Ada apa dengan bencana?
Bencana, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai: malapetaka, musibah, sesuatu yang menimbulkan kesulitan (menyusahkan). Kata bencana, sejajar dengan kata disaster dalam bahasa Inggeris. Akar kata disaster berasal dari bahasa Perancis dèsastre, kata ini berasal dari bahasa Italia disastro, yang berakar dari bahasa Yunani δυσ (dus: ‘buruk’) dan άστήρ (aster: ‘bintang’) arti harafiah dusaster adalah “bintang buruk” hal ini mengacu kepada astrologi Yunani kuno bahwa bencana atau malapetaka yang mereka alami kerap kali terjadi karena peristiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi. Peristiwa bintang-bintang yang jatuh ke bumi yang menyebabkan penderitaan bagi umat manusia itu dipahami tidak lepas dari pertarungan para dewa. Jadi di luar kendali bumi dan manusia.
Dalam perkembangannya, manusia memahami bahwa bencana tidak selalu disebabkan oleh fenomena alam belaka seperti: Bencana Geologi, misalnya: Tanah Longsor, Gempa Bumi, Letusan Gunung Merapi; Bencana Hidrologi, misalnya: Banjir/Air Bah, Letusan Limnic (air danau yang terhubung dengan magma dalam perut bumi yang mempunyai tekanan besar kemudian meledak dan menerbangkan gas karbon dioksida), Tsunami; Bencana Meteorologi, misalnya: Badai Salju, Badai Siklon, Kekeringan, Gelombang Panas, Tornado; Pemanasan Global, misalnya: kebakaran Hutan, Suhu bumi meningkat dan air laut pasang menyebabkan banjir; Bencana Kesehatan, misalnya: wabah penyakit, dll. Namun banyak juga bencana yang disebabkan oleh peran serta manusia, contohnya: Bencana sosial: ledakan penduduk, perang, terorisme; Bencana teknologi: radiasi nuklir, kebakaran, hujan asam akibat industrialisasi yang tak terkendali, Bencana Transportasi: kapal tenggelam/terbakar, pesawat jatuh, tabrakan, dll.
Singkatnya bencana dapat disebabkan oleh fenomena alam yang tidak siap diantisipasi dan oleh tangan manusia yang mengekspolitasi alam dan sesamanya tanpa memedulikan dampaknya di kemudian hari, di mana semuanya itu mengakibatkan penderitaan bagi umat manusia dan ciptaan yang lain. Banyak penelitian dilakukan untuk mencari sebab terjadinya bencana, misalnya saja yang dilakukan oleh University of Delaware (USA), selama empat puluh tahun mereka meneliti tentang bencana. Mereka menyimpulkan bahwa semua bencana yang terjadi adalah akibat kelalaian manusia. Benar ada bencana yang di luar kekuasaan manusia, misalnya gempa bumi, gunung meletus, dll. Namun, jika saja manusia menyadari bahwa alam raya ini mempunyai siklus: lempeng bumi ini terus bergerak, tekanan bumi memerlukan penyaluran, salju akan mencair bila terkena panas, manusia mestinya akan dapat mengantisipasi, mencegah dan menghindari dari akibat buruk gejala alam yang terjadi itu.
Nisbah Antara Dosa dan Malapetaka
Adalah terlalu mudah dan gegabah untuk mengatakan bahwa bencana itu sebagai kehendak Tuhan atau Tuhan memakai bencana untuk menghukum manusia karena dosa-dosanya. Mengapa? Pertama, karena pada kenyataannya ada banyak orang-orang yang baik, rajin beribadah, saleh toh harus juga menangggung penderitaan akibat bencana. Kedua, dengan kesimpulan seperti itu maka manusia tidak lagi mau meneliti apa yang menjadi penyebab bencana itu. Padahal secara ilmiah sebab-musabab bencana itu dapat diketahui sehingga bencana berikutnya dapat dicegah atau minimal penderitaannya dapat dikurangi.
Adanya tendensi manusia mengaitkan dosa dan musibah tidak dapat dilepaskan dari pandangan manusia tentang kemahakuasaan Allah dan Allah sebagai sumber belaskasih. David Hume, filsuf abad ke-18 pernah mempertanyakan hal ini: “Adakah Allah bermaksud mencegah kejahatan dan malapetakan, namun sayangnya Dia tidak mampu? Ini berarti Allah kurang berkuasa. Atau sebenarnya Allah mampu mencegahnya, namun justeru Dia membiarkannya. Jika demikian di manakah belaskasihan Allah? Sejalan dengan pemikiran Hume, Clive Staples Lewis (filsuf kelahiran Irlandia) mengatakan: “Jika Allah sungguh-sungguh baik, maka Ia akan membuat semua ciptaanNya sungguh-sungguh bahagia secara sempurna (tidak ada penderitaan), dan jikalau Dia Mahakuasa, maka Dia akan mampu melakukan apa yang Dia kehendaki. Tetapi kenyataannya ciptaanNya tidak selalu berbahagia, karena itu kita dapat menyimpulkan bahwa dalam diri Allah ada yang kurang, yakni kebaikan dan kekuasaanNya, atau bahkan kedua-duanya.” Singkatnya pertanyaan manusia tentang malapetakan dan keberadaan Allah adalah,”Jika Tuhan ada, mengapa ada malapetaka atau bencana?”
Rupa-rupanya pemahaman Allah yang suka menghukum manusia yang berdosa dengan menggunakan musibah dan penderitaan, melekat dalam diri orang-orang Yahudi pada zaman Yesus. Lihatlah kasus yang terekam dalam Injil Lukas 13:1-5. Perikop yang diberi judul “Dosa dan Penderitaan” ini menceritakan dua peristiwa “bencana” mengerikan yang disampaikan kepada Yesus. Dua peristiwa itu : Pilatus yang mencampurkan darah orang-orang Galilea dengan darah hewan yang mereka persembahkan. Peristiwa yang kedua adalah delapan belas orang yang mati ditimpa menara dekat Siloam. Orang banyak segera menyimpulkan bahwa hal itu terjadi pasti ada hubungannya dengan dosa-dosa mereka.
Kedua, peristiwa ini berkaitan dengan rencana Pilatus membangun saluran air untuk penduduk Yerusalem. Namun, Pilatus enggan membiayai proyek tersebut. Alih-alih mengeluarkan dana, Pilatus memakai uang persembahan di Bait Allah untuk proyek itu. Akibatnya banyak orang Yahudi mengecam tindakan Pilatus ini. Orang Galilea adalah kelompok masa Yahudi yang paling beringas dan mudah dihasut. Merekalah yang seringkali berjuang dengan memakai cara-cara kekerasan. Pilatus jengkel, ia merencanakan pembunuhan terhadap kelompok ini. Pilatus memanfaatkan momentum ibadah di Bait Allah. Pilatus menyebarkan tentara loyalis dengan menyamar memakai jubah ibadah yang di dalamnya telah disiapkan senjata. Satu kali komando mereka menyerang orang-orang Galilea yang sedang beribadah itu, dan darah orang-orang Galilea itu tercampur dengan darah hewan korban yang mereka persembahkan. Dengan cepat orang Yahudi menyimpulkan bahwa bencana itu terjadi tampaknya karena dosa-dosa mereka, sehingga darah mereka tercampur dengan darah hewan.
Sedangkan peristiwa yang lain adalah bencana yang menimpa ke delapan belas buruh yang bekerja membuat saluran air. Mereka tewas karena tertimpa oleh menara di dekat Siloam. Orang-orang Yahudi berkesimpulan: pantas saja mereka mati, mereka mau bekerja pada Pilatus. Pilatus membayar mereka dari uang persembahan di Bait Allah. Padahal uang persembahan itu hanya layak dipergunakan oleh para imam. Mereka pantas mati karena berdosa! Orang-orang Yahudi biasanya secara ketat mengaitkan dosa dengan penderitaan. Elifas dulu pernah berkata kepada Ayub, “Siapa binasa dengan tidak bersalah?” (Ayub 4:7). Inilah ajaran yang kejam dan mengecilkan hati. Dan Yesus menolak paham yang seperti itu.
Bagaimana tanggapan Yesus tentang dua bencana ini? Atas dua peritiwa itu, Yesus berkomentar: “Tidak!” Yesus tidak setuju dengan anggapan bahwa bencana atau penderitaan itu langsung dikaitkan dengan dosa. Alih-alih menghakimi dan menyatakan orang yang terkena musibah itu sebagai orang berdosa, Yesus mengajak untuk memakai musibah atau bencana ini sebagai kesempatan untuk bertobat. Dengan kata lain, janganlah engkau mengecam atau menghakimi mereka, biarlah yang berhak menilai itu adalah Tuhan sendiri. Dan kini, lebih baik engkau mengurusi diri sendiri dengan hidup dalam pertobatan. Sudah cukup penderitaan yang dialami oleh orang yang kena musibah, jangalah engkau menambahnya lagi dengan memberi label “orang berdosa”.
Menuduh dan menghakimi orang yang sedang kena musibah adalah perbuatan yang kejam dan tidak akan membawa manfaat bagi si penderita. Mereka yang sedang dirundung malang justeru membutuhkan dorongan semangat, empati dan solidaritas. Memaknai orang yang mengalami bencana disebabkan karena dosanya menyebabkan belarasa kita menjadi tumpul. Mengapa? Karena dalam benak kita mengatakan, “Sudah sepantasnya mereka menerima itu, sebagai imbalan apa yang mereka perbuat!” Yesus tidak mengajarkan pandangan seperti ini. Yang Ia inginkan agar cinta kasihNya diteruskan kepada semua orang terlebih mereka yang sedang menderita.
Pandangan Positif Terhadap Malapetaka
Tidak mudah melihat sisi positif dari sebuah penderitaan atau malapetaka. Namun, beberapa kali Yesus pun mengajak para muridNya untuk melihat hal positif dari kesulitan atau penderitaan. Ketika para murid bertanya, “Siapakah, yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya sehingga ia dilahirkan buta?” Yesus menjawab, “Bukan dia dan juga bukan orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (Yohanes 9:2,3). Ketika dikabari bahwa Lazarus sedang sakit parah, Yesus berkata,”Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan.” (Yohanes 11:4). Yesus mengingatkan bahwa suatu ketika murid-muridNya akan mengalami banyak aniaya dan penderitaan, Ia mengatakan, “Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi.” (Lukas 21:13).
Dalam terang ajaran Yesus yang melihat penderitaan dan bencana secara positif , adalah bukan kebetulan bahwa Tuhan menempatkan kita di sini, negeri yang kerap kali terjadi bencana. Dalam kondisi seperti ini adalah lebih baik mengerjakan misi Tuhan yang sesungguhnya, yakni menyalurkan cinta kasihNya tanpa pamrih, menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lain yang mempunyai keprihatinan bersama, berjuang bersama-sama kaum ilmuwan agar dapat mengantisifasi dan mencegah bencana kelak di kemudian hari karena alam raya dan seluruh ciptaan ini memang benar diciptakan dengan sungguh amat baik (Kejadian 1:31) tetapi tidak sempurna, alam raya masih terus berproses oleh karena itu manusia harus arif menyikapinya. Belajar dan bertekun serta mengaplikasikan ilmu agar kehidupan lebih baik lagi. Dari pada menyesali, meratapi atau bersungut-sungut apalagi menyalahkan orang atau pihak lain bahkan Tuhan sebagai penyebab bencana.
Bagaimana jika bencana atau malapetaka itu menimpa diri sendiri? Segala sesuatu bagi orang percaya pasti terjadi atas sepengetahuan Tuhan, “bahkan rambut kepalamu pun terhitung semua,..”(Lukas 12:7). Tuhan merancangkan hal-hal yang baik bukan rancangan kecelakaan (bnd. Yeremia 29:11). Lalu apa yang baik di balik malapetaka? Ibrani 12:1-17, khususnya ayat 7-11 dapat kita renungkan. Tuhan digambarkan sebagai ayah. Ayah yang mendidik, mengajar bahkan menghajar anaknya. Bukan semata-mata Ia benci, melainkan karena kasihNya. Agar anaknya tumbuh menjadi anak yang dewasa, yang mengerti kehidupan ini bahwa tidak selalu mudah. Dia adalah Bapa yang ingin anak-anakNya tumbuh menjadi anak yang tidak mudah menyerah, cengeng apalagi pecundang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar