Jumat, 11 Maret 2011

MENDAMPINGI PASANGAN YANG SAKIT SERIUS


Sakit? Siapa yang mau sakit? Tidak ada orang yang mau sakit, tetapi ternyata sakit tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Setiap orang pasti pernah mengalami sakit, entah sakit psikis seperti stess,  atau pun sakit fisik (kelemahan tubuh). Secara umum orang membedakan dua macam sakit, yaitu sakit ringan dalam arti sakit yang tidak terlalu membahayakan jiwa atau sakit yang tidak berlarut-larut, seperti sakit flu ringan. Kedua, sakit berat  dalam hal ini sakit yang mengancam jiwa dan membawa ‘perubahan’ besar dalam kehidupan seseorang seperti sakit stroke, jantung, kanker/tumor, dan sebagainya. Sakit jenis pertama seringkali kita mengobatinya dengan memakai obat-obatan yang umumnya dijual bebas, tetapi sakit jenis kedua, biasanya membutuhkan penanganan dan pengobatan di rumah sakit yang lebih serius.

Persoalan akan muncul ketika Anda (sebagai pasangan) harus mendampingi pasangan yang mengalami sakit berat. Mengapa? Karena sakit berat ini seringkali bertalian dengan sakit psikis dan berhubungan dengan sisi kehidupan yang lain seperti ekonomi, spiritual dan social. Selain itu disadari atau tidak apa yang dialami oleh pasangan Anda ini potensial mengubah kehidupan Anda. Anda kini harus memegang kendali bahtera kehidupan. Mungkin Anda akan “dipaksa” mandiri, dan lain sebagainya.

Apa sajakah yang dialami oleh seseorang ketika mengalami sakit yang berat? Pertanyaan ini harus kita pahami terlebih dahulu pada saat kita mendampingi pasangan kita yang sakit. Pertama, masalah psikis: seseorang yang mengalami sakit berat akan mengalami gangguan psikis. Ketika tidak bisa lagi melakukan berbagai macam kegiatan akibat penyakit stroke, maka umumnya seseorang akan mengalami depresi berat dan stress. Ia akan menjadi seorang yang cenderung sensitif, mengasihani diri: dirinyalah yang paling malang, mudah marah baik terhadap keluarga, tim medis, bahkan Tuhan, apapun yang dikerjakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya (istri/suami anak, saudara, suster bahkan dokter yang merawatnya) menjadi tidak ada yang dapat memuaskan hatinya. Sikap seperti ini terjadi saat orang tersebut tidak bisa menerima keadaan dirinya bahwa ia stroke atau mengalami sakit ‘berat’. Sifat dan pembawaannya yang tadinya tenang dan suka bergaul bisa menjadi orang yang sinis dan tidak mau bertemu dengan orang lain. Yang tadinya rajin berdoa dan pelayanan bisa berhenti berdoa dan tidak lagi mau melayani. Hidup menjadi sangat tidak adil bagi dirinya bahkan Tuhan pun menjadi sosok yang tidak lagi peduli.

Demikian juga orang yang mengalami kanker atau sakit jantung, mereka juga umumnya mengalami persoalan dengan psikis mereka. Mereka umumnya segera menyadari bahwa ‘umur’ mereka tinggal sedikit, akibatnya ada orang yang menjadi stress dan depresi dan tidak sedikit yang karena stressnya itu “pulang lebih awal” artinya secara medis fisiknya mampu menahan sakitnya itu tetapi karena depresi membuatnya putus asa. Namun tidak semua orang bersikap ‘sinis’ dan ‘negatif’, ada juga orang yang kemudian berserah penuh kepada Tuhan dan semakin mendekatiNya. Orang yang bisa bersikap seperti ini umumnya adalah orang yang dapat menerima keadaan dirinya bahwa ia ‘sakit’ dan membutuhkan pertolongan dari orang-orang yang ada di sekitarnya dan terutama membutuhkan Tuhan.

Kedua, persoalan ekonomi. Sakit yang berat umumnya akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan tentu saja ini akan ‘membebani’ pikiran mereka. Bagaimana biaya rumah sakit, pengobatan, perawatan, dokter dan sebagainya, belum lagi mereka merasa bahwa sekarang mereka tidak bisa lagi bekerja untuk mendapatkan penghasilan atau “mengganggu” pekerjaan pasangan mereka karena harus merawat dirinya yang sakit. Pemikiran seperti ini tentu saja memberi dampak pada psikis mereka.

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas tentunya mendampingi pasangan yang sakit itu bukanlah hal mudah! Mengapa? Karena disadari atau tidak, apa yang dialami oleh pasangan kita akan memberikan pengaruh kepada kita. Kita juga menjadi cenderung labil dalam emosi dan tidak sedikit dari kita yang kemudian ikutan ‘sakit’ khususnya secara psikis. Kita ikutan merasa stress dan depresi, kita juga cenderung menjadi orang yang pemarah dan sinis, tapi ada juga yang kemudian menjadi kuat dan menopang pasangan kita. Bagaimana caranya kita bisa menjadi kuat dan menopang?
1.        
      1. Menerima bahwa pasangan Anda saat ini sakit dan mungkin ada banyak perubahan.
Sikap pertama yang harus Anda miliki adalah sebuah sikap penerimaan. Menerima bahwa pasangan Anda mengalami sakit berat dan sakit itu membawa ‘dampak-dampak’ tertentu kepada pasangan Anda. Dampak itu bisa negatif (cenderung lebih banyak) namun bisa juga dampak positif. Apa pun dampak yang timbul maka Anda harus memahami dan menerima bahwa itu adalah bagian dari penderitaan yang ia alami. Penerimaan yang baik akan menolong Anda untuk dapat berempati pada pasangan Anda. Anda bisa mencoba membayangkan kalau Anda yang berada pada posisi pasangan Anda bagaimana perasaan Anda?. Sikap empati ini sangat menolong Anda untuk lebih memahami kondisi dan perasaan pasangan Anda. Orang yang dapat menerima tidak akan memaksakan kehendak kepada dokter atau Tuhan agar pasangannya dipulihkan seperti semula. Berdoa dan berharap adalah hal yang baik dan harus, namun jangan lupa bahwa Tuhan juga mempunyai rancangannya sendiri. (Yesaya 55:8-9) Ketika Anda menerima kondisi pasangan yang sedang sakit, ini berarti juga Anda belajar berserah kepada Tuhan.
  
            2. Memberi dukungan penuh pada pasangan
Dukungan dapat diberikan tidak selalu dalam hal-hal yang besar. Senyum Anda, merupakan obat yang manjur untuk membangkitkan semangat pasangan. Para ahli kejiwaan umumnya sepakat bahwa hati yang gembira dan semangat yang terus menyala adalah modal utama si sakit dalam “mengajak” energi positif tubuhnya untuk mengalami pemulihan.  Alkitab telah mengajarkan itu pada kita: “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.” (Amsal 17:22). Pujian sekecil apa pun akan menolong pasangan Anda mengulangi hal-hal yang baik. Misalnya dalam kasus stroke, ketika pasangan, menggerakan tangannya, meski hanya sedikit, dengan pujian Anda maka besar kemungkinan ia mau terus mau menjalani terapi.

      3. Jangan berkelu-kesah di depan pasangan
Kondisi mendampingi pasangan yang sakit pasti Anda membutuhkan teman untuk curhat, menumpahkan keluh-kesah. Menyadari pasangan yang sakit berat perasaannya sangat sensitif, maka sebaiknya keinginan untuk berkeluh-kesah ditahan terlebih dahulu. Ada dapat menyampaikannya pada momen yang tepat. Misalnya ketika pasangan mulai menerima keadaan dirinya atau ketika pasangan sedang gembira. Anda dapat mengemas ungkapan keluh-kesah itu menjadi ungkapan “cinta yang luar biasa”. Misalnya, Anda akan bercerita ketika harus mengurus anak seorang diri: menyediakan makan, mendampingin belajar, mengantarnya sekolah.  Atau kekelahan Anda dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga ditambah sekarang harus mengurus pasangan. Selipkanlah dalam momen itu hal-hal yang lucu. Di akhir cerita itu, sampaikanlah bahwa Anda rela melakukan itu semua oleh karena cinta Anda padanya dan pada anak.
       
           4. Ungkapkanlah selalu dengan menggunakan “bahasa positif”.
Menyadari pasangan yang sakit berat sedang sensitif, bahasa menjadi sangat penting. Ada banyak orang bingung menyampaikan diagnosa dokter pada si sakit dan akhirnya terpaksa berbohong. Alangkah menyakitkannya jika pasangan kita kelak tahu bahwa yang kita sampaikan itu adalah berita bohong. Menyampaikan dalam bahasa positif tidak mesti berbohong. Saya ingat ketika suami saya sakit, dokter memeriksa setelah beberapa minggu ternyata kondisinya tidak membaik. Lalu dokter menyampaikan, “Tenang saja Pak, kondisi Bapak tidak ada perburukan!” Bandingkan kalimat tersebut dengan mengatakannya seperti ini, “Kondisi Bapak sampai saat ini tidak ada kemajuan!” Isinya sama tapi dampaknya akan menjadi lain. Anda tidak perlu berbohong tapi mintalah pada Tuhan agar diberi hikmat untuk berbicara hal-hal yang positif tepat pada waktunya.

5. Pasangan Anda memerlukan kasih bukan kasihan
Pasangan yang sedang menderita sakit serius, tanpa daya dan mungkin ada bagian-bagian tubuh tertentu yang sudah kehilangan fungsinya pada dasarnya tidak menginginkan dikasihani. Alih-alih membangkitkan semangat hidup, seseorang yang sedang tanpa daya malah justeru semakin frustasi. Tatapan iba berlebihan akan mengurungkan semangatnya. Tindakan kasih tidak idenentik dengan iba atau belaskasihan. Kasih malah kadang terlihat "tega" dan menyakitkan. Tega untuk mengajar pasangan "mandiri", mungkin ia harus membiarkan terjatuh ketika harus belajar berjalan. Membiarkan makan sendiri meskipun seringkali berantakan. Dan memandangnya sebagai orang yang "normal" meski di dalam hati menangis. Kasih kadang harus tega, demi yang dikasihi kembali mempunyai semangat hidup.

6. Menjadikan pasangan tetap berguna dalam kehidupan Anda
Betapapun ada banyak penurunan fungsi tubuh dan psikis, temukanlah bahwa masih ada hal-hal yang baik yang dapat diberikan oleh pasangan Anda. Seseorang akan kehilangan semangat hidupnya manakala ia sudah merasa tidak lagi berguna. Ada banyak kasus bunuh diri terjadi penyebab paling utama adalah merasa diri sudah tidak lagi dibutuhkan. Anda dapat mengatakan kepada pasangan Anda bahwa dirinya sangat berarti bagi Anda meskipun kini tanpa daya. Bukankah Tuhan kita juga mengajarkan kasih yang seperti itu. Kasih yang "meskipun". Meskipun kita berdosa dan penuh kelemahan, Yesus tetap mengasihi kita. Kasih inilah yang kita teruskan!  Ketika Anda berhasil menyakinkan bahwa pasangan Anda sangat berarti bagi diri Anda, percayalah, sekalipun dia harus pergi ke rumah Bapa karena sakitnya tidak tersembuhkan, ia akan pulang dengan damai sejahtera, ia tersenyum kembali kepada-Nya sebab hidupnya telah berarti, minimal bagi Anda.
     7. Bersandar dan berserah penuh kepada Tuhan
Bersandar penuh kepada Tuhan adalah sikap yang harus Anda miliki sebagai anak-anak Tuhan. Menyadari bahwa segala sesuatunya tidak terlepas dari kasih setia Tuhan. Berserah bukan berarti pasrah saja tidak melakukan usaha apa pun. Sebatas kemampuan Anda, jangan diporsir, kerjakanlah sambil mata hati Anda tetap tertuju kepada Bapa di Sorga. Bukankah kita memanggil-Nya Bapa. Bapa yang baik tahu akan kemampuan anak-anak-Nya, termasuk kebutuhan keuangan yang harus Anda sediakan dalam mendampingi pasangan yang sakit. Ingatlah I Petrus 5:7,”Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.”
  
           8. Bersyukur artinya bersikap positif
Benar, tidak mudah untuk menyukuri kondisi sakit yang berat. Namun, bagi orang beriman segala sesuatu di dalam hidup ini pastilah ada sisi baiknya. Menemukan sisi baik itulah yang dapat memampukan manusia bertahan dalam keadaan sesulit apa pun. Masing-masing orang dapat berbeda dalam menemukan “sisi baik” dalam kondisi sakit. Ada yang merasakan sisi baik itu bahwa ia kini punya banyak waktu untuk merenungi hidup dan bersekutu dengan Tuhan. Ada yang seperti Paulus bahwa di balik kelemahan tubuhnya justeru kuasa Tuhan itu semakin nyata. (2 Korintus 12:9-10) Nah, jika Anda mengalami keadaan “sulit” itu, jangan lekas menyerah, temukanlah hal yang positif, niscaya Anda mampu bersyukur.


Maret 2011
Engeline Chandra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar