Sesaat saya tersentak mendengar pernyataan seorang kawan dalam sebuah perbincangan santai. “Tampaknya Allah kamu itu gila hormat, yah!” demikian kalimat itu melucur dengan ringan setelah saya mengatakan bahwa tujuan hidup manusia mestinya memuliakan Allah, memuji, menghormati nama-Nya serta melakukan kehendak-Nya. Apa yang salah dengan pernyataan saya itu? Menurut keyakinan saya, sama sekali tidak ada yang salah. Sejak di Sekolah Minggu, belajar Teologi dan sampai sekarang memang itu yang saya yakini. Ternyata tidak mudah dan sederhana untuk menyatakan bahwa tujuan hidup kita itu memuliakan Allah. Sebab, di pihak lain, tanpa kita muliakan pun, Allah sudah mulia. Tanpa kita membesarkan-Nya, Ia sudah Mahabesar. Lalu apa maksudnya memuliakan Allah yang sudah mulia itu dan dengan cara yang bagaimana?
Dalam perayaan Natal tahun ini, mari kita belajar dari para gembala (Lukas 2:8-20). Mengapa mereka memuliakan Allah dan dengan cara bagaimana mereka memuliakan Allah. Injil Lukas mencatat bahwa berita sukacita tentang lahirnya Sang Mesias, pertama-tama disampaikan kepada para gembala. Gembala termasuk orang-orang yang tidak dihormati oleh golongan ortodoks Yahudi. Kaum gembala tidak sanggup menjalankan hukum-hukum ibadah secara detail; mereka tidak biasa dan tidak bisa memelihara hukum-hukum yang ditetapkan oleh ajaran Yudaisme, misalnya mencuci tangan sebelum makan dan banyak lagi yang lainnya. Ternaknya menuntut perhatian mereka. Oleh karenanya, kaum gembala selalu diremehkan.
Tetapi rupanya para gembala ini adalah gembala-gembala yang khusus. Mengapa? Di Bait Suci, pada waktu pagi dan petang dipersembahkan seekor domba yang tanpa noda kepada Allah sebagai korban persembahan. Untuk memenuhi kebutuhan ini, pejabat Bait Suci mempunyai kawanan domba tersendiri. Kawanan domba itu digembalakan dekat Betlehem. Kemungkinan besar para gembala ini sedang menjaga domba-domba tersebut. Saat itulah mereka mendengar berita sukacita langsung dari langit. Gembala yang selalu menduduki kasta rendah ini sesaat diangkat derajatnya. Mereka menjadi orang pertama yang mendengar berita kelahiran Mesias dan menyaksikan sendiri kebenaran berita itu. Mereka dimuliakan Tuhan! Mengapa para gembala memuliakan Allah? Jawabnya sederhana, karena Allah telah memuliakan mereka. Allah memperkenankan kelahiran Anak-Nya disambut oleh kalangan marjinal seperti mereka. Mesias sudi disapa mereka.
Mengapa kita memuliakan Allah? Jawabnya pun sederhana, karena Dia terlebih dahulu memuliakan kita. Bayangkan jika Kristus tidak mau hadir, lantaran orang-orang tidak mau memberi tempat di penginapan atau Ia hanya mau lahir di tempat terhormat. Bayangkan jika Sang Mesias tidak mau menderita dalam menunaikan tugas Bapa-Nya. Bayangkan jika di Getsemani Yesus memilih untuk tidak meminum cawan. Bayangkan jika Dia tidak mau disalibkan! Tentu pengampunan dosa tidak pernah ada! Anda dan saya harus menerima upah dosa itu. Maut! Di sinilah rupanya titik-tolak mengapa manusia harus memuliakan Allah. Memuliakan Allah dalam kerangka bersyukur kepada-Nya. Anda dan saya tentu boleh memilih mau memuliakan Dia atau tidak. Bagi-Nya memuliakan atau tidak, tidak ada ruginya. Sebab diawal sudah dikatakan: tanpa memuliakan Dia, Dia sudah teramat Mulia, tanpa membesarkan nama-Nya, Dia sudah Mahabesar. Namun, apakah kita tidak malu dengan si gembala yang adalah orang sederhana, mereka bersukacita, bersyukur dan memuliakan Allah!
Lalu dengan cara bagaimana memuliakan Allah itu? Kembali ke cerita gembala. Apa yang mereka lakukan setelah menyaksikan Mesias? Apakah mereka diam saja di kandang itu dan menikmati kemuliaan Mesias? Injil Lukas mencatat : “Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka (Lukas 2:20).” Jadi mereka tidak diam saja, mereka kembali ke dalam tugas dan pekerjaan mereka!
Setelah berjumpa Mesias para gembala tidak berubah statusnya. Mereka tetap gembala. Namun, ada yang berubah, yakni mereka bersukacita dan memuliakan Allah. Mereka kembali dalam tugas pekerjaannya namun kini mereka maknai bahwa dalam tugas dan pekerjaan itu sebagai sarana untuk bersyukur, bersaksi dan memuliakan Allah. Anda tidak perlu mengubah status sosial terlebih dulu untuk bisa memuliakan Allah.
Banyak orang yang memuliakan Allah hanya di “kandang domba”. Di “kandang domba” mereka bisa memuliakan Tuhan dengan pujian-pujian yang memukau, bisa melayani dengan senyum, bisa berdamai dan mengampuni dosa. Tetapi bagaimana di luar “kandang”, di lingkungan keluarga, pekerjaan, dan masyarakat? Dapatkah orang melihat bahwa Anda adalah orang yang layak disebut orang yang bersukacita dan memuliakan Allah? Yesus adalah gambaran yang sempurna di mana di dalam Dia orang melihat kemulian-Nya. Kini kita terpanggil meneruskannya. Ada kisah menarik tentang seorang murid yang meneruskan pekerjaan gurunya:
Seorang komponis bernama Giacomo Puccini menulis sejumlah opera terkenal. Pada tahun 1922, ia terkena penyakit kanker, ketika ia sedang mengerjakan operanya yang terakhir, berjudul Turandot. Puccini berkata kepada murid-muridnya, “Jika saya tidak dapat menyelesaikan Turandot, saya ingin kalianlah yang menyelesaikannya.” Tidak lama kemudian ia meninggal.
Para murid Puccini mempelajari opera tersebut dengan teliti dan mereka berhasil menyelesaikannya. Pada tahun 1926 Turandot dipentaskan di Milan, di bawah pimpinan salah seorang murid Puccini, bernama Arturo Toscanini. Ternyata pertunjukan opera itu sangat sukses dan mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Milan. Inilah karya terbesar, dari buah karya Puccini. Arturo meneteskan air mata, karena terharu. Ia menghentikan musik, menurunkan tongkatnya dan berbalik ke arah penonton sambil berkata, “Hadirin yang terhormat. Karya ini diciptakan oleh guru saya, tetapi ia telah meninggal.”
Suasana sunyi menyelimuti ruang opera itu. Kemudian Arturo Toscanini mengangkat tongkatnya kembali, dan di sela-sela isak-tangisnya, ia berkata, “tetapi para muridnyalah yang menyelesaikan karya sang guru.”
Ketika Turandot berakhir, hadirin memberikan sambutan yang luar biasa meriahnya. Tak seorang pun yang pernah menyaksikan pertunjukkan itu akan melupakan peristiwa tersebut. Toscanini tidak mencuri kemulian dan pujian dari gurunya. Ia berhasil memuliakan sang guru, namun ia dan murid-murid yang lain menyelesaikan karya sang guru itu! Bagaimana dengan kita Sang Guru Agung telah mengajarkan banyak hal, apakah kita memuliakan-Nya dengan meneruskan karya ilahi itu? Ataukah kita sedang sibuk merancangkan untuk mencuri kemulian-Nya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar