Kamis, 17 Maret 2011

MENERIMA PILIHAN MENGAMBIL KESEMPATAN


Alkisah ada tiga orang pendeta sedang duduk ngopi bersama di sebuah kafe. Maklum pendeta, percakapannya tidak jauh membahas makna kehidupan. Hari itu mereka mendiskusikan sebuah topik: “Bilamana kehidupan itu dimulai?”

Pendeta pertama mengatakan,” Kehidupan itu dimulai ketika seorang bayi dilahirkan. Pada saat itu untuk pertama kalinya ia menghirup nafas, melihat, mendengar dan merasakan dunia sebenarnya!”
“Bukan begitu!” Sahut pendeta kedua. “Kehidupan itu dimulai ketika janin mulai terbentuk di dalam rahim. Ketika sel sperma dan sel telur bertemu!”

Pendeta ketiga berkata, “Kalian berdua salah, yang benar kehidupan itu dimulai ketika anakmu yang terakhir sudah menikah lalu keluar dari rumahmu dan sekarang kamu sudah tidak ada lagi yang perlu diurus. Di situlah Anda baru kamu menikmati kehidupan yang sebenarnya!”

Jika pertanyaan serupa ditujukan kepada Anda, “Kapan kehidupan itu dimulai?” Saya yakin jawabannya pasti beragam. Hal itu bergantung bagaimana Anda memaknai kehidupan itu. Jika seseorang memaknai hidup itu secara harafiah, yakni: bertumbuh menjadi semakin besar, bergerak, memerlukan energi, maka jelaslah kehidupan manusia dimulai saat bertemunya sel sperma dan sel telur yang berkembang di dalam rahim sang ibu. Namun, apakah kehidupan manusia hanya dilihat seperti itu? Jika demikian maka tak ubahnya dengan kehidupan hewan, tumbuhan, dan mahluk hidup lainnya. Mestinya tidak! Pasti ada yang lebih dari itu. Bukankah manusia adalah makhluk mulia. Dalam berbagai tradisi agama, manusia dtempatkan pada posisi mahkota ciptaan. Dimuliakan di atas segala ciptaan lainnya. Hanya manusia yang mempunyai kesadaran untuk berelasi dengan penciptanya. Dalam tradisi kristiani hanya manusialah yang mempunyai kerinduan untuk kembali mempunyai hubungan asali dengan Sang Khaliknya. Hanya manusia yang merindukan Kerajaan Allah. Maka kehidupan yang sesungguhnya adalah ketika seseorang dapat melihat dan berada dalam Kerajaan Allah. Untuk itu manusia perlu mengalami kelahiran kembali! Itulah yang dikatakan Yesus menanggapi  Nikodemus.

Bagaimana mungkin seseorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunyadan dilahirkan lagi?” Sanggahan Nikodemus ini bisa jadi ketidakmengertian kita juga. Kata “kembali” (ανοθέν), memiliki beberapa arti.  Bisa berarti dari semula, artinya benar-benar radikal. Bisa juga berarti dilahirkan benar-benar kedua kalinya. Atau bisa juga dilahirkan dari atas, yaitu dari Allah sendiri. Sepertinya dalam percakapan ini, Nikodemus hanya memahami kelahiran kembali dalam arti harafiah: dilahirkan kedua kalinya. Padahal yang dimaksudkan Yesus adalah kelahiran dari atas oleh Allah sendiri.

Kelahiran kembali yang dimaksud Yesus bukanlah sekedar pengetahuan akali semata. Bukan juga keyakinan akan dogma-dogma gereja. Tradisi dogmatis atau ajaran gereja harus dibedakan dengan kualitas hubungan seseorang dengan Allah. Tidak serta-merta seseorang yang berpengetahuan luas, memahami ajaran gereja dengan baik pasti mempunyai relasi yang baik dengan Tuhannya. Adalah benar bahwa ajaran gereja yang difahami oleh nalar itu merupakan jalan masuk untuk mengerti karya Allah. Namun, jelaslah hal itu perlu ditindaklanjuti dengan kerendahan hati untuk terus membangun hubungan yang intim dengan Allah.

Hubungan yang baik dengan Allah akan membuahkan perubahan hidup dalam batiniah sedemikian rupa sehingga tampak perbedaan mendasar dalam prilaku seseorang.  Yang semula sulit untuk mengampuni orang yang telah menyakitinya, kini dimungkinkan ia membuka pintu maaf selebar-lebarnya oleh karena ia mengenal dengan baik Allahnya yang Mahapengampun. Yang semula tidak mungkin untuk mengasihi musuh dan mendoakannya, kini karena mengenal dengan baik Allahnya adalah Tuhan yang mengasihi orang yang baik maupun orang jahat maka ia akan mengasihi semua orang tanpa ada tekanan. Kelahiran kembali bukan hanya sebuah pernyataan diri bahwa saya telah lahir baru! Biasanya orang yang sering menunjuk diri “saya sudah lahir baru”  hakekatnya belum. Mengapa? Karena orang yang telah lahir baru pasti tidak sombong, ia akan rendah hati.

Ya! Kelahiran kembali merupakan anugerah Allah bagi setiap orang yang menyambutnya. Bukan diupayakan oleh usaha, kesalehan dan kepandaian manusia. Yohanes 3:16, mencatat, “Karena begitu besarnya kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”  Dari ayat ini jelaslah bahwa Allah sendiri yang mempunyai prakarsa membuka pintu agar manusia mengalami kehidupan yang sesungguhnya itu, yakni kehidupan yang kekal. Allah yang berinisiatif memanggil manusia untuk masuk dalam anugerahnya juga dapat kita temukan dalam Perjanjian Lama : Allah memanggil Abram (Kejadian 12).

Allah memanggil Abram dan mengikatnya dengan perjanjian istimewa  sama sekali bukan karena Abram itu lebih saleh dari orang-orang sejamannya. Alkitab mencatat bahwa leluhur Abram bukan penyembah Allah. Namun, Allah sendiri yang memanggil Abram dan Abram merespon panggilan itu. Paulus mencatat (Roma 4:3) bahwa Abraham memiliki hubungan yang baik dengan Allah, bukan karena ia melakukan semua perintah-perintah hukum, melainkan karena ia menyatakan diri sepenuhnya kepada janji-janji Allah itulah yang diperhitungkan sebagai sebuah tindakan yang benar.

Prakarsa Allah yang menghendaki manusia dan alam raya ini hidup dalam anugerah-Nya telah dinyatakan, kini bagaimana tanggapan Anda? Memilih dan mengambil kesempatan untuk hidup di dalam anugerah-Nya seperti Abram atau membiarkan kesempatan itu berlalu? Ingatlah kehidupan yang sesungguhnya bagi manusia itu bukan saat sel sperma bertemu dengan sel telur, melainkan ketika manusia menyadari bahwa dirinya fana dan berdosa lalu kembali kepada-Nya, menyambut panggilan-Nya dan hidup di dalam anugerah-Nya! Di sanalah kedamaian tiada tara, di sanalah yang dinamakan lahir baru! Semoga Anda mengalaminya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar