Kamis, 27 Oktober 2011

MENGHUBUNGKAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DAN PRILAKU ADIL

“Managers arepeople who do things right, while leader are people who do the right thing.” Itulah kutipan dari buku berjudul “On Becoming Leader” karya ekonom Warren Bennis. Seorang pemimpin bukan orang suruhan, yang melakukan sesuatu dengan baik. Tak diminta pun pemimpin melakukan hal yang baik. Pemimpin melakukan hal-hal yang baik bukan untuk mendapatkan pujian atau mempertahankan citra dirinya. Jika pada akhirnya orang lain mengakuinya, hal itu adalah buah dari “pohon” hal yang sudah ditanam selama ini. (Kompas, 27 Oktober 2011, hlm.1)

Di samping rumah Nasruddin ada sebuah gudang yang sangat gelap. Suatu malam ia masuk ke dalam gudang itu untuk mengambil tangga. Namun, ketika tangannya menggapai tangga, cincinnya terjatuh. Kemudian ia meletakan kembali tangga itu, lalu keluar menuju jalan dan mulailah ia mencari cincinnya. Seorang teman melihatnya dan bertanya, “Nasruddin, apa yang sedang kamu cari di situ?”  Nasruddin menjawab, “Aku kehilangan cincin dan sekarang sedang mencarinya!” Temannya menawarkan jasa,”Aku mau menolongmu mencari cincin itu, tapi kira-kira cincin itu hilang di mana di mana?”Di dalam gudang!” jawab Nasruddin. “Mengapa engkau tak mencarinya di sana?” Nasruddin menjawab “Di gudang sangat gelap. Mana bisa aku mencarinya di sana? Mendingan di sini. Di sini cukup terang!”

Ahli-ahli Taurat dan orang Farisi, mereka adalah para pemuka agama pada jaman Yesus mirip-mirip seperti Nasruddin. Mereka melakukan berbagai aksi kesalehan agamawi di dalam “terang” agar dapat dilihat oleh khalayak dan dari sana mereka menikmati pujian. Namun, ibadah dalam arti yang sesungguhnya, yang bisa saja menemui banyak kesulitan tidak pernah mereka kerjakan dengan tulus. (mencari jarum di gudang gelap, kalau dalam cerita Nasruddin, tidak pernah mereka sentuh) “Mereka mengikat beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.”(Matius 23:4).
Apa yang diajarkan oleh para pemuka agama ini adalah hal yang baik. Yesus setuju dengan apa yang diajarkan mereka, namun Dia mengecam prilaku yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ajarkan. Maka Yesus berkata, “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya,” (Matius 23:3). Yesus mengecam kemunafikan dan ketidakadilan yang dipertontonkan oleh para pemimpin agama itu!

Kecaman serupa terjadi pada jaman Nabi Mikha yang hidup sekitar tahun 725 SM. Mikha mengecam para pemimpin bangsa Israel yang memperlakukankan rakyaknya dengan semena-mena. Mikha 3: 2 dan 3 menggambarkan dengan sadisnya para pemimpin itu menguliti dan memutilasi serta memakan daging bangsanya sendiri padahal mereka mengetahui keadilan. Celakanya orang-orang yang mengaku diri sebagai nabi, mereka mengaminkan ketidakadilan yang dipraktekan oleh para pemimpin itu bahkan mereka sendiri ikut serta dalam pesta pora penindasan! (Mikha 3:5). Apa jadinya jika para pemimpin dan pemuka agama justeru melakukan apa yang keji di hadapan Tuhan? Jelas, Tuhan tidak tinggal diam. Kini mereka menjadi lawan Tuhan.

Seorang ateis tulen bukanlah mereka yang tidak mengakui adanya Tuhan, melainkan mereka yang mengaku, percaya, mengerti ajaran dan kehendak Tuhan namun dengan sengaja ia menolak untuk melakukannya. Jika seseorang tidak mengakui adanya Tuhan lalu ia tidak melakukan apa yang Tuhan mau logikanya adalah wajar. Namun, jika seseorang percaya, mengerti dan tahu kehendak-Nya namun ia tidak melakukannya maka ia lebih dari seorang ateis. Ia menjadi lawan Tuhan. Kenyataannya banyak di antara kita yang percaya; setiap hari minggu mengku percaya, mengerti dan tahu kehendak-Nya, namun seringkali kita juga menolak melakukannya. Kita sering menolak untuk mengasihi orang yang membenci kita, kita sering menolak untuk mengampuni orang yang melukai hati kita. Lalu apa bedanya dengan ahli Taurat dan orang Farisi?

Kita mudah untuk menganalisa kepemimpinan orang lain, mengeritik dan bahkan mencelanya. Apalagi kalau nyata-nyata para pemimpin itu melakukan banyak ketidakadilan, mencari keuntungan namun sibuk membangun citra diri yang berlebihan. Nah, bagaimana dengan kita sendiri? Apakah kehidupan ritual keagamaan yang kita jalani selama ini ada korelasinya dengan sikap hidup kita sehari-hari? Paulus memberi contoh tentang itu. Ketika ia mengajarkan jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan (2 Tesalonika 3:10). Maka Paulus pun bekerja siang malam agar pelayanannya tidak menjadi beban bagi orang yang ia layani (1 Tesalonika 2:9), sekalipun sebenarnya ia layak menerima jaminan kehidupan dari orang-orang yang dilayaninya.

Saya sering mengutip kisah Mahatma Gandhi, salah satunya ketika ada seorang ibu nyang membawa anaknya yang masih kecil kepadanya. Si ibu memohon agar pak Gandi menasehatkan anaknya untuk tidak selalu makan gula-gula (permen). Gandhi menyuruh ibu itu kembali minggu depan. Tampa bertanya panjang lebar, ibu itu pulang. Seminggu berlalu mereka kembali menghadap Pak. Gandhi. Lalu Gandhi menasehati anak itu. Ia berkata, “Nak, berhentilah makan gula-gula, karena tidak baik untuk gigimu, bisa bolong dan sakit!” lalu Gandhi menyuruh mereka pulang. Sebelum pulang si ibu bertanya, “Pak. Gandhi, mengapa untuk nasehat yang sederhana itu kami harus menunggu selama satu minggu?”Masalahnya, seminggu yang lalu aku masih suka makan gula-gula!” Banyak orangtua menasehati anak-anak mereka namun seringkali orangtua sendiri melanggar apa yang diajarkan kepada anak-anaknya. Belajarlah konsisten, menerjemahkan ritual keagamaan dalam hidup sehari-hari, pasti akan menyenangkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar