Head line Surat Kabar Kompas tanggal 20 Oktober 2011 menuliskan, “SBY: Uang Negara Dirampok”. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui, korupsi oleh oknum pemerintah pusat dan daerah serta di parlemen masih terjadi. “Uang negara dirampok oleh mereka yang tidak bertanggung jawab,” kata Presiden seusai melantik 12 menteri dan 13 wakil menteri hasil perombakan kabinet di Istana Negara. Presiden juga mengajak segenap elemen bangsa untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama.
Apa lacur, saat renungan ini ditulis, usia pemerintahan SBY-Budiono genap dua tahun. Jargon pemberantasan korupsi masih terus diusung sejak kampanye namun kenyataanya pemberantasan korupsi hanya sebatas lip service. Idealis mungkin lebih tepatnya retorika, hanya sebatas wacana. Rakyat menantikan akhir dari drama Century, Wisma Atlet SEA Games, Nazaruddin, Kemenakertrans, dan masih banyak kasus lain yang melibatkan unsur penguasa. Alih-alih menyeret pelaku dan aktor intelektual, justeru karyawan bawahan, si pelaksana yang terjerat.
Apa yang ideal dan normatif selalu menarik dan mudah diucapkan. Namun, realitas jangan ditanya. Hal serupa terjadi ketika umat beragama sedang berpropaganda. Semua menawarkan yang baik dan indah. Yang ideal dan normatif namun jangan ditanya prakteknya! Dalam sebuah percakapan yang membicarakan tentang kasih. Beberapa anggota jemaat antusias bahkan hafal istilah-istilah: eros, storge, filea, dan agave. Percakapan itu berlanjut. Saya punya cerita. Ceritanya begini: Ada sepasang suami-isteri mereka dikaruniai 5 orang anak. Si suami tergoda dengan wanita lain lalu meninggalkan isteri dan anak-anaknya yang masih kecil. Sang isteri berjuang banting tulang menghidupi anak-anak mereka. Sedangkan si suami tak peduli lagi. Tanpa terasa waktu terus berjalan. Anak-anak sudah jadi sarjana. Kini si suami sakit struk, ia menyadari kesalahannya dan berniat kembali kepada istrinya. Saya bertanya, “Andaikan Anda yang jadi isterinya, maukah Anda terima dia dalam kondisi seperti itu?” Apa jawab mereka? “No way! Enak saja, giliran sudah rongsok mau kembali!” Ternyata benar apa yang menjadi teori orang Kristen tentang kasih tidak selamanya mudah padahal inilah jantung keyakinan orang Kristen, hukum yang pertama dan terutama (Matius 22:37-40).
Hal serupa sama seperti Tuhan meminta umat-Nya agar hidup kudus. Kudus bukan hanya bersifat lahiriah, menjaga badan dari benda-benda nazis. Kudus adalah suatu sikap dan prilaku yang berbeda dari kebanyakan orang. Kudus berarti terpisah dari segala hal yang cemar. Bebas dari dosa!
Umat Israel diminta untuk hidup kudus di hadapan Allah, hal itu terjadi supaya jelas identitas mereka di antara bangsa lain. Israel berbeda dari yang lain dalam melakukan ibadah dan prilaku hidup mereka (Imamat 19:1-18). Hidup kudus di hadapan Allah adalah hidup bersekutu dan bergaul dengan Allah melalui firman-Nya (Mazmur 1:1-6). Hal ini akan menghasilkan motivasi yang baik untuk mengerjakan apa yang benar menurut kehendak-Nya.
Apa yang menjadi identitas kristiani? Pasti kita sepakat dengan jawaban “kasih”. Namun kasih yang bagaimana? Toh, kasih bersifat universal, semua orang bisa melakukannya. Dikaitkan dengan kekudusan, itu artinya kita harus berpikir tentang apa yang membedakan orang Kristen mengasihi dan orang yang bukan Kristen mengasihi. Jika kebanyakan orang akan mengasihi orang yang telah mengasihinya lalu dimana letak perbedaan antara pengikut Yesus dan yang bukan? (bnd.Matius 5:46) Jika pasangan Anda mengianati lembaga pernikahan lalu Anda menutup pintu pengampunan bahkan berpikir: “jika dia bisa melakukan itu kepadaku, aku juga bisa membalasnya.” Apa bedanya dengan yang lain? Jika dunia membalas kebencian dengan kebencian, sanggupkah orang Kristen berkata, “aku akan membalasnya dengan senyum dan cinta kasih!”. Kasih yang seperti inilah yang berkaitan dengan kekudusan. Mengapa? Karena kasih ini beda dari kasih kebanyakan orang. Allah disebut kudus karena Dia berbeda dari yang lain. Demikian juga kasih-Nya beda dengan kasih manusia. Manusia mengasihi sesamanya yang baik kepadanya dan cenderung membenci yang telah menyakitinya. Namun, Allah tidak! Dia mengasihi semua orang, yang baik maupun yang jahat. Itulah kasih yang berbeda. Itulah kasih kudus! Tuhan mau kita meniru kasih-Nya.
Apakah mungkin? Ya! Ketika kita menghayati dan merasakan kasih Tuhan. Kasih itu akan memotivasi kita untuk melakukannya bukan dengan keterpaksaan, melainkan dengan sukacita. Kita dapat belajar dari pengalaman Paulus. Pertama, ia terus mau melayani Tuhan walaupun dianiaya (1 Tesalonika 2:2), mengapa? Oleh karena Paulus mengalami kasih Tuhan. Kasih itu yang memotivasinya untuk melayani Tuhan melalui sesama. Kedua, Paulus menasehatkan jika kita melakukan tindakan kasih jangan mencanangkannya untuk mencari puji-pujian manusia atau dengan kata lain untuk menyenangkan manusia. Tetapi untuk menyukakan Allah. (1 Tesalonika 2:4-7)
Jadi rasakanlah kasih Tuhan itu maka Anda dapat menyalurkannya kepada orang lain. Jangan mencari hormat dan pujian dari orang lain agar kasih kita tulus. Pandanglah dalam diri orang lain ada wajah Kristus di sana pasti Engkau akan mengasihi dengan segenap hati, akal budi dan kekuatanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar