Kondisi ideal, mapan, terpandang dan dihormati tentu menjadi impian setiap orang. Pada titik ini tidak terlalu sulit untuk mengimani bahwa Allah adalah sumber berkat! Sayang, hanya segelintir orang yang bisa menikmati posisi ini. Dari segelintir orang ini di antaranya adalah kelompok Saduki.
Saduki adalah kaum aristokrat sekaligus imam yang memegang kekuasaan di Yerusalem setidaknya sampai simbol kehadiran Sang Mahakudus di Yerusalem itu dihancurkan pada tahun 70 M. Saduki adalah kelompok orang kaya, tuan tanah, cukong yang menyediakan ternak dan uang penukar untuk keperluan ritual dan persembahan di Bait Suci. Atas nama kestabilan politik dan mempertahankan kultus Bait Suci, kelompok ini cenderung pragmatis dan kompromi terhadap kekuasaan Romawi. Mereka dikenal sebagai orang-orang rasional, menolak tradisi lisan leluhurnya, oleh karena itu mereka hanya menerima pentateukh (Lima Kita Musa; Taurat). Mereka menolak cerita-cerita takhyul, tidak percaya kepada kebangkitan dan ganjaran hidup kekal. Cukup dunia sekarang membuktikannya: kalau kamu diberkati hidupmu berlimpah harta dan kemakmuran. Sebaliknya, hidupmu sengsara tandanya kamu dihukum Tuhan. Dunia roh, apalagi arwah gentayangan tidak ada dalam benak mereka. Buat mereka, kalau dibilang percaya kepada Allah yang hidup, itulah yang menjadi keyakinan mereka. Bagi mereka, Allah itu hidup dan memberkati dapat dilihat dari kesuksesan, kemakmuran dan status sosial!
Tabiat pragmatis yang tampaknuya rasional muncul dalam adu argumentasi dengan Yesus tentang kebangkitan. Pertanyaan mereka, bagaimana jika ada istri yang menikah dengan tujuh saudara yang meninggal tanpa anak. Dengan suami yang manakah dia hidup bersama di alam yang kekal itu? Pertanyaan ini dipakai mereka untuk menunjukkan bahwa kebangkitan itu tidak logis! Yesus menanggapi argumen yang terasa rasional itu dengan membalikkan keyakinan mereka terhadap Taurat. Yesus menyatakan bahwa dalam kebangkitan itu orang tidak lagi punya status pernikahan duniawi yang di dalamnya unsur-unsur seperti kepemilikan dan hasrat seksual dominan. Kelompok Saduki menafsirkan bahwa kebangkitan itu tidak lebih dari kelanjutan hidup fisik di dunia ini. Jadi, bagaimana mungkin istri itu berbagi diri dengan tujuh suaminya di alam baka? Bagi Yesus cara pikir ini keblinger! Dalam kebangkitan orang-orang yang percaya kepada Allah, mereka akan hidup seperti malaikat. Artinya, mereka dibebaskan dari ikatan-ikatan duniawi, apalagi nafsu kedagingan. Sebaliknya, mereka akan menjadi penurut-penurut yang memuliakan Allah.
Allah yang hidup dalam pandangan Saduki selalu dikaitkan dengan kehidupan ideal, mapan dan terhormat. Ini sangat berbeda dengan pernyataan Yesus tentang “Allah orang hidup”. Yesus menunjukkan bahwa Allah bukanlah Tuhan atas orang mati, melainkan Tuhan atas orang hidup. Yesus mengutip pernyataan Allah kepada Musa di semak duri, yang menyebut diri-Nya sebagai Allah Abraham, Ishak, dan Yakub – bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup. Dengan mengatakan ini, Yesus menegaskan bahwa orang-orang yang secara fisik telah mati, sebenarnya mereka hidup di hadapan Allah. Oleh karena itu Allah tidak hanya Tuhan atas kehidupan sekarang, tetapi juga sumber kehidupan kekal dan penguasa atas kebangkitan orang mati.
Kematian bukan akhir dari eksistensi manusia. Kebangkitan dan hidup kekal bersama dengan Allah adalah janji yang dinubuatkan oleh para nabi. “Allah yang hidup” juga menyiratkan hubungan dinamis dan pribadi antara diri-Nya dengan umat-Nya, di mana Allah berperan aktif dalam sejarah keselamatan dan akan membangkitkan umat-Nya pada waktu yang ditentukan-Nya sendiri. Pemahaman ini dipakai Yesus untuk menunjukkan kebenaran tentang kebangkitan dan hidup yang kekal. Yesus menolak pandangan skeptis kelompok Saduki yang meragukan adanya kehidupan setelah kematian. Dengan mengatakan Allah adalah Allah orang hidup, Yesus menuntun para pendengar-Nya pada pengakuan bahwa hubungan Allah dengan umat-Nya adalah hidup dan berkelanjutan, bukan berhenti pada kematian fisik.
Apa yang terjadi ketika orang mempunyai pemahaman bahwa hidup ini tidak berhenti hanya pada kematian fisik? Dampaknya, tidak menggunakan hidup sekarang ini semaunya. Mereka yang meyakini bahwa kematian bukan akhir dari segalanya akan belajar taat dan setia pada kehendak Tuhan. Mengapa? Jelas, dengan mengutip pernyataan Yesus bahwa dalam kebangkitan dan hidup yang kekal itu manusia akan seperti malaikat. Bagaimana mungkin kita akan seperti malaikat kalau di dunia ini saja membangkang perintah-Nya? Konsekuensi lainnya adalah tetap berpengharapan walaupun dalam menurut pandangan umum tidak ada pengharapan.
Bisa saja dalam ketaatan kepada Allah seseorang diperhadapkan pada pergumulan pelik, sakit penyakit berat, penderitaan akibat penganiayaan dan semacamnya. Dalam situasi seperti ini iman kepada Allah yang hidup akan menolongnya untuk terus berpengharapan. Ini bukan pengalihan bahwa tidak mengapa hidup susah di dunia ini, toh nanti di surga mendapatkan segala kesenangan dan kemuliaan. Bukan demikian! Namun, tetap berjuang bahkan sampai tarikan nafas terakhir untuk keadaan yang lebih baik di sertai keyakinan bahwa “Aku tahu penebusku hidup!”
“Aku tahu penebusku hidup” adalah kalimat terkenal yang dikatakan Ayub bukan pada saat ia hidup ideal, makmur, kaya raya dan terpandang. Namun, justru ketika ia bangkrut, kehilangan segalanya, bukan hanya harta benda tetapi anak-anak, istri yang memintanya menghujat Allah bahkan para sahabat yang menghakiminya. Titik nadir kehidupan!
Menariknya, Ayub tidak kehilangan pengharapan! Ayub 19:25, “…aku tahu penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit membelaku di atas debu.” Kata “penebus” bukan menunjuk pada saudara laki-laki, paman, saudara sepupu, atau kerabat dekat yang menolongnya dengan cara menyantuni atau membayar utang-utangnya (Imamat 25:25-34). Bukan pula ditujukan kepada orang yang mampu membebaskannya dari perbudakan (Imamat 25:47-54). Kata “penebus” ditujukan kepada Allah sendiri. Allah yang berkuasa dan akan membangkitkannya bahkan dari debu sekalipun!
Percaya kepada Allah yang hidup mestinya menolong kita bahwa Dia adalah penguasa dan pemilik kehidupan. Hidup ini tidak berhenti ketika kematian menjemput kita. Untuk itu jangan jadikan “aji mumpung” dalam kehidupan ini. Mumpung sehat, mumpung kaya, mumpung berkuasa, lalu melakukan semaunya karena kita berpikir toh segalanya akan berakhir dalam kematian. Pergunakan hidup ini sebagai kesempatan untuk belajar taat dan setia kepada Tuhan dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi orang banyak.
Percaya kepada Allah yang hidup mestinya membuat kita menjadi orang-orang optimis yang berpengharapan sekalipun dunia ini mengatakan hidupmu sudah menjadi “debu”. Ini bukan pengharapan utopia yang diletakkan di ujung keputusasaan. Tetapi, benar-benar yakin bahwa Allah tetap menyertai. Seperti keyakinan Daud ketika terpojok oleh para musuhnya. Daud yakin Tuhan memelihara dirinya seperti biji mata!
Jakarta, 06 November 2025 Minggu Biasa XXXII, Tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar