Kamis, 15 Desember 2011

SESUNGGUHNYA AKU INI HAMBA TUHAN


Seorang teman bercerita tentang pengalamannya ketika pertama kali ia mengunjungi negeri kanguru, Australia. Kala itu, ia melihat seorang nenek tua hendak menyeberang jalan. Entah kenapa si nenek tiba-tiba sempoyongan dan dalam waktu bersamaan melitas sebuah sedan dengan kecepatan tinggi. Si nenek tersenggol mobil itu. Ia terpental, jatuh dan luka parah. Dengan naluri kemanusiaannya, teman ini bergegas menolong, ia cepat-cepat membopong si nenek dan dibawanya menepi. Namun, apa yang terjadi kemudian? Polisi mencekalnya, mereka bertanya apakah ia seorang dokter atau para medis yang mempunyai lisensi untuk melakukan tindakan dalurat. Teman itu tidak berdaya ketika polisi menyatakan tindakannya menolong dan membopong si nenek itu bersalah karena ia bukan dokter atau para medis. Apa daya, maksud baik menolong namun ternyata dituntut bersalah.

Maksud baik menurut kita, belum tentu menjadi kebaikan bagi orang atau pihak lain. Sama seperti kisah seekor kera yang hendak menolong sang ikan. Suatu ketika, kera tidak tega melihat ada seekor ikan yang sedang diburu oleh ikan lainnya yang lebih besar. Melihat kejadian itu, buru-bur si kera menangkap ikan yang menjadi korban itu. Lalu segera ia memanjat pohon dan membawa ikan itu. Melihat perilakunya itu, kera lain bertanya, “Apa yang sedang engkau lakukan?” Sang kera itu menjawab, “Aku sedang menyelamatkan ikan ini. Ia akan dimangsa oleh ikan yang lebih besar, maka aku tangkap supaya ia selamat, tetap hidup!”

Maksud kera baik, namun menjadi tidak baik dan mencelakakan bagi si ikan. Pada umumnya manusia yang mempunyai nalar akan berpikir untuk mengerjakan apa yang baik dan bermanfaat. Apalagi orang yang bernalar dan beragama, maka ia akan berusaha melakukan segala sesuatu yang menurut pandangannya baik dan menyenangkan hati Tuhannya. Hal ini terjadi pada Daud. Daud merasa hidupnya diberkati. Ia menjadi raja, tinggal di istana dan serba berkecukupan. Ia rindu untuk membangun rumah buat Tuhan. Rencananya disampaikan kepada Natan. Sang Nabi Tuhan ini, mengamini rencana raja, karena menurut pandangannya raja melakukan apa yang baik di mata Tuhan. Mereka berencana, namun tidak bertanya terlebih dahulu kepada Tuhan, apakah hal itu berkenan kepada-Nya atau tidak. Di luar dugaan, Tuhan melarang rencana Daud itu. Alih-alih memenuhi keinginan Daud mendirikan rumah bagi Allah, Allah justeru menjanjikan berkat-Nya bagi Daud dan keturunannya (2 Samuel 7:14,15). Dari keturunan Daudlah (Salomo) kelak yang akan membangun rumah Tuhan.

Bukankah acapkali kita seperti Daud, merasa bahwa apa yang kita pikirkan adalah baik. Atas nama kehendak Tuhan dan menolong sesama kita melakukan apa yang kita anggap baik. Menolong sesama, memberitakan Injil, tentu merupakan sebagian pekerjaan yang secara otomatis dalam benak kita pasti dirido’i Tuhan bahkan diperintahkan Tuhan sendiri. Karena keyakinan itu kita mengabaikan untuk bertanya, apakah Tuhan senang dengan apa yang kita lakukan? Apakah Tuhan akan tersenyum dengan rencana dan cara kerja kita? Belum tentu! Lalu, apakah kita juga telah sungguh-sungguh yakin bahwa apa yang kita pandang baik untuk orang lain, itu jugalah yang mereka pandang baik? Belum tentu juga! Di sinilah dituntut kerendahan hati. Kerendahan hati layaknya seorang hamba yang memahami bahwa dirinya tidak punya hak sama sekali atas kehendak sendiri bahkan atas nyawanya sendiri!

Maria adalah contoh seorang yang menghambakan diri pada Tuhannya. Betapa tidak, Maria punya rencana. Ia bertunangan dengan Yusuf. Ia punya rencana membangun keluarga yang menurutnya pasti direstui Tuhan dan sesuai dengan hukum Yahudi yang berlaku. Pertunangan biasanya berlangsung satu tahun dan merupakan ikatan yang secara legal hukum hampir sama dengan pernikahan, bedanya tidak boleh melakukan persetubuhan. Pertunangan hanya dapat dibatalkan oleh perceraian. Seandainya pria tunangan wanita itu meninggal dunia, maka secara hukum ia adalah seorang janda. Ungkapan yang dipakai tampak agak ganjil, “seorang perawan yang adalah seorang janda.”

Bayangkan dalam memasuki pasa pertunangan itu, malaikat Tuhan memberi kabar kepada Maria bahwa dirinya mengandung (Lukas 1:31). Coba Anda bayangkan suatu ketika anak gadis Anda datang kepada Anda dan berkata, “Mama….., aku hamil!” Apakah Anda akan mengatakan, “Puji Tuhan! Anakku hamil, aku nggak usah merencanakan dan membiayai lagi pernikahanmu, namun kini beberapa bulan lagi aku sudah akan mendapatkan cucu darimu!” Saya kira tidak ada orang tua yang waras akan mengatakan itu. Pasti ia akan marah, panik, kecewa dan bergumul.

Kita jarang sekali merasakan seperti apa perasaan Maria ketika ia mendengar kabar dari malaikat Tuhan tentang kehamilannya itu. Kita sudah terbiasa berpikir bahwa Tuhan sudah memberikan kuasa kepada Maria sehingga Maria mampu menanggung tugas itu dan malah ia menyukurinya. Ingatlah bahwa Maria juga adalah wanita yang “waras”, maksudnya sama seperti kebanyakan wanita atau gadis-gadis yang lain. Pasti ia juga panik, kecewa dan bergumul. Maria punya rencana yang indah bersama Yusuf, tunangannya. Kini rencananya pasti akan berubah! Impiannya tidak lagi seperti yang diingininya.

Meskipun Maria adalah gadis normal, namun ada yang membedakannya dari gadis yang lain atau dengan kita yakni, kesediaannya untuk mengubur dalam-dalam rencana dan impiannya. Setelah mengerti maksud Tuhan, Maria kini menyadari bahwa Tuhan menginginkannya menjadi alat bagi kehadiran Sang Jurus’lamat dunia. Sebab itu ia dapat mengatakan, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”(Lukas 1:38)

Jadi jangan gampang-gampang mengaku diri hamba Tuhan kalau tidak bersedia menanggalkan kehendak sendiri demi menyenangkan hati Tuhan dan kepentingan yang lebih luas.

1 komentar:

  1. Sangat relevan dengan saya, terima kasih atas refleksinya pak.

    BalasHapus