Saya bertanya-tanya dalam hati, untuk apa orang-orang mengumpulkan sandal jepit. Malah ada koordinatornya segala. Belakangan saya mengerti hal itu dilakukan sebagai bentuk dukungan moril kepada AAL yang dituduh mencuri sendal milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap. Akhirnya hakim tunggal Pengadilan Negeri Palu, Rommel F. Tampubolon mengetok palu dan menyatakan AAL bersalah. AAL tidak harus menjalani hukuman di penjara, karena ia masih di bawah umur tapi bisa jadi karena tekanan masyarakat. Ia dikembalikan kepada orang tuanya. Putusan hakim Rommel mungkin tak bermasalah secara legal formal seperti yang dikatakan oleh Mahfud MD. Namun, rasa keadilan menjadi timpang mana kala hukum harus berhadapan dengan sejumlah elite atau orang-orang kuat di negeri ini. Hukum menjadi pisau tajam ke “bawah” dan tumpul ke “atas”.
“Rasa Keadilan Hampir Mati”, itulah head line koran Kompas hari ini (6 Januari 2012). Kompas memberi catatan kontras bagaimana jerat hukum yang diberlakukan terhadap kaum papa dibanding dengan perlakuan hukum terhadap sejumlah elite. Aminah divonis penjara 1 bulan 15 hari di PN Purwokerto lantaran mencuri 3 butir kakau seharga Rp. 2.100,- .Manishi, Sri Suratmi, Juwono, Rustono, mereka divonis 24 hari karena dituduh mencuri satu karung plastik buah randu seharga Rp. 12.000,-. Agus Budi Santoso dinyatakan bersalah oleh PN Bojonegoro dan harus meringkuk dibui selama 4 bulan lantaran mencuri seekor ayam jago. Supriyadi divonis bersalah dan menerima ganjaran 1 bulan 20 hari karena ia mencuri dua batang singkong dan satu batang bambu di Pasuruan. Amirah harus dipenjara 3 bulan 24 hari karena dituduh mencuri sarung bekas seharga Rp.3000,- Daftar vonis terhadap yang papa ini bisa semakin panjang apabila ada orang mau yang menelitinya.
Putusan vonis ini terasa timpang jika kita melihat kasus-kasus korupsi, misalnya Agus M Najamuddin, gubernur Bengkulu dengan kasus korupsi dana hasil PBB senilai Rp. 21,3 miliar, divonis bebas oleh PN Jakarta Pusat. Eep Hidayat, bupati Subang dengan kasus biaya pemungut PBB Rp.14 miliar, pengadilan Tipikor Bandung mengganjarnya dengan vonis bebas. Mochtar Muhammad, Wali Kota Bekasi, dinyatakan bebas setelah sebelumnya diduga menyalahgunakan anggaran ratusan juta rupiah. Andi Ahmad Sampurna Jaya, 14 Anggota DPRD Kutai Kartanegara, Oei Sindhu Stefanus, mereka semua, dalam kasus yang berbeda diduga melakukan tindak korupsi miliaran rupiah namun pengadilan berpihak kepada mereka. Semua dibebaskan dari jerat hukum. Tentu ada pelbagai argumen mengapa mereka bebas. Bisa saja kasusnya memang tidak terbukti, ataukah mereka mampu membayar pengacara kondang yang pandai bermain pasal-pasal hukum dan mencari celah. Namun, tetap saja ada nurani yang terkoyak sehingga wajarlah jika kebanyakan orang yang masih punya nurani akan mengatakan, ”Keadilan telah pergi dari negeri ini! Atau bangsa ini sedang di bawa ke lembah kekelaman.”
Dampak ketimpangan hukum ini sangat dasyat bukan hanya bagi si kecil yang harus terpenjarakan atau dihilangkan nyawanya. Jelaslah kaum papa ini akan semakin menderita dan paling dirugikan. Namun, di pihak lain, orang-orang yang sanggup “membeli” putusan vonis itu, sadar atau tidak, perlahan-lahan ia sedang menutup mata hatinya terhadap kebenaran, terhadap terang ilahi. Inilah yang jauh lebih berbahaya. Kini, manusia mencoba menggeser tempat kedudukan Sang Maha Benar dari sentral kehidupannya itu dengan kuasa Mamon: uang dan kekuasaan. Suara kebenaran tidak lagi diindahkannya kini andalannya adalah uang! Pantaslah sebelum ketimpangan peradilan dan kerakusan penguasan menjadi bencana kemanusiaan, Salomo jauh-jauh hari pernah memintanya dalam doa agar keadilan selalu ditegakan di bumi ini (Mazmur 72).
Orang yang mengerti dan dekat dengan hukum, belum tentu mereka akan mentaati hukum itu dengan baik dan benar. Bisa jadi, dan ini sudah banyak terbukti, merekalah yang sangat potensial memanfaat instrumen hukum itu untuk kepentingannya sendiri. Demikian juga dengan orang yang tahu dan mengerti tentang hukum-hukum agama tidaklah secara otomatis menjadi pelaku hukum itu. Contohnya, di seputar kelahiran Yesus Kristus. Para penguasa agama dan Herodes tidaklah serta-merta menyambut kelahiran Yesus itu dengan antusias. Alih-alih bersukacita dan menyembah, Herodes justeru merancangkan pembunuhan terhadap Mesias itu agar kekuasaannya tidak terusik (Matius 2:1-12).
Sebaliknya, orang Majus yang seringkali ditafsirkan sebagai “orang asing”, atau orang-orang kafir oleh orang Yahudi, mereka bukan penyembah YHWH, namun imam agama Zoroaster di Persia yang berjarak 1000 mil ke Betlehem justeru merekalah yang mau dibimbing oleh “terang bintang” untuk menyambut dan menyembah Mesias. Orang-orang Majus adalah penguasa dan sekaligus kaum intelektuas bijaksana. Mereka mau melakukan perjalanan yang begitu jauh hanya untuk bertemu dengan seorang bayi. Jelaslah hal ini membutuhkan sensitifitas, kepekaan spiritual dan juga kerendahan hati serta rela berkorban.
Dalam Perjanjian Lama, khususnya kitab Yesaya, tidak selamanya penguasa Israel peka terhadap suara Tuhan yang disampaikan oleh para nabi-Nya. Misalnya, Yesaya pernah mengingatkan Raja Ahaz untuk tidak meminta bantuan kepada Asyur dalam menghadapi lawan-lawannya. Ahaz mengabaikan seruan sang nabi. Akibatnya Tiglat Pileser, raja Asyur bukannya membantu melainkan menyerang dan menduduki Galilea bagian Utara. Tetapi Koresy, raja Persia, sama seperti orang Majus, tidak mengenal Allah Israel, justeru mau dipakai oleh Tuhan untuk membebaskan umat-Nya dari perbudakan Babel. Dari dua contoh di atas menjadi jelas bahwa tidak selamanya orang yang dekat dengan ritus ibadah akan menghargai dan menjadikan ritual ibadah itu terang yang memandu hidupnya.
Ada sebuah legenda tentang suatu suku bangsa yang gemar berperang dengan suku-suku lain. Mereka suka membunuh, merampok, memperkosa, pendek kata melakukan apa saja yang mereka sukai atas suku-suku yang ditaklukkannya. Mereka sama sekali tidak mempunyai rasa prikemanusiaan, cinta kasih atau belas kasihan. Mereka begitu kejam dan bernafsu jahat. Mereka adalah suku bangsa yang berjalan dalam kegelapan.
Seorang pemimpin dari suku itu mengundang orang-orang pintar dari suku-suku lain untuk mengusahakan agar suku bangsanya dapat lebih beradab dan mempunyai cinta kasih serta belas kasihan. Setelah melalu perdebatan yang sangat panjang dan melelahkan para cerdik pandai untuk memutuskan untuk menyembunyikan rahasia keberhasilan dan jalan perdamaian serta kebahagiaan dari orang-orang yang suka membuat onar. Tetapi masalahnya, di mana rahasia ini harus disembunyikan? Beberapa orang mengusulkan untuk menguburnya dalam-dalam di dalam tanah. Ada yang mengusulkan untuk menaruhnya di puncak gunung yang tinggi. Sedangkan yang lain mengusulkan agar menenggelamkannya di dasar laut yang dalam. Pendek kata tidak ada kesepakatan di antara mereka di mana rahasia itu disembunyikan.
Tidak ada persetujuan di antara mereka, sampai akhirnya sang pemimpin yang mengumpulkan mereka itu mengajukan usul, “Bagaimana kalau kita menyembunyikan rahasia itu di dalam diri kita masing-masing?” tanyanya kepada mereka. Kemudian ia menambahkan, “Orang-orang seperti mereka itu tidak akan pernah menemukan kebahagiaan dan damai sejahtera di dunia ini.”
Pada masa sekarang orang-orang telah dipaksa untuk mengejar kebahagiaan dan damaisejahtera serta keberhasilan, dengan jalan mencari di luar dirinya. Mereka mencarinya melalui uang dan kekuasaan. Hanya sedikit orang yang berhasil menemukan tempat persembunyiannya, karena rahasia tersebut sebenarnya telah ada di dalam diri, di dalam hati setiap orang. Bukankah Tuhan juga pernah bersabda, "Sebab perintah ini, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, tidaklah terlalu sukar bagimu dan tidak pula terlalu jauh. Tidak di langit tempatnya, sehingga engkau berkata: Siapakah yang akan naik ke langit untuk mengambilnya bagi kita dan memperdengarkannya kepada kita, supaya kita melakukannya? Juga tidak di seberang laut tempatnya, sehingga engkau berkata: Siapakah yang akan menyeberang ke seberang laut untuk mengambilnya bagi kita dan memperdengarkannya kepada kita, supaya kita melakukannya? Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan. (Ulangan 30:11-14). Orang yang berhasil mememukannya pasti akan mengalami kegembiraan. Penjara tidak akan bisa memenjarakan sukacitanya (bandingkan dengan Paulus dalam Efesus 3) bahkan di tempat seperti itu dapat digunakan untuk meneruskan kabar baik.
Terang itu sebenarnya telah ada dalam setiap hati kita. Yesus Kristus Sang Terang yang sesungguhnya itu telah lahir, melayani, berkarya, mengajar dan memberikan contoh terbaik untuk manusia dan kemanusiaan. Masalahnya apakah kita sendiri telah mau dipimpin oleh terang itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar