Peringatan Hari Anti Narkoba Internasional (HANI) di Indonesia dipusatkan pada tanggal 26 Juni 2011 di area Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat, diikuti oleh ribuan pegiat anti narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) menggelar berbagai aktifitas guna memerangi penyalahgunaan narkoba. Sungguh mengherankan sehari sebelum peringatan tersebut, kita dihentakkan oleh berita terjadinya insiden di dalam penjara Kerobokan, Denpasar, Bali. Penghuni Lapas itu mengadakan perlawanan terhadap petugas BNN yang berusaha menangkap Riyadi yang diduga mengendalikan peredaran Narkoba di dalam Lapas. Sementara para petinggi dan penegak hukum adu argumen memperebutkan pepesan kosong mafia Pemilu dan siapa yang harus jadi kambing hitam dalam kasus korupsi yang melibatkan partai yang sedang berkuasa.
Peredaran Narkoba dikendalikan di dalam Lapas? Tentu hal ini langsung dibantah oleh kementrian Hukum dan HAM. Namun, berita kemudian rasanya tidak dapat dibantah, tim Mabes Polri yang dibantu jajaran Polda Riau pada tanggal 29 Juni berhasil menangkap pelaku pengedar narkoba di kepulauan Riau dengan barang bukti sabu-sabu 1,5 Kg senilai Rp. 3 Milyar. Dari pengakuan pelaku yang tertangkap bisnis barang haram itu di kendalikan dari dalam Lapas Kalianda, Lampung. Narkoba sulit untuk diberantas tuntas selama orang-orang yang dipercaya menanganinya juga tergiur dengan nilai ekonomis yang menggiurkan.
Narkoba dapat merusak bahkan memporak-poranakan tatanan kehidupan manusia. Narkoba lebih berbahaya ketimbang perang. Narkoba telah banyak merenggut korban tanpa pandang bulu. Banyak orang terkaget-kaget ketika menyaksikan justeru orang yang dipandangnya tidak mungkin menjadi penikmat narkoba itu, kini terkapar over dosis di ruang ICU. Seseorang yang terjerat narkoba sudah dapat dipastikan akan mengalami kesulitan untuk lepas dari ketergantungan terhadap zat adiktif itu. Dibutuhkan perjuangan dan kemauan keras terutama dalam diri sendiri untuk keluar dari jerat setan itu.
Ada banyak metode untuk melepaskan para pecandu dari ketergantungannya terhadap obat bius. Mulai dari pendekatan kognitif yang persuasif sampai cara-cara militer dengan paket kekerasan. Bagaimana dari sudut pandang si penderita? Penderita yang menyadari dan ingin kembali tentu juga mengharapkan pertolongan orang lain. Umumnya si penderita menyadari bahwa dirinya itu harus keluar dari jerat setan. Namun, zat adiktif itu sudah sedemikian rupa bersarang dalam sel-sel tubuhnya termasuk otaknya. Sehingga keinginan lepas itu kini harus berhadapan dengan tubuhnya sendiri yang terus “meminta”. Si penderita yang ingin sembuh sadar betul tantangan yang dihadapinya! Maka pendekatan kasih sayang dan pemberdayaan diri terhadap di penderita akan jauh lebih ampuh dibanding pendekatan represif, kekerasan, dan isolasi. Si penderita akan bangkit, ketika ia melihat bahwa orang-orang di sekelilingnya dengan tulus mencintai dan mengharapkan kembali pulih. Ia pun akan memotivasi diri untuk mengasihi diri. Sehingga mau menjalani setiap rehabilitasi bukan lagi dengan beban berat tetapi mata hatinya tertuju kepada begitu banyak orang yang mengasihi dan berharap padanya!
Menurut saya, narkoba inilah gambar yang agak dekat dengan apa yang dimaksudkan oleh Paulus ketika ia berbicara tentang perjuangannya melawan dosa. Seperti orang yang terjerat narkoba, dosa begitu rupa menjerat hidupnya. Ia berkata, “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.”(Roma 7:19) Dalam diri Paulus sadar bahwa ia berkehendak mengerjakan apa yang baik namun, anggota tubuhnya justeru berlawanan dengan kehendak baik itu. Ia menegaskan lagi dengan perkataan, “Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.”(Roma 7:22,23). Bahkan Paulus sendiri membenci apa yang dikerjakannya (ay.15).
Paulus menyadari bahwa ia harus keluar dari jerat dosa. Meminjam analogi pecandu narkoba, Paulus berusaha menjalani pelbagai terapi melawan dosa melalui hukum Taurat. Apakah perjuangannya itu berhasil? Ternyata tidak! Kalau begitu apakah hukum itu jelek? Paulus mengatakan hukum Taurat itu pada dasarnya baik, “….,bahwa hukum Taurat itu baik.” (ay.16). Jadi apa yang keliru? Yang kurang pas adalah meletakkan hukum itu! Hukum Taurat bukanlah alat pembebas manusia dari jerat dosa, melainkan semacam detektor yang memberi tahu tentang dosa itu, “…’justeru oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa.”(Roma.7:7).
Paulus menemukan bahwa yang dapat membebaskan dirinya dari jerat dosa hanyalah Yesus, “Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah! Oleh Yesus Kristus Tuhan kita. (Roma 7:24,25). Pembebasan yang dilakukan Yesus bukanlah dengan jalan memaksakan manusia mengerjakan serentetan hukum yang melelahkan, melainkan cinta kasih! Yesuslah yang menyadarkan Paulus, bahwa dirinya dicintai Tuhan. Ibarat pecandu narkoba, Paulus mengalami pendekatan cinta kasih. Dirinya dikasihi Tuhan, Yesus sedemikian rupa telah membuktikan cinta itu dengan penderitaan dan kematianNya. Cinta itulah yang menyentuh dan dirasakan Paulus. Kini Paulus bangkit merespon cinta itu. Ia melakukan apa saja untuk yang dicintainya, yakni Yesus. Penderitaan, penganiayaan, penolakan, permusuhan dan pemenjaraan tidak lagi ia pandang sebagai beban atau kuk yang menekannya, melainkan sebagai jalan memuliakan dan mengungkapkan cintanya kepada Tuhan. Pengalaman Paulus inilah yang ingin ia bagikan pada semua orang percaya.
Pada zaman Yesus, Taurat telah sedemikian rupa “membebani” kehidupan spiritual orang Yahudi. Ahli-ahli Taurat menentukan enam ratus tiga belas peraturan, yang harus selalu dikuti oleh orang-orang yang mau hidup secara taat kepada Allah. Alih-alih bersukacita atas hukum-hukum itu, kebanyakan orang-orang merasa tertekan dan terbebani. Ibarat lembu yang dibebani dengan kuk yang berat. Yesus mengundang bagi siapa saja yang telah lelah mencari jalan keluar dari pembebasan dosa. Ia menawarkan, “Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah kepadaKu, karena Aku lemah-lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.(Matius 11:28-30)
Mengapa harus datang kepada Yesus? Karena Yesuslah yang akan memberi kelegaan. Kelegaan bukan berarti bebas semaunya. Lega, karena hidup tanpa hukum dan aturan. Bukan! Melainkan di dalam Dia orang akan menemukan seperti yang dialami oleh Paulus. Dicintai! Ketika seseorang dicintai dan merasakan cinta kasih itu, dengan sendirinya ia akan melakukan apa saja untuk menyenangkan orang yang ia cintai. Kuk sebagai lambang beban bahkan penderitaan tidak akan lagi menjadi beban atau bahkan melukai, melainkan direspon sebagai jalan atau sarana membalas cinta kasih Tuhan. Itulah kuk yang diberikan Yesus! Kuk cinta kasih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar