Kamis, 31 Maret 2011

MATA HATI YANG MELIHAT TERANG


(Prapaskah IV)
1 Samuel 16:1-13; Mazmur 23; Efesus 5:8-14; Yohanes 9 :1-41
Peristiwa ini terjadi sekitar 20 tahun silam di depot pengisian bahan bakar minyak. Seperti biasa, pagi itu mobil-mobil tangki pengangkut bahan bakar minyak antri untuk diisi. Kehebohan terjadi di antrian premium. Gesekan logam memercikkan api, lalu api itu menyambar tangki yang sedang diisi premium. Melihat bahaya yang mengancam, yang dapat membakar seluruh depot minyak itu, seorang kenek mobil tangki yang sedang diisi tangkinya, berlari mengambil karung basah. Bersama dengan karung basah dan tubuhnya itu, ia mendekap sumber api. Sang kenek berjuang mempertaruhkan nyawanya membungkam dan mematikan api. Syukurlah api itu padam! Namun ada api lain yang mulai menyala. Api itu ada dalam diri kepala depot minyak itu.

Kepala depot marah. Ia memanggil sang kenek yang berhasil memadamkan api itu. “Mengapa kamu melakukan itu. Itu bukan tanggung jawabmu!” Bentak sang kepala depot. “Dengan kamu melakukan itu berarti kamu sudah melanggar peraturan di sini!” Si kenek menjawab, “Tapi,… bukankah sekarang apinya sudah padam dan kita terhindar dari bahaya yang lebih besar.” Sang kepala depot merasa tidak dihargai, lalu membentak lagi, “Saya tidak mau tahu, kamu harus diberi sangsi, kamu harus dihukum karena yang bertugas memadamkan api bukan orang seperti kamu tetapi petugas pemadam kebakaran dan prosedurnya sudah baku ditetapkan.”

Mendengar cerita ini saya jadi teringat dengan kisah Yesus menyembuhkan seorang buta sejak lahir. Tentu orang buta itu sangat gembira dan bersyukur. Selama ini gambaran dunia dan keindahannya hanya bisa ia reka-reka dibenaknya, kini matanya terbuka. Ia bisa melihat! Sibuta ini melihat tetapi banyak di sekelilingnya yang melihat justeru menjadi buta mata hatinya. Mengapa? Seharusnya mereka turut gembira karena ada orang yang sudah bertahun-tahun hidup dalam kegelapan kini bisa melihat. Namun, tampaknya para pemuka agama ini keberatan. Mereka keberatan karena proses penyembuhan itu tidak sesuai dengan aturan (protap/prosedur tetap) yang berlaku. Mereka keberatan karena hari penyembuhannya terjadi pada hari Sabat. Sehingga mereka mencari-cari celah untuk menyalahkan Yesus maupun orang yang disembuhkan itu.

Mereka membawa orang buta yang sudah sembuh itu ke hadapan orang-orang Farisi. Orang-orang Farisi itu menginterogasi si buta yang sudah sembuh. Mereka diperhadapkan pada dilema. Jika mereka mengakui bahwa Yesus menyembuhkan orang buta itu, maka menurut aturan Sabat sulit untuk diterima kalau si Penyembuh itu berasal dari Allah. Mengapa? Karena menurut ajaran yang mereka pegangi mati-matian, seseorang tidak boleh melakukan pekerjaan pada hari Sabat termasuk di dalamnya menolong orang, karena hal itu dapat mencemarkan kekudusan Sabat. Selain itu orang-orang Farisi telah lama mencari celah untuk mendakwa Yesus agar bisa dienyahkan. Di lain pihak jika mereka tidak mengakui penyembuhan itu, buktinya sudah ada di depan mata. Fakta tak terelakkan lagi! Sebab pemahaman mereka waktu itu tidak mungkin seseorang yang buta sejak lahir dapat disembuhkan kecuali oleh orang yang berasal dari Allah sendiri.

Bagaimana upaya Farisi selanjutnya? Mereka memanggil orang tua si buta itu, menanyakan tentang peristiwa yang menimpa anaknya. Tampaknya orang tuanya pun takut mengambil resiko. Ia mempersilahkan untuk bertanya sendiri kepada si anak karena anaknya sudah dewasa. Orang-orang Farisi ini terus mencecar si buta yang telah pulih ini dengan pertanyaan dogmatis, “Katakanlah kebenaran di hadapan Allah; kami tahu bahwa orang itu orang berdosa.” Si buta yang telah pulih itu menjawab, “Apakah orang itu orang berdosa, aku tidak tahu; tetapi satu hal yang aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat.” (Yohanes 9:24,25). Singkat kata mereka terus memojokkan serta merendahkannya. Mereka mengusir si buta yang telah melek ini karena dianggap telah menodai agama mereka.

Korban peraturan penodaan agama ini kini tidak ada tempat di kampung Yahudi itu. Yesus mendengar peristiwa itu. Yesus bertemu dengannya dan membuka dialog. Dialog itu membuka wawasan si buta yang telah pulih itu bahwa yang berhadapan dengannya adalah Mesias. Dulu ia dicelikkan dari kebutaan fisik sejak lahir, kini sekali lagi ia mengalami pemulihan batin. Mata hatinya dicelikkan untuk melihat bahwa Yesus adalah Mesias. Orang itu berkata, “Aku percaya, Tuhan!” Lalu ia sujud menyembah-Nya. Kata Yesus, “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barang siapa tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barang siapa melihat, menjadi buta.”(Yohanes 9:38,39)

Mantan penderita buta ini melihat. Ia dibebaskan dari derita fisik sekaligus mata hatinya melihat karya kasih Allah. Namun, para pemuka agama yang selama ini dapat melihat dengan matanya, dapat melihat dengan akal budinya, ilmu dan kedudukannya merupakan kebanggaan mereka untuk melihat dan menghakimi orang lain menurut hukum yang dianutnya sehingga mereka merasa benar sendiri. Mereka akhirnya dibutakan oleh kebanggaannya itu.

Tidak salah mengejar kepandaian dan ilmu termasuk di bidang agama. Tetapi biasanya jika tidak diimbangi dengan kerendahan hati, ilmu dan pengetahuan serta kedudukan dapat membuat seseorang lupa diri. Arogan! Di sinilah awal mula dari manusia menutup pintu hatinya. Membutakan dirinya sehingga tidak mampu menghargai orang lain dan kebenaran yang ada pada orang lain itu.

Berapa banyak korban berjatuhan, khususnya di Indonesia, akibat pemahaman agama yang sempit? Beberapa kasus dapat kita sebutkan. Atas nama agama; atas nama Tuhan boleh menganiaya, merampas, membakar bahkan membunuh. Inikan percis seperti pemuka agama pada zaman Yesus. Demi menegakkan hukum Sabat mereka mengusir mantan orang buta, demi menjaga kesucian ajarannya mereka mencari cara untuk membunuh Yesus. Orang-orang seperti inilah yang Yesus sebut mata hatinya telah dibutakan. Sebaliknya orang yang telah dicelikkan mata hatinya akan selalu menjaga, memelihara kehidupan. Dia akan meneruskan cinta kasih Allah kepada semua orang termasuk terhadap orang yang membencinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar