Orang hebat tidak pernah menimbulkan rasa takut.
Kerendahan hati mereka membuat kita merasa tenang.
(Elizabeth Goudge)
Palmarum: Yesaya 50:1-9, Mazmur 118:1-2,19-29, Filipi 2:5-11, Matius 21:1-11
Ada dua tokoh penting yang sering menjadi rujukan ketika kita mendiskusikan “arti sebuah nama”. Yang paling populer adalah William Shakespeare dengan ungkapannya, “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (Apalah arti sebuah nama? Meskipun kita menyebut mawar dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.) Kita akan keliru menangkap ungkapan Shakespeare jika tidak mengetahui konteks kalimat itu terucap. Seolah-olah Shakespeare mengabaikan “nama” dan mementingkan fungsi. Kalimat di atas, latar belakangnya adalah dialog Romeo dengan Juliet saat membahas kisah cinta mereka. Romeo mempertanyakan, Apa sih arti nama Capulet (nama keluarganya) yang justru membuat perselisihan dan mempersulit jalinlan cinta mereka.
Tokoh lain yang berbicara tentang “nama” adalah Konfusius. Ketika ditanya oleh Zi Lu, seorang muridnya, tentang apa yang seharusnya pertama-tama dilakukan kalau ia memerintah sebuah negara maka Konfusius menjawab: " Terlebih dahulu akan kuluruskan nama-nama".
Zi Lu tidak mengerti atas jawaban tersebut dan Konfusius menjelaskan: " Bilamana nama-nama tidak benar, maka pembicaraan tidak akan sesuai dengan hal yang sesungguhnya. Bila pembicaraan tidak sesuai dengan hal yang sesungguhnya, maka segala urusan tak dapat dilakukan baik-baik. Bila pekerjaan tidak dapat dilakukan baik-baik, kesusilaan dan musik tak dapat berkembang, hukumpun tak dapat dilakukan dengan tepat. Bila hukum tak dapat dilakukan dengan tepat, maka rakyat akan merasa tiada tempat untuk menaruhkan kaki dan tangannya. bagi seorang Junzi, nama itu harus sesuai dengan yang diucapkan dan kata-kata itu harus sesuai dengan perbuatannya. Itulah sebabnya seorang Junzi tidak gampang-gampang mengucapkan kata-kata". ( Lun Yu XIII, 3 )
Tepat apa yang disinyalir oleh Konfusius bahwa kini nama-nama itu telah melenceng jauh dari makna yang dikandungnya. Banyak contoh kasat mata kita lihat. DPR misalnya, namanya Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka semua adalah “wakil” tetapi kenyataanya lebih daripada yang diwakilinya. Wakil yang hanya memperjuangkan kepentingan dan kemewahan fasilitas sendiri. Lihatlah berbagai kalangan masyarakat menolak pembangunan gedung baru, faktanya mereka turus memaksakan pembangunan itu. Demikian juga dengan lembaga-lembaga publik lainnya, sangat gemar menggunakan kata “pelayan” atau “melayani”. Namun, bukan rahasia lagi di balik kata itu ya tetap harus menyiapkan imbalan. Kata “pelayan” atau “melayani” adalah kata yang paling banyak mengalami “inflasi”, degradasi dari makna yang sesungguhnya luhur dan mulia.
Saya kira kita setuju dengan ungkapan Konfusius, bahwa sebuah nama atau sebutan pasti mempunyai makna tertentu. Anda memberi nama kepada anak Anda bukan tanpa makna. Namun sarat makna dan harapan. Kembali kepada tema kita, “Hamba, Bukan Sebatas Nama.” Apa yang Anda pikirkan tentang kalimat tema itu? Pikiran saya yang sederhana, berkaitan dengan tema itu, banyak orang yang gemar menyebut atau memanggil dirinya atau orang lain dengan kata “hamba” namun belum mempunyai pemahaman yang utuh tentang sebutan “Hamba”. Banyak orang menyebut hamba Tuhan tapi kelakuannya sungguh bertolak belakang dengan kehendakNya. Atau kita gemar memilah-milah sebutan. Kalau orang yang pekerjaannya mengabarkan Injil, berkhotbah dan mengajar, pendeta misalnya, kita namakan “hamba Tuhan” sedangkan umat yang dilayani menyebutnya “anak Tuhan” jadi pantaslah ada banyak hamba Tuhan yang diperintah/disuruh-suruh oleh anak Tuhan. Mestinya kita menghayati bahwa semua orang yang percaya kepada Kristus ia adalah hamba Kristus dan sekaligus juga anak Tuhan. Hamba Kristus karena ia telah ditebus oleh pengorbanan Yesus di kayu salib dan anak Tuhan, karena di dalam Kristus kita menyapa Allah sebagai Bapa kita.
Doulos adalah kata Yunani yang sering diterjemahkan dengan “hamba” atau “budak”. Perdebatan mana yang lebih cocok antara “hamba” atau “budak” sampai sekarang terus berlangsung. Alih-alih orang menghayati dan menjadikannya sebagai gaya hidup, justeru terjebak dalam ritus polemik sehingga tidak ada lagi waktu dan energi yang cukup serius untuk benar-benar hidup menghamba. Saya kira kita semua sepakat jika hamba atau budak itu ibarat “kacung” atau “jongos” dalam konteks kita saat ini. Hamba atau budak adalah manusia dengan kedudukan martabat rendah sehingga terkadang ia tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri, tidak mempunyai pilihan dan hidup tergantung kepada kemauan atau kehendak tuannya.
Menjadi hamba, budak, kacung atau jongos, siapa yang mau? Bukankah semua manusia ingin diperlakukan dengan hormat, dilayani dan dimengerti? Bukankah kita memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kita agar kelak mereka menjadi orang dengan status yang baik: dihormati, dihargai dan dilayani orang? Bagaimana mungkin justeru ajaran Kristen sebaliknya. Mengajarkan menjadi hamba! Apa bagusnya hamba atau jongos?
Jangan keburu bingung! Apa yang disampaikan Paulus kepada jemaat di Filipi agar mereka mau menjadi hamba tentu ada konteksnya (Filipi 2:5-11). Dalam ayat-ayat sebelumnya, Paulus menasehatkan supaya mereka jangan angkuh dan hanya mencari kepentingan mereka saja, tetapi sebaliknya, supaya mereka merendahkan diri, dan melayani satu dengan yang lainnya di dalam kasih. Itu tugas mereka sebagai murid Kristus. Untuk itulah Kristus telah memilih dan mengumpulkan mereka di dalam jemaatNya. Ia mau supaya mereka saling melayani. Pelayanan itu harus mereka lakukan menurut pola atau teladan yang sudah Yesus berikan kepada mereka. Jadi hidup menjadi hamba atau pelayan itu kebalikkan dari hidup angkuh, egois dan serakah. Hidup rendah hati!
Rendah hati seharusnya menjadi gaya hidup orang-orang Kristen karena itulah yang diajarkan Yesus. Paulus menggambarkan bahwa Yesus yang mempunyai kesetaraan dengan Allah mau mengosongkan diriNya menjadi manusia dan mengambil rupa sebagai hamba. Jadi sangatlah mengherankan jika ada orang Kristen yang sombong dan angkuh. Tuhannya saja mau merendahkan diri bagaimana mungkin jika ada penyembahNya yang angkuh? Sejarah manusia mencatat tidak ada orang yang sombong, tinggi hati dan angkuh dapat merasakan kebahagiaan sejati apalagi menjadi berkat bagi sesamanya yang ada hanyalah usaha untuk membesarkan diri sendiri. Kita dapat membayangkan apa jadinya jika setiap orang tanpa kendali berjuang untuk membesarkan egonya? Konflik dan perseteruan serta kanibalisme yang akan terjadi. Tuhan tidak menghendaki hal itu. Yang Tuhan inginkan adalah manusia saling mengasihi dan melayani satu dengan yang lain. Hal ini dimungkinkan jika manusia mau merendahkan hati dan dirinya, menjadi hamba bagi sesamanya. Hanya orang-orang yang rendah hati dan berjiwa hambalah yang dapat merasakan berkat Tuhan sehingga membagi berkat itu untuk sesamanya walaupun pekerjaan itu tidak mudah. Tengoklah kisah Ibu Theresa.
Suatu hari di rumah pertama yang didirikan Ibu Theresa untuk para pengidap penyakit yang tidak bisa disembuhkan, seorang lelaki yang separoh tubuhnya sudah digerogoti kanker dibawa masuk. Seorang pembantu lelaki itu begitu tak tahan oleh bau busuk yang menyengat sehingga memalingkan muka, menahan muntah. Ibu Theresa mengambil alih tugas itu. Pasien yang menderita itu menegurnya, “Bagaimana bisa Ibu tahan dengan bau busuk ini?” tanyanya dengan ketus. “Baunya tidak apa-apa,” jawabnya, “dibandingkan dengan sakit yang kau rasakan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar