Ada sebuah kisah klasik di kalangan Muslim tentang kepemimpinan Sayyidina Umar. Umar bin Kattab adalah khalifah kedua Islam (634-644). Pada masa pemerintahannya terjadilah apa yang disebut dengan “Tahun Abu”. Masyarakat Arab mengalami paceklik yang sangat hebat. Hujan sudah lama tidak turun, tanah tempat berpijak mengitam seperti debu! Putus asa terjadi di mana-mana. Saat itu Umar berinisiatif untuk mengerahkan dayanya, termasuk memotong unta-untanya dan membagikan kepada rakyatnya agar tidak mati kelaparan. Umar menabukan makan daging dan hidup dalam kemewahan.
Hampir setiap malam, Umar melakukan perjalanan diam-diam, ditemani oleh Aslam, seorang sahabat setianya. Masuk kampung keluar kampung untuk melihat dan mendengar sendiri kondisi rakyat yang sedang ia pimpin. Malam itu Umar dan Aslam berada dalam sebuah kampung terpencil di padang gurun. Saat itu Umar dikejutkan oleh suara tangis gadis kecil di sebuah gubuk. Segera mereka bergegas ke sana, siapa tahu penghuninya membutuhkan pertolongan segera. Setelah mendekat, mereka melihat seorang ibu sedang menghadapi sebuah panci di atas tungku. Asap mengepul di atas panci itu sementara si ibu terus mengaduk panci itu.
Umar bertanya kepada ibu itu tentang apa yang sedang dimasaknya. Si ibu memersilahkan Umar melihat sendiri ke dalam panci itu. Heran dan terkejut, Umar bertanya, “Batukah yang engkau rebus?” Ibu itu menganggukan kepalanya tanda mengiyakan. “Untuk apa engkau memasak batu?” Tanya Umar kembali.
“Aku terpaksa memasak batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab, ia tidak mau melihat ke bawah, betapa sengsaranya rakyat! Aku ini seorang janda, sejak pagi tadi, kami belum makan apa-apa, jadi anakku pun kusuruh berpuasa, siapa tahu Tuhan baik, menjelang buka puasa ada orang yang mau berbagi makanan dengan kami. Sesudah magrib, makanan belum ada juga. Maka aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukannya ke dalam panci, mengisinya dengan air dan memasaknya. Aku masak batu itu untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi.
Dengan air mata berlinang, Umar segera mengajak Aslam pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera menuju ke gudang gandum, ia mengambil gandum itu dan memikulnya sendiri untuk diberikan kepada janda yang sengsara itu. Karena Umar terlihat kelelahan, maka Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminim, biar aku saja yang memikul karung itu!” Umar segera menjawab, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam api neraka! Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini? Apakah kau kira dirimu sanggup memikul beban dipundakku ini pada hari pembalasan kelak?”
Kisah klasik tentang Khalifah Umar bin Khattab ini berbanding terbalik dengan para pemimpin Israel pada jaman Yehezkiel. Para pemimpin baik birokrat maupun pempimpin umat yang seharusnya berlaku seperti Umar, sebagai gembala justeru merekalah yang memanfaatkan habis-habisan domba-domba yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Melalui Yehezkiel, Tuhan mengutuk para pemimpin itu. “Celakalah gembala-gembala Israel, yang menggembalakan dirinya sendiri! Bukankah domba-domba yang seharusnya digembalakan oleh gembala-gembala itu! Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri kamu tidak gembalakan. Yang lemah tidak kamu kuatkan,, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman.” (Yeh.34:2a-4). Jika kita cermati ayat-ayat selanjutnya, Tuhan sendirilah yang akan menjadi lawan para gembala itu (Yeh.34:10). Tuhan akan mengambil alih tugas penggembalaan itu! Tuhan akan menjadi hakim atas para gembala dan domba-domba itu!
Apa yang kita dilakukan terhadap sesama, pastilah mengandung konsekwensi pertanggung-jawaban kita terhadap Tuhan. Dalam Matius 25:31-46, mencerminkan penghakiman itu. Yesus mengidentikan diri-Nya dengan orang yang lemah, tersisih, terbuang, miskin dan menderita. Apa yang kita perbuat terhadap orang-orang seperti itu sesungguhnya kita lakukan untuk Tuhan sebaliknya apa yang tidak kita lakukankan terhadap mereka sesungguhnya juga kita tidak mengerjakannya untuk Tuhan.
Jika seseorang mengatakan mencintai Tuhan, maka kalau perkataannya itu tulus dan jujur, ia akan mampu melihat dalam diri sesamanya ada wajah Tuhan. Mustahil seseorang mengatakan mencintai Tuhannya lalu mengabaikan atau bahkan menindas sesamanya. Simaklah 1 Yohanes 4:20, “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah.’ Dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barang siapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar