Jumat, 12 Agustus 2011

BERKAT ALLAH MENJANGKAU SEMUA BANGSA


Ada dua orang pemuda yang dibesarkan oleh ayah mereka yang pemabuk. Kedua pemuda ini memilih cara hidup sendiri-sendiri. Beberapa tahun kemudian, seorang psikolog yang sedang meneliti tentang dampak psikologis dari orang tua pemabuk kepada anak-anaknya mencari kedua pemuda itu.

Salah seorang dari pemuda itu sudah menjadi pemabuk. Sama seperti ayahnya. Namun, saudaranya telah memilih menjadi manusia anti alkohol, yang tidak pernah meminum alkohol. Psikolog itu bertanya kepada pemuda yang telah menjadi pemabuk itu, “Mengapa Anda menjadi seorang pemabuk?” dan kepada pemuda yang lain, “Mengapa Anda menjadi seorang yang anti alkohol?”

Dan mereka berdua memberi jawaban yang sama , “Apa yang bisa Anda harapkan, bila Anda memiliki seorang ayah seperti ayah saya?”

Perhatikan jawaban kedua pemuda kakak-beradik ini. Di atas kertas sama. Namun, bagi mereka memiliki makna yang bukan saja berbeda melainkan bertolak belakang! Pemuda pertama memaknai dengan sikap negatif. Artinya, menyesali memiliki ayah yang pemabuk dan karena itu wajarlah bahwa ia tumbuh menjadi anak yang tidak punya figur ayah yang baik. Dan wajar pula jika ia meneruskan kebiasaan sang ayah, menjadi pemabuk. Namun, berbeda dengan anak yang kedua. Pemuda ini menyadari bahwa figur ayahnya tidak baik, tidak ada yang diharapkan darinya, maka kini ia harus menjadi figur yang baik. Alkohol yang menjadi perusak tidak saja harus dihindari tetapi juga harus dilawan!

Pandangan manusia tentang ekslusifisme di atas kertas juga sama, “Apa yang dapat manusia harapkan dari sikap ekslusif?” Kebanyakan orang  mengatakan bahwa ekslusifisme dapat memberi kenyamanan, kebanggaan, kehormatan, rasa aman dan nyaman dan seterusnya. Maka hidup seperti ini harus terus dilestarikan. Oleh karenanya banyak orang sibuk membangun ekslusifitas dalam kelompoknya masing-masing dengan mengatsnamakan agama, tradisi, keilmuan, profesi, dan lain sebagainya. Di luar kelompoknya dinilai selalu saja ada yang kurang pas, tidak sempurna bahkan keliru. Banyak korban dari ekslufisme ini.

Alkitab mengisahkan salah satu korban ekslusifisme adalah seorang perempuan dari Kanaan yang memohon kepada Yesus supaya anaknya yang sedang menderika karena kerasukan setan ditolong. Namun, sayangnya dalam tradisi dan keyakinan Yahudi tidaklah mungkin berkat Tuhan, apa pun bentuknya dapat menjangkau orang kafir. Kanaan di mata Yahudi mempunyai stigma yang buruk: sebagai bangsa yang tidak mengenal Tuhan dan penyembah berhala serta pernah menjadi lawan mereka. Dalam nafas inilah cerita ini dibangun. Sehingga sangatlah logis ucapan beraroma super ekslusif meluncur dari mulut Yesus, “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel….Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (Matius 15:24,26)

Namun, perempuaan Kanaan ini, sama seperti pemuda kedua dalam cerita di atas, mampu melihat dari perspektif positif. Dia keluar dari pandangan umum ekslusifisme. Dia yakin bahwa kasih Allah dalam Kristus mampu menembus tembok superior Yudaisme. Perempuan ini pantang menyerah! Coba bandingkan dengan diri kita. Ketika kita mengalami peristiwa yang sama dengan apa yang dialami oleh perempuan Kanaan ini. Sangat mungkin kita terbawa arus dan kemudian berbalik mengambil langkah seribu meninggalkan Tuhan. Namun, perempuan Kanaan ini berhasil mengalahkan dirinya dengan menjawab Yesus, “Benar Tuhan, namun anjing itu makan dari remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.”(Mat.15:27)
Jika Anda menjadi korban dari budaya ekslusifisme, cerita tentang perempuaan Kanaan ini menjadi pembelajaran buat kita. Jangan mudah menyerah! Yakinlah bahwa segala sesuatu yang buruk sekalipun pasti ada celah yang baik. Minimal membuat Anda semakin tangguh dan tidak cengeng menghadapi realita hidup ini. Teruslah berbuat baik walaupun ketidaknyamanan mungkin akan menghadang Anda. Dan yang terpenting di atas itu semua, sama seperti perempuan Kanaan ini, Tuhan ada di pihak Anda!

Saya yakin Yesus memakai seting ekslusifisme Yudaisme untuk mengatakan bahwa kasihNya tidak dapat dibentengi oleh sekelompok orang tertentu, dalam kasus ini konteks Yahudi yang merasa diri bangsa yang paling terpilih di hadapan Allah. Meskipun ada banyak ahli tafsir mengatakan bahwa memang benar ketika Yesus berkarya, Dia hanya membatasinya dalam ruang lingkup Yahudi, baru kemudian setelah selesai karyaNya, Yesus kembali ke sorga, murid-muridNyalah yang meneruskan Injil kepada bangsa-bangsa. Keyakinan bahwa Yesus menginginkan karyaNya menembus bangsa-bangsa dibuktikan dengan ending atau akhir cerita ini. Yesus mengatakan, “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang engkau kehendaki.” Dan seketika itu anaknya sembuh.  (Mat.15:28)

Lalu apa dampaknya jika kita meyakini bahwa Yesus pada jamanNya peduli terhadap perempuan Kanaan yang punya stigma negatif? Bukankah sekarang ini banyak kalangan kristiani yang membatasi kasih dan penyelamatan Tuhan hanya bagi dirinya sendiri. Kasih Tuhan tidak berlaku bagi orang di luar Kristen! Perhatikan sikap seperti ini, bukankah hal itu sama dengan eklusifisme Yahudi? Mestinya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ingatlah siapa kita di hadapanNya, kita hanya ciptaan tidaklah mungin untuk membatasi rahmat atau kasih Allah. Kita menngenal melalui Alkitab bahwa kasih Allah yang menyelamatkan dunia ini nyata di dalam Kristus, namun keyakinan itu tidak boleh membuat kita merampas dan membatasi kasih Allah itu untuk diri sendiri. Tak seorang pun yang dapat membatasi kasih Allah itu. Alih-alih membentengi dan menahan kasih dan keselamatan itu bagi banyak orang yang berbeda dalam segala hal dari kita, gunakanlah segala daya kita untuk meneruskan cinta kasihNya itu dengan tulus tanpa motifasi busuk yang terselubung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar