Kamis, 23 Juni 2011

JANGAN HANYA MAU ENAKNYA SENDIRI


Jika Anda pernah mampir di bandara Internasional Soekarno-Hatta Cengkarang, khususnya di terminal kedatangan luar negeri, saya dapat memastikan Anda pernah membaca tulisan besar berwarna hijau: “Selamat Datang Pahlawan Devisa.” Begitu tingginya apresiasi pemerintah terhadap buruh migran yang mengadu nasib di luar negeri. Namun, apakah penghargaan itu disertai dengan perlakuan yang setara dengan apresiasi ataukah hanya sebatas jargon? Anda bisa menilainya sendiri. Aparat pemerintah, baru-baru ini, khususnya presiden disibukkan dengan pelbagai macam kritik dan gugatan atas buruknya perlindungan terhadap warga negara yang bekerja di luar negeri.

Di satu pihak, memang negara memerlukan devisa untuk menyetabilkan kondisi perekonomian dan salah satu sumber itu adalah dari buruh migran. Bayangkan mereka menyumbang devisa Rp.60 Triliun setiap tahunnya. Namun, di pihak lain perlakuan terhadap TKI sangat memprihatinkan. Sudah banyak cerita mereka yang dihukum di negeri orang tanpa pendampingan dan pembelaan yang memadai. Sudah banyak juga buruh migran yang kembali diperdaya habis-habisan, mereka diperas dan dimanfaatkan habis-habisan. Hanya mau devisa tetapi tidak untuk meberikan fasilitas memadai dan perlindungan. Jadi memang ada kesan hanya mau enaknya sendiri!

Kebiasaan hidup hanya mau enaknya sendiri nyaris menembus semua aspek kehidupan manusia. Mulai dari dalam rumah sampai pada sistem birokrasi pemerintahan. Mulai dari sekolah sampai ke dunia kerja. Di rumah, ada begitu banyak keluhan kaum ibu yang merasa tugas tanggungjawab rumah tangga harus diselesaikan sendiri, belum lagi tugas untuk merawat dan mendampingi anak. Sehingga banyak kaum ibu berkeluh-kesah, protes dan ngedumel, namun tak mampu diungkapkan secara langsung, “Dasar lelaki hanya mau enaknya sendiri!”

Bagaimana dengan kehidupan beragama? Apakah bebas dari budaya mau enaknya sendiri? Oh, ternyata tidak. Nggak percaya? Mari kita periksa doa-doa kita. Apa doa yang kita ucapkan dalam doa makan ketika ada kenduri atau ucapan syukur. Yup, pasti ada ucapan syukur bahwa Tuhan menyediakan makanan untuk kita! Lalu, kita minta Tuhan berkat lagi, agar makanan itu menjadi kesehatan dan kekuatan bagi tubuh kita. Selanjutnya, biar kedengaran saleh, tak lupa meminta Tuhan memerhatikan mereka yang miskin dan kekurangan makan untuk diperhatikan oleh Tuhan. Nah, apakah ini bukan praktek mau enaknya sendiri. Lah, kita yang sedang makan masih nyuruh Tuhan juga untuk memberi makan bagi yang kekurangan, bukankah Tuhan memercayakan kepada kita untuk berbagi makanan dengan mereka. Bukan hanya itu saja seringkali kita pandai menggugat janji-janji Tuhan. Bahkan ada ajaran tertentu yang mengharuskan kepada pengikutnya untuk tidak segan-segan mengklaim /menggugat janji Tuhan. Seolah Tuhan sudah melupakan janji-janjiNya. Sebaliknya kita jarang menggugat diri-sendiri, seberapa jauh menaati atau berkomitmen mengikut Tuhan. Yang ini juga mau enaknya sendiri!

Jika kita menelusuri lebih jauh, maka praktek hidup mau uenake dewe sudah lama ada dalam kehidupan umat Tuhan di Perjanjian Lama. Kehidupan Israel, sering digambarkan sebagai umat yang hanya mau enaknya sendiri. Sejak mereka keluar dari perbudakan di Mesir. Mereka ogah menderita, ada kesulitan sedikit saja mereka ngomel kepada Musa. Selanjutnya, dalam bacaan kita hari ini (Yeremia 28:5-9), sebagian umat Israel lebih suka mendengar pemberitaan yang disampaikan oleh Hananya, yang mereka angkat sebagai nabi ketimbang mendengar suara Nabi Yeremia. Mengapa? Sebab apa yang disampaikan oleh Hananya adalah berita-berita yang menyenangkan. Berita yang menghibur! Yakni, bahwa damai sejahtera dari Allah itu akan tetap menyertai bangsa itu, oleh karena mereka adalah umat pilihan, umat yang istimewa. Perbuatan mereka tidak berpengaruh terhadap kasih karunia yang Allah berikan kepada mereka. Sebaliknya Yeremia menekankan pertanggungjawaban etis, artinya perbuatan dan prilaku yang pantas sebagai umat Tuhan. Bagi Yeremia simpel saja, waktu akan membuktikan mana yang berasal dari Allah dan yang bukan.

Bukankah gaya pemberitaan yang disampaikan Hananya sampai saat ini masih laku. Para pengkhotbah macam ini akan selalu menekankan keberhasilan, kesuksesan, perlakuan istimewa oleh karena kita semua adalah anak-anak Tuhan, anak Raja! Dan jarang sekali mengingatkan bagaimana seorang anak Tuhan itu harus dengan setia, meskipun menderita memberdayakan semua kekuatannya untuk melakukan kehendakNya.

Paulus mengajarkan kepada jemaat di kota Roma (Roma 6:12-23), bahwa setiap orang yang percaya kepada Kristus, ia sudah diselamatkan dari dosa-dosanya kini jangan lagi menghambakan diri pada dosa, melainkan berusaha sedemikian rupa memuliakan nama Tuhan. Mendayagunakan seluruh anggota tubuhnya sebagai senjata di tangan Allah untuk kebenaran. Nah, jelas hidup yang seperti ini tidak mudah, tidak enak! Bayangkan sekarang apa artinya bahwa setiap anggota-anggota tubuhmu diserahkan kepada Allah (Rm.6:13b). Dalam tafsiran saya yang sederhana, begini: Tuhan sudah menciptakan kita dengan berbagai macam anggota tubuh dan panca indra. Dulu, ketika dosa masih menguasai kita maka kita mengeksploitasi anggota tubuh atau panca indra kita untuk memuaskan hawa nafsu kita. Namun, sekarang mestinya kebalikan dari itu. Tuhan menciptakan kita dengan mata untuk melihat. Dulu kita melihat hal-hal yang menyenangkan dan memanjakan nafsu kita. Nah, sekarang bisakah mata itu kita pakai seperti matanya Kristus, yang melihat penderitaan manusia kemudian bertindak dan menolongnya. Tuhan menciptakan kita dengan telinga untuk mendengar. Nah, sekarang bisakah telinga kita dipakai sama seperti telinga Kristus, yang dengan tajam mampu mendengar suara BapaNya, mendengar derita di sekelilingNya, lalu bertindak menolong. Demikian juga dengan seluruh anggota tubuh kita yang lain.  

Tuhan Yesus sudah mempercayakan tugas untuk meneruskan karyaNya itu kepada semua pengikutNya, termasuk Anda dan saya. Maka ia menegaskan, “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku.”(Matius 10:40) Dapatkah kita menjadi utussan yang baik jika pola hidup kita hanya mau enaknya saja? Saya mustahil. Belajarlah seperti Kristus. Dia Anak Allah tetapi tidak menggunakan hak itu untuk kepentinganNya sendiri, melainkan untuk kebaikan dunia ini. Jadi pergunakanlah seluruh anggota tubuhmu untuk kemuliaan namaNya, sebab kita semua sudah ditebus olehNya.

1 komentar:

  1. Kami sungguh merasa terberkati melalui refleksi-refleksi mingguan Mas Nanang. Refleksi mendalam Mas Nanang yang selalu relevan dengan situasi aktual telah membuat Firman Tuhan terasa sangat dekat untuk memperlengkapi kami dalam mengikuti Ibadah Minggu. TERUSLAH BERKARYA!! Tuhan selalu mengasah kepekaan penghayatan untuk mengikut Dia! Solideo Gloria!

    (Waskito Wibowo - Nusukan, Solo)

    BalasHapus