Kamis, 04 Agustus 2011

MENGARUNGI BADAI DENGAN IMAN


Seorang ayah meminta tolong kepada anaknya untuk mengangkat segelas air minum dan membawakan kepadanya. Sebelum ayah menerima air minum dalam gelas itu, ia bertanya kepada anaknya yang masih duduk di kelas enam SD itu. “Menurutmu, berapa berat gelas dan isinya yang engkau bawa ini?” Anaknya menjawab, “Gelas ini berisi 200 cc air, kalau ditambah dengan gelasnya ya kira-kira dua setengah ons.”

“Tepat jawabmu!” Kata ayahnya, “Berat beban seperti itu dapat kamu angkat dengan mudah. Namun, sekarang bukan berat beban absolut gelas ini, melainkan berapa lama kamu tahan mengangkatnya. Coba dengan berat yang tidak ditambah dan dikurangi ini sekarang kamu angkat dan pegang selama satu jam! Kira-kira apa yang akan terjadi?” Dapatkah kamu menahan gelas itu? Ayah percaya pasti kamu masih dapat menahannya walau nanti tanganmu terasa pegal. Nah, sekarang kamu angkat dan pegangi terus gelas ini sampai besok, dua puluh empat jam! Apakah kamu mampu melakukannya? Ayah yakin, pasti kamu tidak akan mampu melakukannya.”

Anaknya menyahut, “Lalu apa maksud ayah dengan semuannya ini dan bagaimana dengan masalah yang sedang saya hadapi?” Rupa-rupanya si anak sedang mengalami masalah dengan pelajaran matematika di sekolahnya. Anaknya seringkali mengeluh dengan banyaknya PR yang harus dia kerjakan. Alih-alih mencoba mengerjakannya malah ia menjadi muak dengan tugasnya itu. Matematika dan PR-nya itu menjadi momok yang menakutkan. Big problem!

“Selama ini yang ayah perhatikan,  kamu memandang semua tugasmu itu adalah beban persoalan yang menekanmu. Kamu terpaku pada masalah dan akibatnya mengabaikan solusi atau jalan keluarnya. Ibaratnya kamu terus memegangi gelas ini sepanjang hari, jelas kamu tidak akan mampu menahannya, selamanya tugasmu itu akan menjadi beban!” Jawab si ayah.

“Lalu apa yang harus saya lakukan?” Tanya anaknya.

“Begini”, kata ayahnya sambil meminum air itu dan kemudian meletakan gelasnya. “Simpel dan sederhana, bukan? Ada yang harus kita minum, artinya ada yang harus kita kerjakan dengan sungguh-sungguh dan ada yang harus kita letakkan, yakni gelasnya. Yang kita perlukan bukan terpaku pada tugas itu. Sebenarnya gurumu di sekolah telah memperhitungkan kemampuan para muridnya. Itu berarti setiap murid, termasuk kamu mestinya dapat mengerjakan dengan baik asalkan mau disiplin. Dalam kehidupan ini ada bayak orang tidak sanggup menghadapi persoalan dan badai kehidupan padahal sebenarnya ia mampu. Mengapa? Karena selalu terpaku pada masalah, persoalan dan penderitaan yang dihadapinya, ketimbang melihat rencana Tuhan dan fokus kepada Tuhan.”

Masalah sekecil apa pun ketika terus “dipegangi” akan menjadi persoalan berat. Seorang bapak setengah baya memeriksakan kesehatannya kepada dokter. Dokternya mengatakan bahwa dirinya mempunyai kecenderungan darah tinggi. Pulang dari dokter, si bapak ini terus memikirkannya. Ia mulai pantang banyak makanan. Hidupnya dicekam oleh bayang-bayang stroke yang ia saksikan sendiri pada temannya. Ketakutan telah menggelamkan kegembiraan hidup yang seharusnya ia rasakan.

Ternyata hidup memusatkan diri kepada Tuhan bukanlah perkara yang mudah. Petrus seorang murid yang sangat dekat dengan Yesus (Matius 14:22-33). Suatu ketika meminta kepadaNya agar ia dapat berjalan di atas air menghampiriNya. Setelah beberapa langkah berjalan, ia merasakan tiupan angin yang membuatnya takut. Hatinya ciut, tidak lagi fokus pada Yesus. Lalu tenggelamlah ia! Padahal baru saja Petrus dan murid-murid yang lain menyaksikan bagaimana kuasa Yesus berjalan di atas air dan hendak menolong mereka. Petrus adalah gambaran kita yang di mulut dan dalam kondisi nyaman mudah percaya dan mengimani Kristus. Namun, kenyataanya ketika berhadapan langsung dengan masalah kehidupan, iman kita menjadi ciut. Masalah dan persoalan hidup itu menenggelamkan kita dan akhirnya kita tak berdaya menghadapinya.

Tuhan tidak menginginkan anak-anakNya ditenggelamkan oleh badai kehidupan. Tuhan juga tidak ingin anak-anakNya hanya jadi “penonton” dan penikmat mujizatNya. Ia menginginkan anak-anakNya terlibat langsung, berhadapan dengan masalah dan mengatasinya dengan baik. Ia ingin anak-anakNya tumbuh dalam kedewasaan iman. Bagaimanakah mengarungi badai kehidupan dengan iman? Hal-hal berikut mungkin dapat menolong kita:  

  1. Menyahadari bahwa realita kehidupan ini bagaikan sebuah pelayaran: tidak selalu tenang dan teduh. Ada kalanya badai kehidupan itu menerpa kita. Tak seorang pun dapat luput dari persoalan hidup
  2. Mengimani bahwa Kristus setia dengan janjiNya. Ia tidak membiarkan setiap orang yang percaya kepadaNya bergumul seorang diri. Oleh karenanya satu hal yang diperlukan dalam hidup kita adalah memusatkan diri pada Kristus. Jangan pernah hanya terpaku pada masalah yang sedang dihadapi. Iman harus diaplikasikan dalam tantangan hidup.
  3. Belajar melihat di balik badai itu pasti ada hal positif yang Tuhan hendak ajarkan kepada setiap anakNya. Seorang nahkoda senior pernah mengatakan kepada anak buahnya, “Laut yang tenang dan teduh tidak banyak mengajarkan sesuatu yang berarti bagi seorang pelaut tetapi badai dan taufan akan memberi kalian pengalaman yang sesungguhnya di tengah samudera raya.”
  4. Pertolongan Tuhan tidak selalu dalam bentuk yang spektakuler. Lihatlah pengalaman Nabi Elia ketika ia bergumul (I Raja-raja 9:9-18). Tuhan hadir bukan dalam sarana fenomena alam yang dasyat seperti angin badai, gempa bumi atau api. Melainkan Dia hadir dalam angin sepoi-sepoi. Jika mata hati kita terpusat pada Tuhan, meyakini bahwa Dia adalah Yang Mahahadir, maka kita dimampukan untuk melihat pertolonganNya dalam hal-hal yang sederhana. Mungkin tidak pernah kita duga sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar