Robert Jaffray Sr. adalah seorang pengusaha sukses dan pemilik surat kabar terkenal di Kanada, The Globe,yang merupakan cikal bakal dari koran The Globe and Mail yang masih terbit sampai hari ini. Ia ingin mewariskan bisnis keluarga dan kekayaannya kepada sang anak. Segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan matang. Sayang, sang pemuda itu menolak!
Robert Alexander Jaffray yang lahir pada 1873 di Toronto, Kanada punya pilihan lain. Getaran panggilan dalam jiwanya terus berdengung kuat. Sejak muda Robert merasa Tuhan memanggilnya bukan sebagai pebisnis, melainkan misionaris. Tentu saja sang ayah menolak keras!
Pilihan Robert sempat membuat hubungan ayah-anak itu tegang. Sebab, Sang ayah merasa putranya mencampakkan masa depan yang sudah dipersiapkannya. “Kau akan menghancurkan masa depanmu! Kau melepaskan warisan keluarga ini untuk sesuatu yang bodoh! Robert dengan tenang menjawab bahwa ia tidak dapat mengabaikan suara Tuhan. Ia memilih jalan salib, meski dengan itu ia kehilangan dukungan keluarganya untuk sementara waktu.
Sejak saat itu Robert menyiapkan diri menjadi misionaris. Ia pergi ke Tiongkok lalu melanjutkan pelayanan ke Makassar, Sulawesi. Di sana ia melihat ada ribuan orang yang belum mengenal Kristus. Dengan hati yang terbakar oleh kasih, ia mendirikan sekolah Alkitab, melatih pemuda-pemudi lokal untuk dapat memberitakan Injil. Banyak dari mereka kemudian pergi ke Toraja, Kalimantan dan Papua. Robert Alexander Jaffray meninggal pada tahun 1945 di kamp interniran di Makassar. Namun, warisannya tidak mati – sekolah Alkitah STT Jaffray yang ia dirikan terus mencetak murid-murid Kristus sampai hari ini!
Yesus pernah berkata kepada orang banyak yang berbondong-bondong mengikuti-Nya, “Jikalau seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci ayahnya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Lukas 14:26).
Sepintas, ajaran ini aneh. Mengapa Yesus yang selalu mengajarkan cinta kasih dan pengampunan, tiba-tiba meminta pendengarnya untuk membenci orang-orang terdekat dalam kehidupan mereka, yakni anggota-anggota keluarganya sendiri! Bagaimana mungkin ini terjadi? Kisah pergumulan Robert Jaffray dengan ayahnya setidaknya menolong kita memahami kata “membenci” yang disampaikan Yesus. Kata membenci disini bukan mengajarkan kepada para murid untuk tidak menyukai atau memusuhi keluarganya. Tetapi, kata ini mau menjelaskan tentang prioritas utama atas sebuah pilihan. Robert lebih memilih mencintai Tuhan dan panggilan-Nya ketimbang meneruskan bisnis keluarganya. Dalam kasus ini, Robert bukanlah seorang yang membenci rancangan dan bisnis yang dirintis oleh ayahnya. Ia juga bukan orang yang anti dengan kemapanan, uang dan kekayaan. Namun, bisa jadi atas pilihannya itu orang-orang melihatnya ia “membenci” semua yang disiapkan oleh ayah dan keluarganya!
Berangkat dari kekaguman yang sama, seseorang bisa memutuskan untuk menjadi pengikut atau murid. Dalam perjalanan menuju Yerusalem itu, Yesus telah menjadi sosok tenar yang selalu diikuti oleh orang banyak. Mereka kagum untuk setiap kata pengajaran penuh kuasa dan mukjizat-mukjizat dahsyat yang dilakukan-Nya. Tampaknya Yesus paham motivasi orang banyak yang berada di sekitar-Nya. Mereka bukanlah orang-orang yang berniat menjadi murid seperti yang Ia harapkan. Maka, tidaklah mengherankan kalau kali ini Yesus berkata “keras” agar mereka mengerti apa artinya menjadi seorang murid. Melalui perumpamaan tentang seseorang yang ingin mendirikan sebuah menara, maka orang ini harus merencanakan apakah uangnya cukup atau tidak supaya nantinya tidak dipermalukan dan perumpamaan tentang raja yang harus berhitung dahulu sebelum berperang, Yesus mengajak para pendengar-Nya untuk berpikir ulang ketika mereka mau mengikut dan menjadi murid-Nya. Yesus sama sekali tidak menjanjikan kemudahan!
Seorang mathētēs (murid) tidak hanya akoloutheō (mengikut secara fisik), tetapi ia harus mathēteuo (menjadi murid yang belajar), bersedia menerima didachē (ajaran), dan hidupnya berubah berkat pembelajaran itu sehingga menjadi mimesis, yakni meniru prilaku Sang Guru, yakni Yesus Kristus. Dengan kata lain, seorang murid Yesus adalah orang yang mau belajar, mengikuti dan meneladani perilaku-Nya kemudian hidupnya diubahkan. Sedangkan followers biasanya berhenti pada euforia akoloutheō tanpa mau melangkah masuk pada proses belajar dan mengalami transformasi perilaku yang akan mengubah apa yang diperjuangkannya.
Transformasi seorang murid tampak dalam diri Robert Alexander Jaffray. Ia meneladani Kristus, mau menempuh jalan sengsara. Konfliks dengan Sang Ayah tidak membuatnya benar-benar membenci apalagi memutuskan relasi ayah-anak. Namun, ia jadikan sebagai amunisi yang membakar dirinya untuk sungguh-sungguh mengerjakan misi tepat seperti apa yang dijalani Yesus yang berjalan menuju Yerusalem itu. Beberapa sumber biografi mencatat bahwa setelah meninggalkan Kanada dan mulai melayani di ladang misi, Robert sungguh-sungguh mengerjakan tugas panggilan itu baik. Sang ayah perlahan-lahan melihat keteguhan iman anaknya. Selanjutnya, ketika membaca dan mendengar buah pelayanan Robert melalui karya tulis dan dampak misi di Tiongkok, selanjutnya di Makassar – hati Sang ayah mulai luluh. Ada sebuah kesaksian bahwa Sang ayah akhirnya menerima pilihan Robert dan menghormatinya, bahkan memberi dukungan finansial pada beberapa proyek misi Robert.
Tranformasi sorang murid mempunyai dampak. Ya, dampak itu terciptanya pemulihan relasi. Keteguhan dan keseriusan Robert dalam memaknai panggilan Tuhan berdampak pada luluhnya hati Sang ayah. Ini membuat jalan rekonsiliasi terjadi. Transformasi Paulus ketika menjadi murid Yesus sangat jelas. Hidupnya berdampak pada orang-orang yang mengenalnya. Inilah yang memudahkannya meminta Filemon untuk bersedia memulihkan Onesimus sebagai orang merdeka. Transformasi memungkinkan rekonsiliasi terjadi!
Robert telah memilih yang terbaik; menanggapi suara panggilan Tuhan untuk menjadi murid-Nya. Meskipun hubungan awal tegang, mereka berdamai sebelum Sang ayah meninggal. Kisah ini mengingatkan janji Yesus, “Setiap orang yang karena Aku meninggalkan rumahnya, saudara-saudaranya,… akan menerima kembali seratus kali lipat di dunia ini.” (Markus 10:29,30).
Sama seperti dahulu Musa memperhadapkan umat Allah pada dua pilihan: kehidupan atau kematian. Pada awalnya, ketika seseorang memilih kehidupan, akan berhadapan dengan masalah pelik. Namun, percayalah bahwa jalan ini akan menuju kepada kehidupan yang sebenarnya. Benar Musa tidak menginjak tanah perjanjian yang dijanjikan Tuhan kepada Abraham, leluhurnya. Namun, ia telah membuka jalan agar umat itu mengalami kehidupan yang dibebaskan dari penderitaan.
Sekarang, jika Anda diperhadapkan dua pilihan: Menjadi seorang murid sejati atau hanya sekedar pengikut, followers? Mana yang akan Anda pilih?
Jakarta, 4 September 2025, Minggu Biasa XXIII, Tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar