Kamis, 18 September 2025

MEMPERALAT KEBAIKAN

Perusahaan rokok raksasa itu akhirnya tumbang juga. Sebut saja namanya Pak Nanda, salah seorang yang terdampak pemutusan hubungan kerja. Dengan modal sedikit dari tabungan yang ada, Pak Nanda membuka sebuah warung kecil di depan rumahnya. Setiap pagi, sebelum warungnya dibuka, ia berdoa, katanya: “Tuhan, warung ini bukan milikku. Ini milik-Mu, ajari aku mengelolanya dengan bijaksana!”

 

Lambat-laun, warung Pak Nanda mulai terkenal karena kejujuran, barang yang bagus dan harga bersahabat dengan kantong para tetangganya. Timbangan beras selalu pas, tidak pernah kurang. Baik beras, terigu, kacang kedelai maupun kacang hijau baginya pantang dicampur dengan barang-barang sejenis yang mutunya jelek. Di telinganya masih terngiang bahwa pada zaman Nabi Amos, Tuhan sangat murka dengan praktik bisnis yang seperti ini!

 

Suatu hari, seorang ibu datang dengan muka yang memelas. Ia ingin membeli minyak goreng namun uangnya tidak cukup. Pak Nanda berkata, “Bawa saja dulu Ibu. Bayarnya kapan-kapan kalau sudah ada rezeki!” Ibu tetangga itu nyaris berlinang air mata. Terharu!

 

Lambat-laun warung Pak Nanda semakin ramai. Orang-orang memilih datang belanja ke warungnya itu karena pelayanan yang ramah dan harganya wajar. Meski ada saja yang memanfaatkan kebaikannya. Utang sulit dibayar, namun ia yakin Tuhan memberi berkat dengan cara lain. Perkembangan usaha warungnya makin maju. Pak Nanda mulai mempekerjakan pemuda putus sekolah untuk membantunya. Ia mau berbagi berkat dengan mereka. Ketika ditanya, mengapa Pak Nanda begitu murah hati, jawabnya singkat saja, “Saya hanya pengelola. Semuanya ini milik Tuhan. Tugas saya membuat warung ini menjadi berkat bagi orang lain!”

 

Bertahun-tahun kemudian, banyak orang di kampung itu bersyukur. Karena warung kecil Pak Nanda, mereka merasa terbantu, disayang, bahkan dikuatkan. Pak Nanda adalah seorang oikonómos yang setia kepada Tuhan. Tuhanlah Sang Pemilik, ia hanya pengelola!

 

Bila Pak Nanda membuka warung kecil-kecilan setelah terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun, tidak dengan oikonómos yang diceritakan dalam perumpamaan Yesus tentang bendahara yang tidak jujur itu. Ia bingung, mencangkul tidak kuat, mengemis malu. Akhirnya, ia punya cara jitu: memperalat kebaikan tuannya.

 

Oikonómos yang diceritakan Yesus adalah seorang pengelola atau manajer rumah tangga yang diberi kepercayaan untuk mengatur dan mengelola harta tuannya. Sayang, tuduhan miring menerpanya. Ini bukan sekedar tuduhan, tetapi nyatanya memang demikian. Oikonomos itu memboroskan harta tuannya untuk kepentingan diri sendiri. Kini, ia tidak lagi dipercaya oleh majikannya. Segera dipecat!

 

Sang tuan memintanya untuk segera menyiapkan laporan inventaris semua hartanya dan transaksi, utang-piutang yang dikelola sang oikonómos itu. Dengan begitu, sang tuan akan segera menggantikannya dengan orang yang dapat dipercaya. Keputusan sang tuan sudah definitif, tak ada lagi kompromi. Waktu yang tersisa hanya sedikit, yakni menyiapkan seluruh laporan dan berkemas meninggalkan rumah majikannya!

Sang oikonómos membayangkan masa depan suram sudah menantinya. Dalam gundah-gulana ia mulai termenung. Bukankah biasanya demikian, orang baru termenung, sadar ketika keadaan sudah genting. Mentok! Ini sama dengan kisah-kisah lain yang terekam dalam Injil Lukas, seperti kisah tentang orang kaya yang bodoh, si bungsu yang berfoya-foya dengan harta warisan bapaknya, hakim yang tidak adil dan kini, si bendahara pun termenung.

 

Si bendahara ini memang orang yang curang. Ia malah tidak berusaha untuk membela diri. Meski demikian, rupanya sang majikan tidak menyeretnya ke pengadilan. Ia tidak dituntut, tidak diperiksa, dan tidak dipenjarakan! Baik benar ini sang tuan. Meskipun sang oikonómos itu terbukti menggasak harta kekayaannya, sang tuan hanya ingin dia angkat kaki!

 

Hanya tersisa sedikit waktu. Ia tahu kekuatan dirinya, maka tidak mungkin bekerja mengandalkan fisiknya yang mulai renta. Dan ia juga masih punya harga diri untuk mengemis. Satu-satunya yang tersisa adalah memanfaatkan kebaikan yang masih ia genggam. Ia ingin hidupnya aman dan terjamin. Ia tahu kemalangan akan segera terjadi jika tidak ada orang lain yang mau membantunya. Kini, ia berbuat apa saja, supaya kelak mendapatkan “teman”. 

 

Kini, akal bulusnya mulai dieksekusi. Ia memanggil banyak debitur, tetapi dalam kisah ini hanya ditampilkan dua orang saja. Ia bertindak, selama para debitur itu belum tahu bahwa dirinya sudah dipecat. Orang-orang yang berhutang itu percaya saja bawa sang oikonómos itu masih orang kepercayaan tuannya. Sang oikonómos mulai mengobral kebaikan tuannya. Bayangkan, ia mendiskon besar-besaran. Utang orang pertama dikurangi separuh, sebanyak 2.250 liter minyak. Utang orang kedua dikurangi 20 persen. Menurut perhitungan para ahli, kedua orang yang berhutang itu mendapat reduksi sebesar 600 dinar, artinya gaji imbalan selama 600 hari buruh bekerja!

 

Apakah sang tuan tidak tahu kelicikan si oikonómos ini? Tentu saja tahu! Setelah sang bendahara itu menyerahkan semua surat-surat hutang dan pelunasannya, majikannya punya dua kemungkinan dalam bertindak. Pertama, memanggil kembali semua orang yang berhutang kepadanya. Hitung ulang, ia bisa menuntut tentang kecurangan yang terjadi. Lalu, meniadakan semua potongan-potongan yang dilakukan oleh bendahara culas itu. Kedua, sang tuan tidak berkata apa-apa. Ia tutup mata dengan tindakan anak buahnya itu sebagai orang yang berpengertian.

 

Mari kita Analisa, jika sang tuan mengambil sikap yang pertama, maka sukacita orang-orang yang berhutang karena mendapat pengurangan itu akan berubah menjadi kebencian terhadap dirinya. Tetapi, andai ia mengambil sikap kedua, baik dia maupun si bendahara itu akan disenangi oleh masyarakat. Sang tuan memilih mengambil sikap kedua. Sebagai pebisnis, ia tidak mau mempekerjakan bendahara culas itu. Meskipun demikian, ia menyatakan rasa kagumnya terhadap kecerdikannya itu. Ia tahu bahwa si bendahara itu memanfaatkan kebaikannya, dan berhasil! Ia berlaku cerdik, dalam hal mengamankan masa depannya.

 

Apakah moralitas si bendahara itu ideal, sehingga dijadikan cerita contoh oleh Yesus? Mengapa Yesus tidak mencela kecurangan bendahara yang jelas-jelas korup itu? Ya, tampaknya Yesus kali ini tidak berminat untuk mengajari orang supaya tidak korup. Yesus ingin para pendengarnya, termasuk kalangan Farisi yang oleh Injil Lukas sering kali dikelompokkan pada hamba uang, untuk menyadari tentang keadaan kritis dan tidak banyak waktu yang tersisa. Orang yang sedang berada dalam keadaan kritis, akan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya. Bahwa orang sering akhirnya – karena panik – memilih jalan yang salah, adalah masalah lain yang tidak di bahas di sini. Kecekatan sang oikonómos menjadi inspirasi bagi umat Kristen untuk tampil cekatan di bidang yang sangat spesifik bagi mereka, yakni dalam melaksanakan amanat Injil. Yesus dan karya-Nya punya dimensi eskatologis. Dimensi inilah yang harus ditanggapi dengan kemendesakan. Tidak banyak waktu untuk menyongsong hari Tuhan!

 

Setiap kita dituntut untuk mengamankan masa depan yang sesungguhnya, yaitu hidup kekal dengan cara melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. Kepada kita Tuhan mempercayakan untuk mengelola “aset” yang sangat berharga, yakni benih-benih Kerajaan Allah! Kita bukan pemilik atau penguasa atau Sang Tuan. Ibarat Pak Nanda, kita adalah pengelola warung kecil itu. Tuhan tidak menilai untung – rugi hidup kita, tetapi kesetiaan dan dampak berkat bagi sesama di mana kita hadir. Menjadi oikonómos berarti sadar bahwa hidup ini titipan dan harus dipakai untuk memuliakan Tuhan!

 

Jakarta, 18 September 2025, Minggu Biasa XXV Tahun C

Tidak ada komentar:

Posting Komentar