Nasruddin pernah mendengar bahwa candu bisa membuat orang kehilangan akal sehatnya. Dia tak sepenuhnya percaya. Nasruddin ragu! Untuk menepis keraguannya, tiba-tiba terbersit ide di benaknya untuk membuktikan kebenaran kasiat candu itu. Dia lalu membeli sedikit candu dari pengedar. Nasruddin kemudian pergi ke pemandian, untuk mencoba candu itu sambil mandi. Setelah menikmati candu itu, terlintas dalam pikirannya: “Orang yang berpendapat bahwa candu dapat merusak akal manusia adalah pembohong! Omong kosong, nyatanya setelah aku menikmati candu ini, aku tetap tidak kehilangan akal. Atau, jangan-jangan candu ini palsu?”
Untuk menepis keraguan, Nasruddin ingin membuktikan keaslian candu yang dibelinya itu. Seketika Nasruddin keluar dari pemandian tanpa menyadari tak sehelai benang pun membalut tubuhnya. Telanjang! Orang-orang yang melihatnya sontak bengong dan bertanya,”Apa yang engkau lakukan wahai Nasruddin?” Setelah menceritakan pengalamannya kepada mereka, Nasruddin lalu berkata, “Pengedar candu itu ternyata telah menipu aku! Maka kalian jangan percaya bahwa candu dapat merusak akal sehat. Aku telah mencobanya tapi nyatanya toh aku tidak pernah kehilangan akal sehat!
Banyak orang seperti Nasruddin, mempunyai sifat dan sikap peragu. Ingin selalu membuktikan! Dalam batas-batas tertentu baik. Ilmu pengetahuan berkembang karena manusia mencoba mengatasi keraguaannya dengan bertanya, mencari, belajar dan meneliti. Namun, seringkali keraguan itu juga menjerumuskan manusia. Sudah tahu bahaya koq masih dicoba juga!
Keraguan dalam kehidupan beriman adalah hal yang manusiawi. Namun, lagi-lagi Nasruddin mungkin adalah potret kita juga. Pernah, sering dan bahkan sedang mengalami berkat Tuhan. Namun, masih juga mempertanyakan dimana kasih-setiaNya. Seperti kisah Musa memimpin bangsa Israel di padang gurun. Bangsa itu mulai bersungut-sungut, “Mengapa pula engkau membawa kami keluar dari Mesir, untuk membunuh kami, anak-anak kami dan ternak kami dengan kehausan?” (Keluaran 17:3b) Padahal baru saja Allah menunjukkan kuasaNya dengan memberi air di Mara dan Elim (Kel.15:22-27). Mengapa kita seringkali meragukan pertolonganNya? Karena tidak adanya relasi yang baik. Tuhan hanya difahami secara teoritis belaka.
Pesimis, ragu dan tidak percaya akan pertolongan Tuhan disebabkan oleh relasi yang kurang baik. Manusia enggan membangun relasi dengan Tuhan sehingga bahasa kasih Tuhan sering disalah mengerti. Kesalahfahaman dalam menanggapi sapaan Tuhan ini terjadi karena banyak faktor, antara lain: pemahaman terhadap konsep Allah. Allah hanya dimengerti akan memberkati orang yang setia tetapi sebaliknya Dia akan menghukum orang yang berdosa. Akibat pemahaman ini manusia yang merasa telah melakukan firmanNya punya “hak” Untuk menikmati berkat Tuhan. Namun, sebaliknya jika manusia itu telah berdosa maka layaklah dihukum. Padahal tidak selalu seperti itu. Dalam keyakinan Kristiani justeru Tuhan sangat peduli kepada manusia yang hilang dan berdosa.
Apa yang diduga manusia tidak selalu benar, itulah yang terjadi ketika Yesus membuka percakapan dengan seorang perempuan Samaria. Sebab pada saat itu orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria (Bnd. Yoh.4:9). Orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria terkait sejarah kelam masa lalu. Orang Yahudi yang merasa sebagai umat pilihan Allah adalah bangsa yang kudus, sebaliknya orang Samaria yang dulunya satu leluhur dengan orang Yahudi, karena tekanan dan penindasan Asyur (720 SM) terjadi mereka mengadakan kawin campur dengan non Yahudi. Sehingga dianggap tidak lagi kudus alias cemar. Pada tahun 129 SM Yohanes Hierkamus, Jendral Yahudi, menyerang Samaria dan menghancurkan bait Allah di Gunung Gerizim (ini adalah bait Allah tandingan yang dibangun oleh orang Samaria). Maka makin besarlah kebencian di antara mereka. Bahkan orang Yahudi yang merasa lebih suci ini menjuluki orang Samaria “babi”. Najis untuk mendekati mereka apalagi berbicara, dialog bergaul dengan orang Samaria. Sementara orang Samaria menyebut Yerusalem tempat yang terkutuk. Kedua belah pihak, Yahudi dan Samaria telah membangun temboknya sendiri-sendiri.
Dalam konteks kebencian seperti itulah perempuan Samaria mengalami perjumpaan dengan Yesus. Maka tidaklah mengherankan jika perempuan itu merasa canggung untuk menanggapi Yesus. Pengalaman pahit di masa lalu seringkali menjadi alat legitimasi manusia membenarkan diri dalam membangun benteng eklusif. Namun, Yesus tidak terpengaruh dengan itu, Dia memilih mendobrak tembok itu. Membuka kotak-kotak eksklusif yang dibuat manusia. Hal ini dibuktikan dengan kesediaan Yesus meminta minum kepada perempuan tersebut. Ingat bahwa menerima pemberian apa pun dari orang Samaria sama artinya makan babi, haram dan najis!
Dalam dialog itu Yesus menyangkut dua hal. Yang pertama, tentang karunia Allah. Kasih karunia Allah berlaku tidak hanya untuk orang Yahudi melainkan untuk seluruh umat manusia tanpa memandang asal, status, jasa dan sebagainya. Sehingga dari sisi Allah, tidak ada lagi perlakuan khusus terhadap sekelompok orang, kasih itu berlaku bagi siapa saja yang mau menyambutnya.
Yang kedua, Yesus berbicara tentang “Air Hidup”. Pembicaraan itu terkesan tidak nyambung. Yesus berbicara tentang air spiritual, sementara perempuan Samaria itu menafsirkannya dengan air harafiah. Namun Yesus terus membimbingnya sehingga perempuan itu mengerti. Perempuan Samaria itu mengerti, meskipun ia adalah orang Samaria yang begitu buruk reputasinya di hadapan orang Yahudi ditambah dengan kehidupan moral susilanya yang kelam dengan bersuamikan lima orang dan kini ia hidup “kumpul kebo”, namun toh Yesus mau menyapa dan memberikan Air Kehidupan itu. Ia layak menerima kasih karunia Tuhan.
Yesus telah menerobos dan menghancurkan tembok Yahudi dan Samaria, sehingga terbangun relasi dan komunikasi. Perempuan Samaria itu mengenal Yesus sebagai Mesias. Bagaimana selanjutnya dengan perempuan Samaria? Peempuan ini tidak menikmati Air Hidup itu seorang diri. Dia yang sudah dibebaskan dari hidup masa lalunya dan masuk dalam kasih karuniaNya kini ia menjadi saksiNya. Yohanes 4:39 mencatat, “Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepadaNya karena perkataan perempuan itu,..” Perempuan Samaria itu kini meruntuhkan tembok yang mengurung sesamanya untuk menerima kasih karunia Tuhan.
Bagaimana dengan kehidupan iman kita? Apakah kita sibuk membangun “tembok-tembok” pemisah. Membatasi pergaulan dengan orang-orang yang tidak seiman dan yang berbeda dengan kita? Mestinya kita mencontoh perempuan Samaria itu. Manakala menerima kasih karunia Tuhan maka membebaskannya untuk hidup dalam kasih dan kesaksian, menjadi berkat bagi sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar