Kamis, 29 Desember 2011

HIDUP DALAM WAKTU TUHAN

Pada umumnya masarakat Barat memandang waktu sebagai sebuah garis lurus (linier). Konsep garis lurus tentang waktu diikuti dengan konsep urutan kejadian yang populer disebut kronologi. Sedangkan masyarakat Timur yang sangat dipengruhi oleh tradisi ajaran Hindu, memandang waktu sebagai siklus yang berputar terus-menerus tanpa akhir. Konsep yang paling sederhana tentang waktu yang adalah siklus biasa kita dengar ketika seseorang berkata bahwa kehidupan ini ibarat roda. Ia berputar terus, kadang bagian roda itu ada di atas tetapi suatu ketika juga ada di bawah.

Dalam masyarakat Yunani wacana tentang waktu umumnya ada dua macam. Pertama, apa yang disebut dengan kronos, yakni urutan dari detik ke menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya. Kronos dipahami sebagai deretan peristiwa dari awal sampai akhir (baca: kronologis). Yang berikutnya adalah kairos, yang lebih populer diterjemahkan dengan “kesempatan”. Dalam rentetan kejadian, misalnya dari lahir sampai meninggalnya seseorang pastilah terdapat kesempatan-kesempatan orang itu untuk bertumbuh, sukses, dan menjadi bahagia. Di dalam kronos pasti ada kairos.  Alkitab memahami baik kronos maupun kairos keduanya adalah pemberian Tuhan. Manusia yang berhasil menempatkan waktu dari perspektif Allah, Sang pencipta dan pemberi waktu itu akan berhasil menikmati keindahannya (Pengkhotbah 3:11a). Sebaliknya, manusia yang menggunakan waktu hanya untuk melampiaskan kesenangannya saja akan menjumpai bahwa hidupnya akan sia-sia.

Tidak mudah dan cenderung mustahil untuk menempatkan perspektif waktu dari sudut pandang Allah. Pengkhotbah 3:11b, mengatakan: “Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan Allah dari awal sampai akhir.” Apakah dengan demikian kita menyerah? Lalu kehilangan kebahagiaan dan makna hidup? Mestinya tidak! Allah memberi kesempatan bagi setiap manusia untuk mengenal diri-Nya. Kita yakini bahwa manusia dapat memahami Allah lebih utuh melalui Yesus Kristus. Yesus mengajarkan kepada para murid-Nya untuk dapat menggunakan waktu dan kesempatan dengan melakukan kehendak Bapa-Nya. Sebab segalanya akan berakhir dan menuju kepada penghakiman. Matius 25 :31-46 mengingatkan kita tentang penghakiman itu. Apakah kesempatan yang Tuhan berikan untuk melayani sesama yang pada hakekatnya melayani Tuhan sendiri, kita abaikan begitu saja atau ditanggapi dengan serius, dengan sepenuh hati, karena bisa saja kesempatan itu tidak akan ada lagi.

Mungkin ada orang yang berpikir, sama seperti dalam kitab Pengkhotbah segala sesuatu toh akhirnya akan sia-sia. Apa yang dianggap baru dulu pernah ada. Untuk apa lagi aku bersusah payah. Ada sebuah kisah seseorang yang memberi makna pada hidupnya.

Ada tiga anak laki-laki bertetangga, Salvator, Julio dan Antonio, mereka bermain sandiwara di Cremona, Italia sekitar tahun 1600-an. Salvator memiliki suara tenor yang bagus dan Julio bermain biola, mengiringi pertunjukan mereka. Antonia juga menyukai musik dan suka ikut bernyanyi bersama, tetapi suaranya parau seperti suara pintu yang berderit. Semua anak suka menertawai Antonio apabila ia mencoba bernyanyi. Antonio bukanlah seorang yang tidak mempunyai talenta. Barang miliknya yang sangat berharga adalah pisau saku, pemberian kakeknya. Kegemarannya adalah mengukir kayu, dan ternyata hasil karyanya sangat bagus.
Ketika festival tahunan sudah dekat, Salvator dan Julio merencanakan pergi ke Katedral, seperti biasa di sana mereka bermain musik untuk menghibur para pengunjung. “Apakah engkau mau bergabung dengan kami?” tanya mereka kepada Antonio yang sedang mengukir kayu. “Siapa yang peduli bahwa engkau tidak bisa nyanyi. Kami ingin engkau bergabung dengan kami.”

Ketika mereka tiba di alun-alun, Julio mulai memainkan biolanya, mengiringi Salvator yang bernyanyi dengan merdu. Banyak orang yang datang menyaksikan pertunjukan mereka dan banyak di antara mereka yang memberikan sumbangan. Tiba-tiba ada seorang pria yang muncul di tengah keramaian. Ia memuji dan menaruh satu koinemas di tangan Salvator, lalu segera menghilang. Salvator segera membuka tangannya dan menarik nafas dalam-dalam, “Lihat! Ini satu keping emas.” Ketiga anak itu sangat gembira.

Julio rupanya mengenali orang itu, ia berkata,”Kalian tahu, orang yang memberi koin itu adalah Amati, seorang kesohor.” Antonio balik bertanya, “Siapa itu Amati dan mengapa ia tersohor?” Kedua temannya berkata, “Apakah engkau belum pernah mendengar nama Amati? Tentu engkau belum pernah mendengar namanya. Antonio tidak tahu apa-apa tentang musik dan pembuat alat musik! Yang kamu tahu hanyalah mengukir kayu. Supaya kau ketahui, Amati adalah seorang pembuat biola ternama!”

Ketika pulang ke rumah, Antonio gelisah. Sepertinya ia selalu menjadi bahan tertawan teman-temannya karena suaranya yang jelek dan kegemarannya mengukir kayu. Keesokan harinya, Antonio meninggalkan rumah, dan membawa serta pisau, alat pengukirnya. Sakunya penuh dengan barang-barang hasil ukirannya. Ia memutuskan untuk pergi mencari rumah Amati. Akhirnya Antonio menemukan rumah amati. “Saya datang membawa barang-barang ini untuk Tuan,”kata Antonio, “saya harap Tuan sudi melihat barang-barang saya dan dapat mengatakan apakah saya juga memiliki bakat untuk membuat biola seperti Tuan,” ia menegaskan. Dengan penuh perhatian, Amati mengambil barang-barang itu, memeriksanya dengan saksama, kemudian ia mengundang Antonio masuk ke dalam rumahnya. “Mengapa engkau ingin membuat biola, nak?” Tanya Amati.
Dengan bersemangat, Antonio menjelaskan, “Saya mencintai musik, tetapi saya tidak bisa bernyanyi karena suaraku jelek. Tuan sendiri menyaksikan teman-temanku membuat aktrasi yang menarik di depan katedral kemarin. Saya juga ingin membuat musik sunguh-sungguh hidup.” Sambil menatap Antonio, Amati berkata, “Hal yang penting dari sebuah nyanyian adalah jiwanya. Ada banyak cara orang membuat musik. Ada orang yang mahir bermain biola, yang lain menyanyi. Tetapi ada juga orang yang mahir melukis. Bakatmu adalah mengukir, dan ini merupakan nyanyian yang sama terhormatnya dengan apa yang dimiliki oleh teman-temanmu.” Antonio sangat antusias dan ia tidak pernah melupakan nasehat Amati.

Dalam waktu yang sangat singkat, Antonio menjadi murid Amati. Setiap hari ia belajar dengan tekun dan mengamati gurunya membuat biola. Ketika ia berumur 22 tahun, gurunya memberi ijin kepadanya untuk membubuhkan namanya sendiri pada biola yang dibuatnya. Selama sisa hidupnya, Antonio Stradivari telah membuat kurang lebih 1.100 biola, dan setiap kali membuat satu biola baru, ia berusaha membuatnya lebih baik dari yang terdahulu. Setiap orang yang memiliki biola Sradivari, memiliki suatu karya yang bermutu. Anda tahu, dalam lelang tanggal 16 Mei 2006, satu buah biola Stradivari laku AS$.3.544.000,-

Barangkali kita juga tidak dapat bernyanyi, bermain musik, mengukir atau membuat biola, tetapi kita semua dapat mengasihi orang-orang yang ada di sekitar kita. Pakailah semangat Stradivari agar setiap hari kita gunakan sebagai kesempatan untuk mengasihi sesama lebih baik lagi seolah-olah itulah kesempatan terakhir yang kita punya. Hari ini, pandanglah pasangan Anda, berbuatlah sesuatu yang terbaik seolah-olah besok Anda akan mati, hal yang sama lakukanlah pada anak, orang tua, teman-teman dan juga terhadap tugas-tugas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab Anda. Dengan demikian pastikanlah bahwa kualitas hidup Anda dalam menggunakan waktu akan lebih baik.

Hidup dalam perspektif Tuhan bukan dinilai dari berapa lama atau panjangnya umur seseorang, melainkan seberapa berkualitasnya ia dapat menghadirkan kasih Allah dalam kehidupannya. Ingatlah Yesus hidup tidak lebih dari 40 tahun, namun kualitas hidup-Nya luar biasa. Kini nama-Nya tetap abadi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar