Dan itu jelas tidak mudah karena kita dituntut untuk menyangkal diri!  

Penderitaan atau salib yang dimaksud Yesus tentu bukan penderitaan yang dibuat sendiri. Tidak semua penderitaan dapat dikatagorikan sebagai “memikul salib”. Anda korupsi, seperti Gayus, kemudian dihukum dan dihujat orang banyak, Anda menderita, jelas yang begini bukan memikul salib. Anda naik sepeda motor, tidak pakai helm, melanggar rambu dan marka jalan, kemudian Anda mengalami kecelakaan, kini meringkuk di rumah sakit. Harta Anda habis untuk biaya pengobatan. Anak dan isteri terlantar karena Anda dipecat. Semua jadi menderita, jelas yang begini Anda tidak sedang memikul salib! Tapi, maaf kata, Anda sedang konyol!

Memikul salib adalah ketika kita taat dan setia di jalan yang dikehendaki Tuhan. Melakukan kehendak-Nya meski seringkali dicibir orang. Dibenci orang lantaran Anda punya pendirian tentang kebenaran. Berupaya, bekerja dengan tekun, berpeluh keringat di jalan yang halal, meskipun rejeki hanya pas-pasan untuk setiap harinya. Menolak berkompromi untuk mendapatkan materi dan kemudahan. Menantikan dengan taat janji-Nya, seperti Abraham terus menantikan janji Allah. Konsisten dengan apa yang dipercaya walaupun seolah kehidupan tidak berpihak kepada kita. Di situlah Anda dan saya sedang memikul salib. Di situlah Anda pantas disebut suhada. Anda sedang berjihad di jalan-Nya!

Bagi orang-orang yang mengenal karya Kristus melalui jalan penderitaan yang membuahkan hasil pendamaian manusia dengan Allah. Memikul salib bukanlah beban. Melewati penderitaan demi komitmen kesetiaan adalah anugerah. Salib bukanlah beban melainkan sukacita, sebuah kehormatan dari Allah. Syukurlah akhirnya Petrus memaknai dengan cara pandang Allah, bukan cara pandang manusia. I Petrus 2:19-21, “Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. Sebab dapatkah disebut sebuah pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah. Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar