Saya kira kita belum lupa manakala SBY terpilih menjadi Presiden untuk kedua kalinya dengan satu kali putaran meraup 60% lebih suara. SBY-Budiono pun segera menyiapkan para pembantunya untuk menjalankan roda pemerintahan. Seleksi dimulai. Satu per satu calon menteri ini dipanggil ke Cikeas, diadakan tes kelayakan termasuk juga di dalamnya loyalitas. Tentu orang-orang yang dipanggil itu bukanlah orang sembarangan. Mereka dinilai cakap dan mengerti visi serta misi presidennya. Namun, apa lacur dalam perjalanan kabinet Indonesia Bersatu jilid dua ini banyak mengalami gesekan kepentingan. Banyak kementerian dinilai mempunyai kinerja buruk. Lembaga Survei Indonesia menyebutkan tingkat kepuasan terhadap pemerintah melorot. Hanya 37,7% yang merasa puas, 44,7% tidak puas dan selebihnya tidak tahu menahu. Padahal sebelumnya tingkat kepuasan mencapai 52% lebih. Banyak analis menilai bahwa kinerja kementrian tidak terlalu bagus oleh karena para menteri mengalami kebingungan apakah memilih taat dan loyal kepada presiden atau kepada partainya. Hal inilah yang kemudian mendorong SBY untuk mereshuffle menterinya yang tidak optimal.
Presiden memanggil sejumlah orang untuk menjadi rekan kerjanya, menjadi menteri dan menjalankan roda pemerintahan tetapi kenyataannya tidak semua loyal dan cakap mengerjakan tugas panggilan itu. Ada yang memilih lebih taat kepada kepentingan kelompok atau partainya oleh karena mereka merasa menjadi utusan dan dibesarkan dalam partainya itu ketimbang melihat bahwa dirinya kini bekerja untuk segenap bangsa ini. Tidaklah mudah seseorang untuk melepaskan diri dari kepentingan diri dan kelompoknya untuk mengabdikan diri kepada kepentingan yang lebih luas.
Yunus bukanlah nabi yang asal membangkang terhadap panggilan Tuhan untuk menyerukan pertobatan kepada masyarakat Niniwe. Yunus mengenal Tuhannya bahwa ketika seruan pertobatan itu direspon positif kemudian umat Niniwe bertobat, maka Allah tidak jadi menghukum Niniwe (Yunus 3:10, 4:2). Padahal Niniwe atau Babel ini kelak kemudian hari akan menjadi musuh bangsanya. Bukankah logis kalau calon musuh ini lebih baik dibinasakan saja supaya kelak kemudian hari Israel tidak kerepotan menghadapi Babel ini. Bukankah ada pepatah mengatakan “Bunuhlah ular sejak masih telur”? Yunus memilih loyal terhadap kepentingan bangsanya ketimbang kepentingan yang lebih luas, yakni binasanya lebih dari 120 ribu penduduk Niniwe.
Ada banyak orang memilih untuk tidak taat kepada tugas panggilannya oleh karena ia gagal melihat hal yang luas, lebih besar dan lebih kekal dibanding dengan kepentingan sesaat yang sempit. Yesus memanggil murid-murid yang pertama untuk melepaskan diri dari kepentingan sempit sesaat itu. Mereka yang dipanggil bukanlah orang-orang yang hebat, berpendidikan, para pemikir atau kaum birokrat. Melainkan orang-orang biasa yang sederhana. Para nelayan! Abraham Lincoln pernah berkata, “Allah pasti menyukai orang-orang biasa yang sederhana –Ia menciptakan banyak orang seperti itu.” Seakan inilah yang dikatakan Yesus, “Berikan Aku dua belas orang biasa dan bersama dengan mereka, jika mereka menyerahkan diri kepadaKu dengan taat, Aku akan mengubah dunia ini.” Anda seharusnya tidak berpikir muluk-muluk tentang diri sendiri manakala mau menjawab panggilan Tuhan. Yesus Kristus dapat menjadikan Anda menurut kehendak-Nya, asal Anda taat dan setia.
Yesus memanggil para murid pertama bukan kepada orang yang tanpa pekerjaan atau pengangguran. Ironis banyak orang mengelak untuk melakukan tugas pelayanan dengan alasan sibuk bekerja. Yesus memanggil para murid pertama ini justeru ketika mereka sedang bekerja, yakni menangkap ikan dan menambal jala. Demikian halnya dengan Nabi Amos ketika dipanggil Tuhan, Amos berkata, “Aku ini bukan nabi, dan aku ini tidak termasuk golongan nabi, melainkan aku ini seorang peternak dan pemungut buah ara hutan. Tetapi TUHAN memanggil aku dari pekerjaan menggiring kambing domba, dan TUHAN berfirman kepadaku; ‘Pergilah, bernubuatlah terhadap umat-Ku, Israel” (Am. 7:14,15). Panggilan Allah dapat datang kepada seseorang bukan hanya di dalam rumah Tuhan, bukan hanya di tempat rahasia, tetapi di saat ia sedang berpeluh, di tengah-tengah pekerjaan sehari-hari.
Yesus memanggil para nelayan (Markus 1:16-20). Mereka serta-merta meninggalkan jala mereka dan mengikuti Yesus. Orang-orang ini melihat kenyataan “Kerajaan Allah” dalam diri orang yang mengajak mereka ikut. Dan mereka tidak ingin kehilangan momentum itu. Mereka pun mengikuti-Nya dan berpindah gaya hidup total 180 derajat. Itulah “pertobatan” bagi mereka. Dan itu juga kenyataan “percaya kepada Injil”. Mereka yang dipanggil itu akan dijadikan Yesus “penjala manusia”. “Penjala manusia” tugas panggilan ini sering diartikan mencari pengikut sebanyak-banyaknya, seperti mendulang lubuk misi, atau kristenisasi! Tafsiran seperti ini cenderung mereduksi apa yang diingini Yesus bahkan bisa memerosotkan panggilan yang digambarkan Injil. Dalam Markus 1:17, “penjala manusia” dirumuskan sebagai anthropous (ese) zogron, artinya: yang menangkap manusia untuk membawanya kepada kehidupan (lebih baik). Begitulah penjelasan yang berasal pada zaman itu sendiri.
Tugas panggilan para murid bukan hanya “menangkapi ikan-ikan” di perairan bebas. Dalam arti: menjadikan orang-orang yang belum Kristen menjadi Kristen. Melainkan menuntun, mendukung, memelihara, menguatkan seseorang agar ia bisa hidup terus, membuat orang menemukan jalannya sendiri, menjadikan orang benar-benar sebagai manusia seutuhnya dan bukan hanya dari segi rohani belaka. Saya kira Ibu Teresa telah melakukan itu. Ia “menjala / menagkapi” orang-orang yang tersisih, terbuang untuk diberdayakan dan diberi tempat baru untuk dijadikan manusia seutuhnya, sesuai hakekatnya yang tercipta menurut gambar dan rupa Allah. Lalu apakah setiap orang untuk menjalankan fungsi itu harus menjadi pendeta atau penginjil? Saya kira tidak! Di tempat Anda bekerja sekarang, Anda dapat memberi ruang, menciptakan kondisi agar manusia dihargai sesuai fitrahnya, agar kabar baik itu menyapa mereka. Dan mereka “tertangkap” oleh apa yang Anda lakukan.
Dapatkah Gereja menjadi “wadah” bagi mereka yang tertangkap bagi kehidupan itu? Atau “wadah” ini harus dibenahi terlebih dulu sehingga memungkinkan panggilan menjadi pengikut Yesus? Bagi zaman kita sekarang, ajakan untuk membawa orang-orang kepada kehidupan masih sangat aktual. Juga dalam mengusahakan masyarakat yang lebih memungkinkan hidup pantas bagi semua. Dan tentunya mengajak semua orang yang berkemauan baik untuk bersama-sama membangun masyarakat yang berkeadaban, memelihara kehidupan dan bukan merusaknya hal itu jauh lebih bermakna tinimbang kristenisasi dangkal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar