Jumat, 24 Februari 2012

JANJI ILAHI DIGENAPI (Prapaskah I)

Setiap orang pasti pernah mengungkapkan janji. Ada perjanjian kerja, perjanjian kontrak, perjanjian jual-beli. Setiap hari selalu ada janji, dari hal-hal yang serius; janji setia antara hidup dan mati sampai yang sederhana; janji mentraktir makan, membelikan mainan bagi anak-anak. Bagi anggota gereja, janji merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan imannya. Di dalam sakramen baptis kudus atau sidi, kita diperhadapakan pada pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya merupakan janji. Ya, janji untuk setia kepada Tuhan melalui gereja-Nya. Apakah janji-janji itu terbukti. Waktu jualah yang akan membuktikan. Pepatah mengatakan bahwa janji merupakan utang yang harus dibayar. Maka jangan pernah berjanji kalau tidak sanggup untuk membayarnya. Membayar sebuah janji menunjukkan bahwa orang yang mengucapkannya mempunyai integritas. Dapat dipercaya!

Sulit mendapatkan manusia yang berintegritas, apalagi di dunia politik. Pagi ini (Jumat, 24 Februari 2012), saya menyimak koran Kompas, pada rubrik opini disuguhkan judul besar, “Bohong adalah Laknat”, yang ditulis oleh Sindhunata. Ia berujar antara lain, “Bohong! Inilah kata yang sedang naik daun. Memang rakyat sedang muak dengan ‘drama kebohongan’, di mana aktor dan aktrisnya adalah politikus-politikus yang nuraninya sudah bebal terhadap kebenaran. Di nama-mana politik memang tidak bisa dipisahkan dari kebohongan. Kebenaran sulit menjadi kriteria politik karena poliik memang tidak berkenaan dengan kebenaran, tetapi dengan naluri mempertahankan dan memperbesar kekuasaan. Filsuf politik Hannah Arendt berpendapat bahwa politik bergerak sedemikian rupa sehingga mendepak kebenaran. Politik menjadi sekedar mempertahankan kekuasaan malah cenderung menjadi permainan. Hakikatnya adalah “Who get What, When, How.”

Machiavelli lebih realistis lagi. Menurutnya, seorang penguasa boleh mengingkari janjinya apabila janjinya itu ternyata merugikannya dan apabila tidak ada lagi alasan untuk tetap berpegang teguh pada janjinya. Jika semua manusia adalah baik, usul itu keliru. Namun, berhubung manusia tidak baik dan tidak bisa memegang kata-katanya sendiri, penguasa juga tidak perlu berpegang pada kata-kata yang dijanjikan. Juga apabila belum ada alasan benar secara hukum, penguasa bisa saja menutupi ingkar janjinya dengan kebohongan. Pantaslah para penguasa negeri ini selalu mengatakan “buktikan dulu secara hukum, baru nanti dinonaktifkan. Kalau tidak terbukti, nanti kita melanggar azas praduga tak bersalah.” Celakanya kita tidak percaya lagi pada peradilan yang selalu diinterpensi penguasa. Bohong, kebohongan, dan pembohongan telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Jean Paul mengatakan bahwa kebohongan  adalah kanker ganas di bibir hati terdalam manusia. Penyair Heinrich Heine menengarai kebohongan bisa menyelinap ke dalam ciuman dan kepura-puraan, membuat kepura-puraan dan penipuan menjadi nikmat dan manis.

Kita mudah menunjuk politisi, penguasa atau pihak-pihak lain inkar janji alias berbohong. Namun, beranikah kita mengeritik diri sendiri? Bahwa ada banyak kebohongan dan janji-janji entah sengaja atau di luar kemampuan yang kita tidak penuhi? Cobalah sejenak merenungkannya! Kini arahkan telunjuk itu pada diri kita, seberapa banyak kita mengumbar janji dan sejauh mana janji itu dipenuhi.

Allah, Bapa kita bukanlah seperti kita yang suka bahkan mengobral janji tetapi sulit untuk memenuhinya. Bapa Sang Penguasa semesta juga tidak sama dengan penguasa atau politikus yang gemar mengobral janji pada saat berkampanye. Alkitab banyak mencatat Allah bersedia mengikat diri-Nya dengan sebuah perjanjian. Salah satu contohnya yang direkam dalam Kejadian 9:8-17 bagian dari kisah air bah dalam riwayat Nuh. Kisah ini sering disebut sebagai kisah penciptaan kembali atau kisah pemulihan alam semesta. Di bagian akhir dituturkan Allah berjanji bahwa tidak akan ada lagi air bah yang melanda manusia setelah peristiwa Nuh. Kata perjanjian digunakan sampai tujuh kali. Istilah perjanjian setara dengan sumpah atau ikrar. Dengan mengeluarkan pernyatan demikian, maka Allah mengikat diri-Nya dengan perjanjian untuk membatasi diri-Nya untuk tidak murka. Bayangkan, Allah yang bebas melakukan segala sesuatu termasuk menghukum dengan murka-Nya, kini Dia membatasi-Nya. Ini Dia lakukan demi kasih dan kesetiaan-Nya. Seharusnya manusia dapat mencontoh. Bukan seperti ungkapan Machiavelli, jika menguntungkan dirinya bolehlah janji itu dipenuhi namun jika tidak maka boleh juga diingkari! Allah berjanji kepada manusia, sama sekali tidak ada yang menguntungkan untuk-Nya!

Menariknya, janji Allah ini dilakukan bukan antara Allah dengan manusia, melainkan antara Allah dengan bumi. Allah menempatkan manusia bersamaan dengan bumi. Manusia adalah bagian dari bumi. Manusia seharusnya menyadari, sebagai bagian dari bumi maka manusia harus merawat bumi ini dengan sebaik-baiknya. Bukan mengekspoitasinya! Sebab tidak ada manusia yang waras akan mengekspoitasi atau memperkosa dirinya sendiri. Bencana-bencana yang ada setelah Nuh, khususnya banjir dan air bah, tidak dapat dikatakan bahwa Allah mengingkari janji-Nya karena sampai hari ini ada banyak banjir dan air bah. Ini semua adalah karena kelalaian menusia, sebagai bagaian dari bumi yang serakah dalam mengekspoitasi dirinya.

Janji Allah berikutnya adalah untuk menyertai manusia dirancangkan dalam karya-Nya melalui Yesus Kristus, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Petrus (I Petrus 3:18-22). Menurut Petrus, agar manusia tidak dihukum karena dosa yang dilakukannya, maka Allah mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan manusia. Pada jaman Nuh, hanya delapan orang saja yang diselamatkan. Tetapi kemudian Allah menghendaki agar semua orang diselamatkan. Karya ini menjadi nyata dalam kehidupan manusia melalui karya Yesus: pelayanan, kematian dan kebangkitan-Nya. Seluruh karya itu menjadi penggenapan janji-janji Allah.

Penegasan Allah tentang karya-Nya di dalam Yesus Kristus dapat kita temukan dalam pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis (Markus 1:9-11). Yesus adalah Anak yang dikasihi-Nya. Pernyataan ini memberikan keyakinan bahwa apa yang dikerjakan oleh Yesus  memang berasal dari Allah. Baptisan-Nya menunjuk pengutusan dan kelengkapan yang diberikan oleh Allah untuk karya-Nya. Baptisan Yesus merupakan identifikasi atau legitimasi Allah Bapa terhadap diri-Nya. Melalui Baptisan itu, Yesus tidak sedang bertobat, tetapi untuk menunjukkan siapa diri-Nya, untuk siapa Ia bekerja dan siapa yang mengutus-Nya.

Setelah peristiwa baptisan itu (Markus 1:12-15), Yesus dipimpin oleh Roh dan dibawa ke padang-gurun. Di sana Ia berpuasa dan mengalam pelbagai pencobaan Iblis. Itu semua dapat dilalui-Nya. Penampilan perdana Yesus adalah membawa pesan ,”Bertobatlah dan percayalah kepada Injil,” manusia diingatkan akan tugas dan tanggungjawabnya. Manusia tidak boleh “duduk manis” menunggu keselamatan itu datang. Manusia harus datang kepada Allah dalam pertobatan, sebab Allah tidak kompromi dengan dosa. Pertobatan bukanlah sebuah keterpaksaan, tetapi kebutuhan manusia untuk dapat menerima keselamatan.

Pertobatan bukanlah bersifat verbal, melainkan harus diperlihatkan dalam prilaku hidupnya. Itulah sebabnya Yesus setelah berkata “bertobatlah”, Yesus melanjutkan dengan “percayalah kepada Injil.” Mengapa? Agar kita tahu bagaimana hidup dalam pertobatan itu. Injil akan memberikan arah, koridor, nasihat bagaimana hidup yang benar di dalam Tuhan. Itulah penggenapan janji yang dilakukan Allah terhadap alam semesta dan khususnya manusia. Terkadang sama seperti pemazmur (Mz.25:6), kita merengek dan mengurui bahwa Tuhan harus mengingat janji-janji-Nya, terlebih ketika kita mengalami masa-masa sulit dalam kehidupan ini. Sebaliknya, kita memohon agar (Mz.25:7) dosa-dosa kita jangan dingat-ingat Tuhan.

Yakinlah bahwa Tuhan tidak pernah lalai menggenapi janji-janji-Nya. Ia setia! Dia sudah membuktikan-Nya melalui karya Yesus Kristus. Untuk itu marilah kita juga belajar kepada kesetiaan Tuhan dan mengerjakan apa yang menjadi bagian kita, yakni hidup di dalam pertobatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar