Rabu, 06 April 2011

ALLAH YANG HIDUP MEMBERI KEHIDUPAN


Prapaskah V
(Bacaan                : Yehezkiel 37:1-14; Mazmur 130; Roma 8:6-11; Yohanes 11:1-45)

Berbicara tentang siapa yang memberi kehidupan, ada baiknya kita mencermati tulisan pada harian Kompas, 6 April 2011, tulisan Agnes Aristiarini dalam rubrik Laporan Iptek: Mencari Asal-usul Kehidupan bertutur sebagai berikut:

Dalam Frankenstein,  buku klasik karya Mary Shelley yang terbit tahun 1818, Victor Frankenstein mengumpulkan potongan-potongan mayat dan menjahitnya menjadi tubuh yang utuh. Menggunakan aliran listrik, Frankenstein berhasil menciptakan kehidupan meski kemudian menyesalinya. Dalam kehidupan nyata, manusia memang tak henti-hentinya mencari jawaban, apakah kehidupan ini ada karena suatu kuasa atau semata-mata proses alam?

Ada berbagai teori dan percobaan menyangkut asal-usul kehidupan. Dalam buku The Grand Design (2010), fisikawan Stephen Hawking bersama Leonard Mlodinow menjelaskan tentang penciptaan ini. Menurut mereka, “Tata surya dapat membentuk dirinya sendiri karena ada hukum alam, seperti gravitasi. Maka, penciptaan spontan adalah sumber adanya ‘sesuatu’ dan bukan kehampaan, adanya alam semesta dan adanya kita.”

Sebelum itu, para ahli biokimia sudah merumuskan berbagai teori dan menguji coba di laboratorium. Salah satu yang fenomenal adalah uji laboratorium yang dilakukan Stanley Miller, kandidat doktor di University of Chicago, Amerika Serikat, tahun 1953. Miller mereproduksi kondisi atmosfer purba dengan hidrogen, air, metana, dan amonia dalam bejana dan memanasinya. Dalam seminggu ia menemukan endapan senyawa organik penyusun kehidupan: asam amino. Ragam asam amino itu : glisin, alanin, aspartik, dan glutamik, adalah unsur-unsur dasar pembentuk protein, penyusun struktur sel, dan berperan penting dalam reaksi biokimia yang dibutuhkan kehidupan.

Kemudian Kompas menelusuri bagaimana  teori Miller ini berkembang, namun toh tulisan itu berakhir pada sebuah pertanyaan, “Betulkah semua ini proses alam semata seperti yang dipercaya Hawking dan Mlodinow, ataukah ada kehendak Yang Kuasa?

Salah satu kelebihan manusia dari ciptaan yang lainnya adalah mahluk yang bertanya. Ia akan terus mencari jawab atas apa yang belum diketahuinya, termasuk asal mula dan hakekat kehidupan. Tugas ilmuwan adalah terus mencari jawab. Institusi keagamaan tidak boleh meghambat apalagi memberangus kajian keilmuan. Dengan semakin mendalamnya kajian ilmiah niscaya manusia akan semakin mengagumi alam raya ini. Mengapa? Karena ada begitu banyak hal yang dulunya terselubung kini dapat diungkap. Tugas institusi agama termasuk gereja adalah menjadi mitra dialog, mendampingi dan menerangi iptek serta memberi wisdom sehingga manusia terdorong untuk memperlakukan alam dan kehidupan dengan baik dan bijaksana serta mengagumi Sang Penciptanya.

Ilmuwan meneliti bagaimana kehidupan itu dimulai, ada berbagai teori seperti yang terungkap di atas. Namun, toh masih menyisakan pertanyaan. Siapa pemberi unsur mula-mula dari alam itu? Mustahil ada dengan sendirinya. Unsur-unsur inti boleh bersenyawa dan menghasilkan asam amino yang membentuk protein yang menghasilkan sel kehidupan. Lantas apakah itu terjadi dengan sendirinya? Koq logika saya mengatakan pasti ada yang memulai menciptakan unsur-unsur inti itu. Hawking berbicara mirip Deisme yang mengatakan penciptaan terjadi karena ada hukum alam. Nah, sekarang siapa pencipta hukum alam itu? Alam semesta ini ada, kehidupan ini terjadi pasti ada yang memulai!

Orang beriman akan mengatakan bahwa yang memulai itu semua adalah TUHAN. Oleh karena TUHAN yang memulai, maka Dialah Sang Pencipta itu. Karena Dia adalah Sang Pencipta maka Dia jugalah pemilik kehidupan. TUHAN Sang Pemilik Kehidupan inilah yang diperkenalkan oleh Nabi Yehezkiel dalam konteks “kematian”.

Konteks Kematian Zaman Pembuangan Israel
Yehezkiel hidup pada masa bangsanya, Israel mengalam penindasan oleh Babel. Ia salah seorang yang di buang ke Babilonia pada zaman raja Nebukadnezar (597 SM). Allah memanggilnya sebagai nabi pada tahun 593 SM. Frustasi, pesimis, dan kehilangan percaya, baik pada Allah maupun diri sendiri ada dalam benak bangsa ini.  Mereka berkata, “Tulang-tulang kami sudah kering, dan pengharapan kami sudah lenyap, kami sudah hilang.” (Yehezkiel 37:11b) Inilah kondisi kematian!

Dalam kondisi “kematian” inilah Allah memberikan visi kepada Yehezkiel. Visi “kehidupan” yang Allah tunjukkan kepada Yehezkiel. Pasal 37:1-14, menceritakan Allah memperlihatkan kepada Yehezkiel sejumlah besar tulang manusia di sebuah lembah. Ada dialog antara sang nabi dengan Allah. Nabi meyakini bahwa Allahlah yang mempunyai kehidupan maka Allah dapat memberikan kehidupan itu termasuk bagi yang sudah mati! Kisah ini tidak melulu dilihat harafiah atau seperti yang diperagakan oleh Dr.Frankenstein. Pesan moralnya jelas bahwa Allah itu pemilik kehidupan dan manusia yang percaya kepadaNya akan memperoleh kehidupan itu. Apa yang terjadi ketika Israel pada zaman Yehezkiel yang berada pada “konteks kematian” mempercayakan diri kepada Allah Sang Pemberi Kehidupan? Mereka bangkit, tidak terpuruk oleh pesimisme. Pasal-pasal berikutnya jika Anda baca adalah ayat-ayat dengan visi baru: visi kehidupan dan pemulihan.

Konteks Kematian Lazarus
Allah pemilik dan pemberi kehidupan ini jugalah yang diperlihatkan dengan jelas oleh Yesus Kristus dalam konteks kematian Lazarus (Yohanes 11:1-45). Kematian dalam konteks ini adalah: keputus-asaan, kesedihan, kekecewaan, penyesalah dan bahkan kemarahan. Digambarkan melalui reaksi Marta dan Maria, saudara Lazarus yang mati. Kematian dalam konteks ini terjadi karena ketiadaan percaya pada Kristus. Maka untuk memulihkan kehidupan itu, Yesus meneguhkan kepercayaan mereka dengan mengatakan, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?”(Yoh.11:25-26).

Keyakinan Kristiani percaya bahwa Allah adalah sumber dan pemilik kehidupan dan itu jelas mewujud dalam diri Yesus Kristus. Masalahnya sekarang apakah keyakinan itu hanya sebatas pengakuan belaka ataukah telah menjadi gaya hidup? Sebab percuma saja Anda percaya kepada Allah di dalam Krsitus sebagai sumber kehidupan jika hidup Anda kini diliputi terus oleh keputus-asaan, kesedihan, kekecewaan, penyesalan diri dan kemarahan!  Karena yang demikian itu bukan buah kehidupan melainkan buah dari kematian.   

1 komentar: