Kamis, 02 Februari 2012

PERJUMPAAN YANG MENGUBAHKAN

Pernahkah Anda memerhatikan seorang terdakwa atau pesakitan yang sedang disidangkan di meja hijau? Jika kita jeli, ada hal kasat mata yang berubah, yakni penampilan. Ya, pakaian mereka pada umumnya berbeda dengan penampilan kesehariannya. Kini mereka tampil dengan pakaian yang lebih agamis. Baik pelaku kerusuhan, terorisme, pemerkosaan, kekerasan, perampokan sampai pelaku tindakan korupsi. Umumnya yang pria memakai peci dan baju koko dan yang perempuan berkerudung. Saya tidak tahu apakah dengan penampilan seperti itu mereka kini telah “bertobat” atau dengannya mencoba untuk menarik simpati? Wa’allahu’alam.

Umumnya manusia punya kecenderungan untuk membangun citra. Agar dampaknya, orang yang bersentuhan dan mengenalnya mempunyai kesan bahwa dirinya adalah orang baik-baik. Tentu dengan citra itu ia akan merasa nyaman dan mendapatkan banyak keuntungan. Hal yang sama dilakukan oleh politisi yang kalah dalam pemilu yang lalu namun kini mengganti nama partainya supaya dapat mengikuti pemilu lagi. Apakah citra itu akan terus bertahan? Tidakah yang otentik dalam diri manusia itu dapat terus tertutupi oleh topeng yang bernama citra? Tentu yang ideal adalah integritas: satunya ucap dan prilaku, adanya kesamaan “yang di dalam” dan penampilan di luar.

Aristoteles menarik perbedaan antara sifat otentik/esensial dan sifat aksidental. Dia merumuskan bahwa sifat-sifat sesensial adalah sifat-sifat otentik / genuine seseorang yang tanpa itu ia tidak akan menjadi dirinya. Sedangkan sifat-sifat aksidental adalah sifat-sifat yang menentukan bagaimana keadaan sesuatu, tetapi bukan menunjukkan “apa” itu. Misalnya, Aristoteles beranggapan bahwa rasionalitas merupakan sifat esensial untk menjadi manusia dan, karena Sokrates seorang manusia, maka rasionalitas atau daya pikir Sokrates bersifat esensial bagi ke-Sokratesa-annya. Dengan kata lain, tanpa sifat rasional yang dimilikinnya, maka Sokrates sama sekali bukan Sokrates. Dia bahkan tidak akan menjadi manusia. Di pihak lain, Aristoteles beranggapan bahwa ciri Sokrates yang berhidung pesek hanyalah aksidental. Hidung pesek hanyalah bagian dari bagaimana keadaan Sokrates, tetapi bukanlah esensial bagi apa atau siapa dia. Dengan kata lain, hilangkan rasionalitas Sokrates, maka dia bukan lagi Sokrates. Tetapi lakukanlah oprasi plastik padanya, dan jadilah dia dengan Sokrates dengan hidung mancung. Dari Aristoteles kita dapat belajar bahwa perubahan secara aksidental atau perubahan fisik saja pada hakekatnya tidak membawa seseorang kepada pengukuhan jati diri yang lebih baik.

Dalam kisah Yesus menyembuhkan ibu mertua Petrus dan pengusiran setan (Markus 1:29-34). Kuasa jahat ingin memisahkan hal yang esensial dari Yesus, yakni pemberitaan Injil dengan sifat-sifat aksidental. Kuasa jahat itu menginginkan Yesus hanya akan dipandang sebagai penyembuh dari penyakit dan kerasukan, sebagai guru yang bijaksana, sebagai orang yang mempesona. Ia menjadi pusat perhatian, ke mana-mana digandrungi orang. Lama-kelamaan Injil yang sedang dan akan dibawakan-Nya akan dikaburkan oleh ketenaran-Nya. Banyak orang jatuh dalam godaan ini.

Setelah menyembuhkan ibu mertua Simon, Yesus dijamu di rumah itu bersama para murid-Nya. Sementara itu berdatanganlah penduduk yang ingin bertemu dengan Yesus. Petang itu Yesus banyak menyembuhkan orang dan mengusir setan. Dalam ayat 34 dikatakan bahwa Yesus tidak memperbolehkan setan-setan berbicara. Alasannya, mereka mengenal Dia. Tulisan Markus ini seperti teka-teki. Setan-setan itu tahu  betul siapa Yesus. Mereka dapat menyuarakan pengetahuan mereka, seperti roh jahat yang merasuki orang di Sinagoge sebelumnya. Tapi di situlah Yesus membentak agar roh itu diam. Kini, Yesus pun membungkam setan-setan itu. Mengapa Yesus tidak membiarkan mereka memperdengarkan kata-kata mereka mengenai Dia? Kan yang dikatakan mereka tidak salah? Di Sinagoge roh jahat itu mengatakan, Yesus itu Yang Kudus dri Allah, Benar! Kenapa tidak boleh?

Di satu pihak, kekuatan-kekuatan jahat memang tahu betul siapa Yesus itu. Di pihak lain, mereka menggunakan pengetahuan itu bukan untuk meluruskan hidup manusia, tetapi untuk mengacaukan dan menyesatkannya. Mereka mulai dengan membisikkan pengetahuan benar, tetapi perlahan-lahan membuat hati manusia tertutup pada hal-hal baru yang dibawakan Yesus. Simon Petrus sendiri nantinya akan terseret ke sana dan ia dibentak diam oleh Yesus (Mrk.8:33; Mrk.16:23).

Kuasa jahat mau memisahkan Yesus dari warta yang dibawakan-Nya, yakni Injil. Bila itu terjadi, Yesus akan menjadi lemah kendati secara aksidental, di mata orang banyak tampaknya Ia sukses mempertontonkan hal-hal yang spektakuler. Kekuatan-Nya bakal pudar karena Ia tidak lagi membawakan Injil Bapa-Nya, tetapi menjadi takabur dan membiarkan diri dipandang sebagai orang besar atau pesohor, tidak lagi menunjukkan kebesaran Kerajaan Bapak-Nya. Kita dapat belajar bahwa di dalam diri Yesus terdapat integritas, manusia yang utuh!

Anda bisa mengubah tampilan fisik dengan berganti baju, oprasi plastik, mengubah logat bicara, bahkan berganti agama, namun tanpa perubahan esensial dalam pikiran dan hati, pada dasarnya sama sekali tidak ada perubahan. Jika seseorang bertobat dan kemudian dia mengatakan telah “merasa lahir baru”, tetapi sifat-sifat esensialnya masih tetap sama, maka sesungguhnya ia hanya “merasa” saja bahwa dirinya telah lahir baru. Sesungguhnya masih tetap sama, seperti yang dulu. Jika seseorang, sebelum bertobat, ia dominan egosistik dan egosentrisme: segala-sesuatu untuk keuntungan dan berpusat pada dirinya, setelah ia merasa lahir baru, mestinya hidupnya tidak lagi egoistik dan egosentrisme. Namun ia akan berusaha unuk menjadi berkat bagi sesama karena orientasi hidup bukan lagi diri dan apa yang menguntungkan baginya.

Paulus mengalami perubahan esensial itu. Sebelum mengalami pertobatan, Saulus berjuang menegakkan Taurat, untuk itu ia melakukan apa saja termasuk memenjarakan orang-orang Kristen bahkan tidak segan untuk menghabisinya. Setelah ia mengalami pertobatan, terjadilah perubahan yang mendasar itu. Kini hidup dan matinya untuk Injil. Bahkan pemberitaan Injil dipandangnya sebagai anugerah. Ia menolak dibayar bahkan Paulus mau melakukan apa saja, masuk dalam kalangan mana pun agar orang mendengar Injil Allah (I Korintus 9: 16-23). Tidak sekedar perubahan akidental, berubah dari Saulus menjadi Paulus, namun kini jati dirinya adalah Injil sehingga setiap orang yang mengenal nama itu akan selalu dihubungkan dengan Injil. Sama seperti Sokrates, tanpa rasionalitasnya bukanlah Sokrates. Tanpa Injil bukanlah Paulus.

Perubahan esensial dari diri Paulus itu terjadi karena ia mengalami perjumpaan sebagaimana dicatat dalam Kisah Para Rasul 9. Perjumpaan dengan Kristus yang ditanggapi dengan hati yang terbuka akan menghasilkan perubahan yang esensial. Bagaimana dengan kita? Sudahkan mengalami perjumpaan dengan Tuhan? Apa dampak dari perjumpaan itu? Apakah seperti Paulus atau Zakheus yang mengalami perubahan secara esensial? Ataukah seperti Yudas Iskaryot dan orang-orang Farisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar