Surat Bulanan GKI Mabes, dalam rangka persiapan Perjamuan Kudus, 3 Juli 2011.
Juni dan Juli sering diidentikan dengan bulan liburan. Libur anak-anak sekolah! Liburan bukan berarti biaya kehidupan sehari-hari ikutan libur namun justeru sebaliknya, pengeluaran keuangan akan semakin meningkat. Banyak keluarga yang mengagendakan pelesir/jalan-jalan pada masa liburan anak-anak sekolah ini. Akibatnya tarif perjalanan, hotel dan tiket-tiket wisata berubah menjadi tarif high seasson, biasa dua, tiga kali lipat lebih mahal dari harga biasa. Liburan bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau ditiadakan, melainkan harus disiasati dengan cermat agar sepulang liburan bukan bertambah segar tetapi bertambah stress karena ada kebutuhan lain yang tidak dapat ditangani, misalnya uang sekolah anak yang belum disediakan.
Juni dan Juli pun identik dengan bulan diskon. Di Jakarta, dalam rangka memeriahkan ulang tahun kota Jakarta ke-484, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) bekerja sama dengan DPD DKI Jakarta menggelar Festival Jakarta Great Sale (FJGS). Selama festival berlangsung, tahun ini dari 17 Juni sampai 17 Juli, ada 68 mal anggota APPBI menggelar pesta diskon besar-besaran. Tidak cukup itu saja, FJGS juga menggelar program belanja khusus, Buy 1 Get 1 Free, Extra Discount, dan Migniht Sale! Lantas, bagaimana kita mengelola keuangan dengan bijak? Sebab seringkali kita membeli apa yang bukan menjadi prioritas kebutuhan namun karena tergiur dengan harga murah.
Masyarakat moderen selalu dimanjakan dengan budaya konsumtif. Tentu budaya ini tidaklah melulu negatif. Bayangkan jika tidak ada konsumen maka akan banyak pabrik dan penyedia jasa gulung tikar. Akibatnya roda perekonomian tidak berjalan. Namun, banyak juga negatifnya. Seorang ibu baru sadar ketika sampai di rumah setelah seharian pergi belanja. Bayangkan apa yang direncanakan akan dibeli, padahal sudah dicatat baik-baik, ternyata terlewatkan. Tidak dibeli! Sebaliknya yang dibeli adalah barang-barang yang sebenarnya tidak mendesak diperlukan. Alasannya? Karena sedang diskon, kapan lagi ada kesempatan itu. Akibatnya banyak barang menumpuk di rumah dan tidak tahu harus dikemanakan. Selain itu, karena cara pembayaran sangat mudah. Hanya dengan menggesek kartu kredit, barang siap dibawa pulang. Kita tidak menyadari di kemudian hari tagihan akan menumpuk, belum lagi dengan bunga yang harus dibayar. Ujung-ujungnya stress!
Menjadi konsumen sebuah produk tidaklah salah yang keliru ketika kita menjadi konsumtif. Memanjakan keinginan mata dan menuruti hedonisme. Budaya semacam ini akan terus diwariskan kepada generasi selanjutnya, jika saja para orangtua tidak mendidik dan mengajarkan anak-anaknya untuk memprioritaskan hal yang utama. Mendidik dan mengajarkan untuk memilah mana yang disebut kebutuhan dan mana yang hanya sekedar keinginan. Hal ini tidak dapat diajarkan sekedar teori belaka namun mestinya dengan sikap dan teladan yang dapat dilihat oleh anak-anak kita. Sebab bayangkan jika anak diajar untuk mengutamakan kebutuhan namun orangtua membelanjakan uangnya sama seperti contoh ibu tadi di atas, apakah anak akan mengerti apa itu prioritas?
Yesus mengajar murid-muridNya berdoa. Dalam doa Bapa Kami, salah satunya pokok doa yang diajarkanNya berbunyi: “Berikanlah pada hari ini makanan kami yang secukupnya…”(Matius 6:11). Yesus tidak mengajarkan untuk minta berlebih-lebihan, melainkan secukupnya! Dengan bahasa metropolitan, Yesus tidak mengajarkan budaya konsumtif. Siapa yang tahu persis kebutuhan kita yang secukupnya itu? Hanyalah Tuhan, sebab kita sendiri pun seringkali tidak tahu seberapa yang kita anggap cukup. Jika kita memanjakan keinginan kita, maka jelaslah tidak pernah akan cukup. Namun, andai kita bisa memilah mana yang disebut kebutuhan dan keinginan, pastilah kita tercengang bahwa Tuhan sedemikian baik mencukupkan apa yang benar-benar kita butuhkan bahkan lebih dari itu. Paulus memberi nasehat tentang kecukupan ini, “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” (1 Timotius 6:8).
Banyak orang jatuh dalam budaya konsumtif dan tidak pernah puas dengan yang sudah ada pada dirinya. Akibatnya mengejar terus keinginannya itu dan seringkali tidak peduli dengan rambu-rambu moral apalagi suara Tuhan. Hal ini sudah diperingatkan oleh Rasul Paulus, “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar dari kejahatan ialah cinta akan uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” (1 Timotius 6:9-10).
Memakai sebuah produk tidak salah, memanfaatkan diskon bukan dosa! Namun, terjerat dalam budaya konsumtif dapat membuat seseorang meninggalkan imannya dan beralih memuja mamon, karena yang realistis baginya adalah harta benda dan uanglah yang dapat memanjakan nafsunya. Agar tidak terjerat dengan budaya konsumtif ini, baiklah kita selalu meminta hikmat kepadaNya agar dapat memanfaatkan berkat, berupa uang dengan sebaik-baiknya. Dapat memilah atau memprioritaskan kebutuhan utama dan keinginan yang bisa ditunda. Dengan demikian, seberapa pun penghasilan kita, pasti bisa bersyukur kepada Tuhan, karena Dialah yang mencukupkan kebutuhan kita.
Melalu pengurbanan Kristus, kita telah ditebus dari cara hidup yang lama. Cara hidup yang berorientasi egosentrisme dan pemuasan hawa nafsu duniawi. Melalui Perjamuan Kudus pertengahan tahun yang akan kita rayakan bersama pada tanggal 3 Juli 2011, marilah kita menyiapkan diri dengan menata kembali setiap hasrat yang muncul dalam diri kita. Apakah itu memuliakan Tuhan atau tidan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar