Kamis, 11 September 2025

TIDAK HINA TETAPI BERHARGA

Siapa bilang si jelata tidak berharga? Beberapa ekonom dan sosiolog (Herbert J. Gans, Karl Marx & Friedrich Engels, Lewis Coser) menyebut bahwa sistem ekonomi modern bergantung pada keberadaan orang miskin. Dengan kata lain, si jelata itu dibutuhkan, karena: Mereka adalah tenaga kerja murah. Banyak industri pertanian, manufaktur, infrastruktur memerlukannya – minimal sampai hari ini, entah kalau semua sudah digantikan dengan robot. Mereka adalah konsumen kelas bawah dengan daya beli rendah yang jumlahnya banyak. Dalam rantai ekonomi kapitalistik, keberadaan orang miskin secara tidak langsung menopang kenyamanan kelompok lain. 

 

Disadari atau tidak kejelataan dan kemiskinan dalam sejarah manusia selalu dipelihara supaya ada pekerjaan yang hanya mungkin diakukan dengan upah rendah. Adanya kelas bawah membuat kelas lain merasa aman atau lebih berhasil. Si jelata sering dijadikan alasan untuk menciptakan program politik populer, proyek sosial, atau kampanye moral. Kejelataan bukan hanya kebetulan, tetapi sering menjadi bagian dari struktur sosial yang tidak adil.

 

Mirip kejelataan dan kemiskinan, status orang berdosa tampaknya diperlukan dalam tatanan masyarakat “religius” agar terlihat kelas orang-orang saleh. Adanya orang-orang berdosa justru dapat meningkatkan kemilaunya kelas orang-orang kudus. Coba Anda bayangkan, jika tidak ada orang berdosa, bagaimana mungkin orang-orang saleh akan kelihatan pamornya. Batasannya harus jelas antara kaum saleh dan kelompok berdosa; Kaum saleh harus menjaga kekudusan mereka dengan pelbagai peraturan dan ornamen. Mereka harus menjaga pergaulan!

 

Dalam konteks ini, keberatan kaum religius sangat masuk akal ketika mereka melihat Yesus duduk makan bersama kaum pendosa rendahan. Sayangnya bagi Yesus justru cara pandang dan perlakuan mereka ini yang tidak masuk akal! Bukankah kepada kelompok yang dipandang berdosa inilah justru harus dikenalkan kasih karunia Allah. Mereka ibarat domba yang hilang dan harus diraih kembali! 

 

Yesus memberikan tanggapan. Kali ini Ia tidak sedang memberikan tips untuk bisnis peternakan, khususnya domba. Namun, Ia sedang menggambarkan kegelisahan hati Allah yang mencintai semua orang. Logika hitung-hitungan bisnis tidak masuk akal meninggalkan 99 ekor domba demi mencari satu ekor yang hilang. Betul, dalam dunia sosial perdombaan tempo doeloe di Palestina, para gembala biasa hidup berkoloni. Seorang gembala yang ingin mencari dombanya yang hilang dapat menitipkan yang 99 ekor itu kepada temannya. Namun, ini juga tetap risiko. Anda mau dititipkan tanggung jawab menjaga dan memberi makan 99 ekor domba teman Anda, sementara Anda tidak tahu sang teman itu akan kembali kapan. Ini tambah tidak logis lagi!

 

Perumpamaan ini rupanya sengaja dibuat ekstrim dengan tujuan, Yesus ingin mengguncang cara berpikir pendengarnya, khususnya orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Kelompok ini mungkin sekali berpikir, “Bukankah lebih baik menjaga yang banyak dari pada repot-repot mencari satu yang hilang?” Atau, “Bukankah lebih baik memelihara, menjaga kekudusan umat dan menyingkirkan mereka yang nyata-nyata berdosa?” Namun, Yesus membalikkan logika itu, bagi-Nya satu jiwa yang hilang sama berharganya dengan yang banyak. 

 

Perumpamaan ini bukan tentang untung-rugi hitung-hitungan bisnis. Ini berbicara tentang hati Allah yang gelisah memikirkan keberadaan yang hilang itu. Ibarat seorang ibu yang terus mencari koin dirham yang hilang. Meskipun masih ada 9 dirham yang lainnya, hatinya ada di satu koin yang hilang itu. Ibarat seorang ibu dengan lima orang anak. Satu anaknya sudah beberapa hari tidak pulang. Benar, anak ini bandel dan suka buat onar. Bagaimana pun hatinya gelisah memikirkan, mendoakan. Ia menangis dan dalam batinnya tertanam kerinduan ingin segera bertemu dengan sang anak. Maka risiko apa pun akan ditempuh untuk mencari sang anak. Kegelisahan Allah ini juga digambarkan seperti seorang ayah yang terus menanti anak bungsunya yang pergi dengan membawa bagian harta warisnya. Anak itu bandel, ia memilih hidup poya-poya. Sang ayah tidak memperhitungkan lagi kerugian materi dan moral yang telah dilakukan anaknya. Dalam kegelisahannya, sang ayah merindukan anaknya pulang!

 

Meninggalkan 99 ekor dan mencari satu ekor yang hilang jelas berisiko. Risiko inilah yang justru menegaskan betapa seriusnya Allah mengasihi yang hilang. Risiko itulah yang ditunjukkan oleh Yesus yang sering kali disalah-pahami, ditolak, berusaha disingkirkan dan akhirnya benar-benar disingkirkan dengan cara keji: disalibkan!

 

Bayangkan Andalah domba nakal yang keluar dari kawanan, mengambil jalan sendiri, tersesat dan Anda tidak tahu dalam kondisi sangat-sangat berbahaya. Sekarang, Sang Gembala itu rela meninggalkan kawanan yang lain, yang jumlahnya sangat banyak demi menolong Anda. Anda ditemukan setelah Sang Gembala itu mencari dengan susah payah. Anda dirangkulnya, dipeluk dan dicium. Lalu, diangkat di pundaknya dan dibawa pulang. Kini aman! Sekarang, bagaimana perasaan Anda? Meminjam catatan Lukas 19, salah seorang dari kelompok orang berdosa, kepala pemungut cukai, Zakheus berdiri dan berkata, “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kuberikan empat kali lipat!” Hal senada diceritakan oleh Paulus kepada Timotius (1 Timotius 1:12-17). Paulus berkisah bahwa pada masa lalunya ia adalah seorang penghujat, seorang penganiaya dan ganas. Namun, bagai domba yang hilang, ia diraih oleh Kristus. Kini, Paulus bukan saja berhenti menjadi penghujat dan penganiaya, tetapi ia menjadi pelayan Kristus! Apa yang terjadi dengan Anda? Adakah sesuatu yang berubah ketika Yesus menyentuh hatimu? Ataukah seperti Farisi yang merasa baik-baik saja sehingga tidak ada kesediaan untuk berubah? 

 

Gereja sejatinya adalah kumpulan orang-orang yang telah merasakan sentuhan cinta kasih Allah yang rela menanggung risiko apa pun untuk menyelamatkan orang-orang berdosa. Dampaknya, gereja akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Kristus. Gereja tidak akan memelihara ruang nyamannya sendiri, tetapi ia berani menembus risiko untuk mencari yang hilang, berdosa dan dianggap sampah masyarakat. Sama seperti Yesus, Gereja akan memandang semua orang tidak ada yang hina namun berharga! Gereja yang benar, tidak terjebak hanya memelihara domba-domba yang baik dan gemuk saja. Namun, ia akan bahagia ketika ada banyak orang berdosa merasakan cinta kasih-Nya!

 

Jakarta, 11 September 2025, Minggu Biasa XXIV tahun C

Tidak ada komentar:

Posting Komentar