Kamis, 16 Februari 2012

SAKSI KEMULIAAN BAGI KRISTUS (Transfigurasi)

Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai Demokrat, kini sedang memasuki episode baru. Persidangan Tipikor (tindak pidana korupsi) menghadirkan beberapa saksi, di antaranya Anglina Sondakh, mantan ratu kecantikan sa Indonesia. Setelah masyarakat mengikuti, menyimak media yang seolah sengaja, terus-menerus memberitakan kasus ini. Kini,  simpati masyarakat mulai bergerak ke arah Nazar. Nyanyian Nazar semakin membahana di ruang sidang. Banyak orang beken berkuasa disebutkan olehnya. Kini kesaksian Nazaruddin tidak lagi bisa dipandang sebelah mata atau diabaikan. “Jangan-jangan betul apa yang diungkap Nazar.” Atau “Jangan-jangan kini ada skenario besar untuk membungkam Nazar untuk tidak terus bernyanyi dan menyeret petinggi lainnya.” Sayang memang, Nazaruddin menjadi whistle blower setelah menjadi buron.

Di persidangan dipertaruhkan kesaksian mana yang harus dipercaya dan yang mana sebagai rekayasa. Seorang hakim akan berusaha memutuskan kesaksian mana yang dapat dipercaya untuk rekomendasi menjatuhkan hukuman. Seorang saksi, adalah orang yang melihat, mengalami dan merasakan sebuah peristiwa, darinya dituntut untuk mengatakan apa yang sebenarnya. Jika tidak, selain mendustai nurani maka ancaman hukuman sudah menanti. Dalam persidangan kemarin (15 Februari 2012) yang sebagian di siarkan secara langsung TV swasta. Menampilkan kesaksian Angelina Sondakh. Mengejutkan karena kesaksian Anji ini bertentangan dengan saksi-saksi sebelumnya. Di sinilah Anji harus berjuang, menyakinkan Majelis yang mulia, agar dirinya dapat dipercaya. Mana yang benar? Kita tidak tahu lihat saja nanti episode berikutnya.

Dalam persidangan, kesaksian dapat dianggap valid kalau pengakuan itu match, cocok dengan fakta. Jika tidak, maka seseorang dicap melakukan kesaksian palsu atau berbohong. Tema kita dalam Minggu Transfigurasi tahun ini adalah “Saksi Kemuliaan Bagi Kristus”. Jika dalam persidangan kesaksian itu dianggap sah kalau sesuai fakta, lalu bagaimana dalam kesaksian iman? Bagaimana pula menyaksikan bahwa Kristus itu mulia? Apakah kesaksian itu kita ungkapkan setelah melihat, mengalami atau merasakan terlebih dulu atau karangan kita sendiri? Seperti dalam persidangan yang baik akan dapat mengungkap mana kesaksian yang benar dan mana yang tidak. Demikian juga kesaksian kita, masyarakat, orang-orang di sekitar kita akan dapat menyimpulkan mana kesaksian yang orisinil dan mana yang bualan.

Mari kita belajar dari dua kisah dalam bacaan, 2 Raja-raja 2:1-15 dan Markus 9:2-9 dalam Minggu Transfigurasi ini. Kisah pertama, tentang Elia naik ke sorga dan yang kedua, Yesus Kristus dimuliakan di atas gunung. Elisa dan murid-murid Yesus menjadi saksi bagaimana guru mereka dimuliakan. Elisa berjuang keras agar ia dapat menyaksikan bagaimana gurunya naik ke sorga. Beberapa kali Elia meminta rombongan para nabi yang mengikutinya, termasuk Elisa untuk tidak ikut dengannya. Mulai dari Betel sampai ke sungai Yordan, Elisa keukeuh mengikuti Elia. Akhirnya Elisa melihat sendiri bagaimana Elisa naik ke sorga. Elisa juga bersih keras meminta “warisan” berupa dua bagian dari roh Elia (2 Raja.2:9). Dari kisah ini, kegigihan dan perjuangan Elisa yang akhirnya dapat menyaksikan kemuliaan itu. Elisa juga mewarisi “roh” Elia, dalam hal ini tidak diartikan sebagai reinkarnasi. Dengan bekal itu Elisa dapat menyaksikan kepada umat Israel tentang peristiwa itu. Namun, yang lebih penting bukanlah kesaksian tentang Elia yang naik ke sorga. Melainkan Elisa mendapat legitimasi untuk meneruskan tugas panggilan Elia. Ayat-ayat berikutnya dalam Kitab Raja-raja mengisahkan tentang perjuangan Elisa di “jalan” Elia. Itulah kesaksian iman: meneruskan perjuangan yang dilakukan pendahulunya.

Bagaimana dengan para murid yang melihat Yesus dipermuliakan? Petrus, Yakobus dan Yohanes tidak seperti Elisa. Mereka tidak berjuang keras untuk menyaksikan Yesus dimuliakan. Yesuslah yang mengajak ketiga murid ini untuk naik ke atas gunung. Di sanalah mereka menyaksikan Yesus yang berubah rupa (transfigur) diliputi pakaian putih berkilauan. Tampak di hadapan mereka Elia dan Musa. Figur-figur yang sangat dihormati oleh orang Israel. Suasana kemuliaan itu menggugah Petrus yang diliputi oleh kebahagiaan untuk mendirikan kemah bagi Yesus, Musa dan Elia. Dengan kata lain Petrus ingin agar suasana bahagia dan mulia itu dapat dinikmatinya lebih lama. Petrus tidak menyadari bahwa suasana itu dipakai Allah untuk melegitimasi atau menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah yang harus di dengar.

Segera sesudah itu peristiwa itu berlalu. Yesus memerintahkan kepada tiga orang murid-Nya ini untuk tidak usah menceritakannya kepada yang lain sampai nanti saatnya setelah peristiwa kebangkitan. Di sinilah Petrus, Yakobus dan Yohanes, melihat, mengalami dan merasakan sendiri peristiwa pemuliaan Yesus itu. Setelahnya, mereka mempunyai tugas untuk menyaksikan ini pada saatnya, yakni sesudah kebangkitan. Alih-alih membicarakan kemuliaan itu, Yesus lebih senang saat nanti mereka meneruskan pekerjaan-Nya setelah semuanya selesai.

Kita jelas tidak melihat Yesus dimuliakan seperti Petrus, Yakobus dan Yohanes, lalu apakah dengan demikian tidak bisa menjadi saksi yang valid? Benar, kita tidak mempunyai keistimewaan seperti ketiga murid itu. Tidak semua murid Yesus waktu itu melihatnya juga demikian. Bagian kita seperti bagian para pembaca Injil pertama, yakni menyadari dan mengerti siapa Yesus itu melalui pengalaman bathin ketiga murid tadi. Seperti mereka, baru bila kesadaran ini sudah menyatu dalam kehidupan maka kita dapat merasa diperbolehkan menyaksikannya. Perjumpaan dalam hati dan iman dengan Kristus dan membukan diri untuk dibentuk oleh-Nya adalah jauh lebih penting ketimbang mengharapkan kembali perjumpaan secara fisik. Orang-orang yang telah mengalami “perjumpaan iman” inilah yang akan memampukannya untuk menjadi saksi. Dan biasanya kesaksiannya tidak sekedar dibuat-buat atau bualan belaka. Kesaksiannya akan memampukan orang lain berjumpa dengan Kristus. Di situlah kesaksiannya akan memuliakan Tuhan, bukan memuliakan dirinya sendiri.

Kemuliaan, penyataan Allah Bapa dan legitimasi Yesus sebagai Tuhan bukanlah untuk dipamerkan. Bukan untuk membuat orang terpesona. Tetapi, lebih untuk mengangkat semangat siapa saja yang sedang berjuang menegakkan keadilan dan menyerukan kebenaran seperti Elia dan seperti Yesus sendiri. Kemuliaan Tuhan, bila diperkenankan untuk disaksikan oleh manusia, adalah demi meyakinkan manusia bahwa Ia yang mulia adalah Ia yang adil dan benar. Percuma Anda dan saya berdebat, berargumentasi sedemikian rupa namun dalam kehidupan sehari-hari justeru menampilkan sikap tidak baik, tidak benar dan tidak adil. Bagaimana mungkin mereka yang melihat kita memuliakan Tuhan?

Cerita Kompas, 14 Februari 2012. Terry Lee dari Chicago, Illinois, memberikan hadiah terindah pada hari Valentine kepada kekasihnya. Dia rela memberikan ginjalnya kepada kekasihnya, Trisha Beckwith, yang diketahui menderita lupus setelah mereka berpacaran sekitar empat bulan. Dokter segera mengetahui bahwa ginjalnya tidak berfungsi, Lee mengatakan, keputusan memberikan ginjal untuk kekasihnya itu dilakukan dengan mudah. Kebetulan sekali darah mereka cocok. “Saya sangat menyayangi, mencintainya, dan ingin dia hidup normal,” ujarnya. Pasangan tersebut pergi ke Nashville, Tennnessee, untuk melakukan oprasi. Jika Lee, mengatakan bahwa dirinya menyayangi dan mencintai Beckwith, semua orang akan percaya. Mengapa? Ia sanggup membuktikan kasihnya itu. Anda mengatakan bahwa Allah di dalam Kristus itu adalah Tuhan yang pengasih, penyanyang dan pengampun, sanggupkah Anda membuktikan kesaksian Anda itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar