Jumat, 31 Oktober 2025

APAKAH AKU LAYAK?

Pemimpin korup, nirmoralitas, ambigu, dan oportunis melahirkan ketidakpercayaan rakyat dan berujung pada kehancuran. Keputusan-keputusan pragmatis penguasa menambah rapuhnya daya tahan negara menghadapi tantangan. Kerapuhan itu nyata saat Pekah bin Remalya, raja Israel yang didukung Aram dalam sehari dapat menewaskan seratus dua puluh ribu orang dan dua ratus ribu orang lagi menjadi tawanan perang!

 

Kegamangan raja Ahas terlihat jelas ketika ia menyuruh utusan kepada raja negeri Asyur untuk mengemis bantuan. Tilgat-Pilneser, raja Asyur datang memenuhi permohonan Ahas. Upahnya? Ahas menyita semua barang berharga dari Bait Suci dan diserahkan kepada raja Asyur itu. Tidak hanya berhenti di sini, dalam keadaan terdesak Ahas malah semakin berubah setia kepada Tuhan. Ia mempersembahkan korban kepada para ilah orang Damsyik yang telah mengalahkan dia. Pikirnya, yang membantu orang-orang Aram adalah para ilah mereka; kepada merekalah aku akan mempersembahkan korban, supaya para ilah itu membantu aku. Konyol!

 

Cukup sampai di sini tindakan konyol Ahas? Tidak! Atas perintahnya, imam Uria menggantikan semua peribadahan dan korban-korban persembahan. Kini, bukan lagi untuk TUHAN tetapi untuk para dewa Asyur. Ahas tidak segan mengorbankan anaknya sendiri, dibakar sebagai persembahan untuk dewa Asyur! (Anda dapat membaca kisah Ahas dalam 2 Raja-raja 16 dan 2 Tawarikh 28).

 

Kesedihan dan kemarahan yang membuncah terungkap, Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku… Mereka meninggalkan TUHAN, menista Yang Mahakudus, Allah Israel, dan berpaling membelakangi Dia.” (Yesaya 1:2,4b). Tidak berlebihan kalau Allah menyebut para pemimpin mereka sejajar dengan manusia Sodom dan rakyatnya sebagai manusia Gomorah! (Yesaya 1:10). Mudah dimengerti juga kalau ritual ibadah, pengorbanan dan pencurahan darah hewan bercampur darah manusia di Bait Allah itu sangat memuakan dan menjijikan. Ini bagaikan Anda menyaksikan perzinahan pasangan di depan mata Anda sendiri! Sejauh itu Ahas dan para penguasa Yehuda telah membawa rakyatnya dalam kehidupan dosa yang sangat kelam. 

 

“Marilah, baiklah kita berperkara!” Sang Mahakudus tidak mendiamkan atau melumat habis mereka. Ia masih membuka kesempatan, “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba akan menjadi putih seperti bulu domba!” Anda bisa membayangkan, betapa menjijikan rezim Ahas yang tidak hanya menodai kekudusan Allah dan Bait, dan segala ritual untuk mengagungkan nama-Nya tetapi juga yang menindas orang-orang miskin, membiarkan orang kelaparan dan tidak peduli terhadap janda dan anak yatim, apalagi orang asing. Kontras dengan tangan yang terbuka menerima kembali, menyucikan dan menguduskan mereka!

 

Hanya satu syarat yang harus mereka penuhi, yakni: bertobat! Melalui Yesaya, Allah menghendaki umat itu sungguh-sungguh bertobat yang dibuktikan dengan meninggalkan kejahatan, menyingkirkan berhala, menegakkan keadilan sosial dan melindungi kaum tertindas. Mereka harus kembali kepada ibadah yang sejati dan bukan ibadah yang munafik dengan menampilkan kesalehan palsu. Pada dasarnya, ibadah kepada Allah itu tidak bisa dilepaskan dengan kepedulian terhadap sesama, apalagi mereka yang menderita.

 

Jelas, Allah tidak menghendaki kebinasaan. Kasih-Nya terus mencari, bahkan merangkul orang yang sama sekali tidak layak untuk diampuni dan dicintai. Zakheus adalah contoh orang yang tidak layak untuk dicintai dalam komunitasnya. Pemungut cukai! Ia adalah pendosa, pemeras dan penjual bangsanya kepada penjajah asing. Sudah sepantasnya disingkirkan! Yesus berbeda dari komunitas Yahudi itu. Ia meminta Zakheus turun dan menyiapkan hidangan di rumahnya. Sebab, Ia akan singgah dan makan bersama dengannya!

 

Apakah Yesus tidak tahu perbuatan dan pekerjaan Zakheus? Apakah Ia tidak peduli dengan sakit hatinya orang-orang yang diperas Zakheus? Apakah Yesus tidak mengerti tentang konsep dosa dan hukuman menurut Taurat? Jelas, Yesus tahu! Lalu, apakah Dia mengabaikan semuanya itu dengan mengajak si pendosa itu menjamu-Nya?

 

“Marilah, baiklah kita berperkara!” Apa yang dilakukan Yesus sejajar dengan apa yang ditawarkan Allah. Allah tahu percis seberapa dalam dosa dan kekejian yang menjijikan umat itu. Namun, tangan-Nya terbuka untuk memeluk insan-insan yang berlumuran dosa itu. Kekudusannya siap terkena noda dosa itu, asalkan mereka tidak berakhir dengan kebinasaan. Yesus siap dicela dan dihina bahwa Ia berkawan, bersekutu dengan si pendosa. Untuk apa? Tidak ada orang yang binasa!

 

Ahas tidak menggunakan sisa hidupnya untuk mewujudkan hidup dalam pertobatan. Hizkia, anaknya yang kelak akan mereformasi kehidupan umat Tuhan itu. Berbeda dari Ahas, Zakheus menyambut tawaran Yesus. Ia segera turun, tidak peduli dengan ucapan dan cibiran orang-orang yang menyertai perjalanan Yesus. Bersama Yesus, ia bergegas menuju ke rumahnya. Diperintahkannya para pegawainya untuk menyiapkan pesta jamuan makan!

 

Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Lukas 19:8). Inilah pertobatan. Hidup dan perjuangannya berubah kontras! Dari seorang yang mengumpulan untuk dirinya sendiri sekarang menjadi orang yang berbagi untuk sesama, khususnya mereka yang miskin dan diperlakukan tidak adil. Pertobatan bukan soal berhenti dari perbuatan jahat tetapi lebih jauh dari itu: mengupayakan kebaikan bagi sesama!

 

Ritual ibadah bukan tentang kepuasan aku mendapatkan apa. Tetapi, memperjumpakan umat dengan cinta kasih Allah. Membebaskannya dari kemunafikan dan egoisme. Ibadah sejati bukan hanya bicara tentang pujian untuk Tuhan, tetapi juga membawa berkat bagi kehidupan masyarakat dan sesama. Gereja harus terus mengemban suara kenabian dengan mengintegrasikan ritual, pengajaran, doa, nyanyian, liturgi dan tindakan sosial untuk menjadi agen pembaruan yang nyata.

 

Kita tidak lebih dari Ahas dan Zakheus, manusia-manusia berdosa yang tidak layak di hadapan Tuhan. Namun, karena kasih-Nya yang besar Ia membuka lebar-lebar pintu pengampunan dosa dan rakhmat-Nya. Apakah, kita membiarkannya berlalu begitu saja? Atau, seperti Zakheus, kita menerima undangan Tuhan. Merasakan cinta kasih-Nya sehingga dengan sendirinya, aliran-aliran air kehidupan itu memenuhi seluruh relung hati, jiwa, pikiran, nalar dan akhirnya seluruh organ tubuh kita untuk berbuat seperti yang diperbuat Yesus. Untuk memperjuangkan apa yang diperjuangkan Yesus dan untuk menjadi berkat bagi banyak orang. 

 

Ketidaklayakan kita bukan alasan untuk mengatakan, “terlanjur basah, jadi mandi sekalian!” Terlanjur hidup dalam dosa, tidak perlu bertobat. Bukan itu yang Tuhan mau. Di hadapan kasih karunia-Nya tidak ada dosa yang terlalu berat untuk diampuni. Seperti kirmizi dan kain kesumba yang dapat menjadi putih seperti salju dan bulu domba, demikian darah Yesus membasuh bersih dosa-dosa kita. Ingat, ketika Anda bertanya, “Apakah aku layak?” Tuhan menjawab, “Ya, datanglah dan Aku akan mengampunimu, hidupmu menjadi baru!”

 

 

Jakarta, 31 Oktober 2025, Minggu Biasa XXXI Tahun C

Tidak ada komentar:

Posting Komentar