Makanan bergizi gratis (MBG) belakangan ini marak menjadi pembicaraan. Program mulia pemerintah untuk mengatasi masyarakat kelompok rawan gizi, khususnya anak-anak sekolah menyita banyak perhatian bukan karena anggarannya begitu besar sehingga harus memangkas pos-pos anggaran lainnya, tetapi juga banyaknya anak-anak yang harus dirawat karena keracunan makanan bergizi itu!
Kepedulian yang seharusnya bukan untuk popularitas politik penguasa, namun semata-mata untuk menjembatani kesenjangan gizi berubah menjadi berita yang tidak sedap. Ya, negeri ini terlalu banyak kesenjangan. Ada kelompok yang over gizi, kelebihan gizi dalam tubuhnya sehingga mengundang pelbagai penyakit. Di pihak lain, ada kelompok yang menderita karena kurang gizi. Di antara keduanya tidak jauh, tetapi terdapat jurang menganga yang lebar dan dalam.
Layaknya kota-kota niaga dunia, Efesus pada zamannya adalah kota dengan stratifikasi sosial ketat dengan perbedaan ekonomi mencolok. Bahasa kiwarinya, kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebar dan dalam! Orang kaya dengan pengaruh besar, meski hidup begitu dekat dan melekat dengan para jelata, sesungguhnya terdapat jurang yang begitu lebar dan dalam. Dalam relasi mereka hampir-hampir tidak bersentuhan, kecuali dalam transaksi bisnis yang sifatnya eksploitatif terhadap si jelata. Ya, pemanfaatan tenaga murah!
Tak dipungkiri, kondisi ini menimbulkan ketimpangan dan ketegangan yang membuat masyarakatnya tergoda untuk hidup dalam keserakahan dan ketamakan, persaingan materi, fleksing, yang pada akhirnya menyuburkan ketidakadilan sosial. Orang berlomba-lomba ingin berkuasa, sebab dengan kuasa itu dapat membuat kebijakan sesuka hati yang menguntungkan dirinya, dan hidup dalam kemewahan. Uang pegang kendali, nurani dan akal sehat harus dipaksa rehat!
Melalui Timotius, Paulus menulis untuk mengingatkan jemaat agar tetap menjaga kesalehan, hidup tidak tamak, serta pentingnya rasa cukup dalam hidup, agar hidup dapat dinikmati dengan benar dan tidak terperangkap dalam dosa dengan mencintai uang. Rasa cukup yang dimaksud Paulus adalah autarkeia, yang bermakna kepuasan diri – bukan dalam arti negatif – bebas dari kemelekatan terhadap hal-hal duniawi dan kemampuan untuk mencukupkan diri dengan apa yang ada. Autarkeia adalah sikap hati yang merasa puas dengan apa yang dimiliki, tanpa keinginan menjadi rakus dan tamak terhadap kekayaan dan uang. Kata ini bisa diartikan sebagai self-satisfaction (kepuasan pribadi), contentedness (Kepuasan batin), dan competence(kemampuan atau kemandirian). Dalam konteks nasihat Paulus kepada Timotius tentang rasa cukup, menandakan kebebasan dari nafsu keserakahan sehingga seseorang memiliki ketenangan batin yang berasal dari iman terhadap pemeliharaan Allah, bukan dari kepemilikan materi yang melimpah!
Tanpa autarkeia (rasa cukup), seseorang akan terjebak dalam ketamakan, kerakusan dan keserakahan. Ia akan mencintai uang lebih dari apa pun. Akibatnya, menjerumuskan orang tersebut pada banyak kesulitan dan dosa. Sebaliknya, autarkeia adalah kunci untuk hidup merdeka secara rohani atau spiritual dan berkenan kepada Tuhan. Hanya orang-orang dengan autarkeia-lah yang dapat membangun jembatan antara jurang yang lebar dan dalam dari si kaya dan si miskin. Selama rasa cukup belum mendapat tempat di hati seseorang, pembicaraan tentang menjembatani antara si kaya dan si miskin hanyalah omong kosong belaka!
Paulus, dan saya kira Yesus pun tidak melarang seseorang menjadi kaya. Kuncinya adalah pengendalian hati. Orang kaya harus diingatkan bahwa mereka perlu berbuat baik. “Menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi…” Menjadi kaya dalam kebajikan berarti kekayaan yang ada pada dirinya bukan hanya untuk kepentingan, pemuasan nafsu sendiri, bermegah dan pamer kekayaan, melainkan digunakan untuk perbuatan baik, menunjukkan kemurahan hati dan berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Kaya dalam kebajikan melibatkan karakter hidup yang mengintegrasi kekayaan dengan nilai moral seperti keadilan, kasih, kesabaran dan kemurahan hati. Orang yang mempunyai hati autarkeia akan menggunakan kekayaan sebagai alat untuk melayani, memperkuat solidaritas sosial, dan menjadi berkat bagi orang lain. Inilah jembatan yang diperlukan bagi kesenjangan sosial si kaya dan si miskin!
Sayang, tidak banyak orang yang bersedia mengisi ruang hatinya dengan autarkeia. Tidak ada bedanya antara Efesus pada zaman Paulus dengan Jakarta pada masa kini. Si kaya dan si miskin begitu dekat namun, jurangnya begitu dalam dan lebar! Si kaya dan si miskin hanya sebatas jendela kaca mobil atau sekat etalase toko namun, tak ada hati yang tergugah apalagi terenyuh dan terulur.
Secara fisik, nyaris tak ada jarak antara Lazarus dan Orang kaya. Lazarus yang badannya penuh borok biasa duduk meminta-minta di depan pintu rumah orang kaya itu. Ia menghilangkan rasa laparnya dari remah yang jatuh dari meja orang kaya itu. Ini menandakan kesenjangan sosial dan dehumanisasi yang dialami kaum jelata. Mereka dianggap tidak layak untuk menikmati makanan secara wajar sebagai manusia. Bahkan, ia setara dengan anjing yang menjilati boroknya, makan remah yang jatuh dari meja orang kaya itu. Dan, orang kaya itu sama sekali tidak punya hati. Ia tidak peduli!
Kebanyakan orang Yahudi percaya tentang kehidupan setelah kematian. Setelah kematian, seseorang akan berada di sheol, tempat penantian roh. Di sinilah terdapat pembagian bagi orang benar akan berada dalam “pangkuan Abraham” dan tempat yang mengerikan, penuh penderitaan yang diperuntukkan bagi orang-orang berdosa. Orang kaya itu dimasukkan dalam tempat penuh penderitaan, ia dihukum bukan karena korupsi dan kaya. Ia dihukum karena sama sekali tidak peduli dengan Lazarus yang menderita itu, meski ada di depan matanya.
Melalui perumpamaan ini, Yesus mengkritik tajam struktur sosial yang timpang dan ajakan untuk hidup berbelas kasih serta penuh kepedulian terhadap sesama, utamanya yang menderita. Melalui perumpamaan itu, Yesus menegaskan bahwa kekayaan bukan tujuan, melainkan sarana yang dapat digunakan untuk menyatakan kasih terhadap sesama. Ini bukan soal kekayaan itu didapat dengan cara baik-baik atau tidak. Namun, ini perkara hatimu peduli atau tidak. Ketika itu tidak ada rasa peduli terhadap sesama yang menderita, bagi Yesus ini sama berdosanya dengan tindakan dosa-dosa lainnya!
Kesenjangan antara si kaya dan si miskin tampaknya akan terus ada. Ini bukan hanya masalah bagi pemerintah atau lembaga-lembaga sosial saja. Namun, menuntut kepedulian semua orang, siapa pun termasuk gereja. Gereja tidak hidup untuk dirinya sendiri. Namun, ia hadir untuk menyatakan bela rasa Allah khususnya bagi para jelata, miskin, tertindas dan terlupakan. Gereja tidak boleh menciptakan rasa nyaman sendiri. Meminjam peringatan Amos yang menggelitik umat Tuhan yang merasa nyaman dengan tempat ibadahnya di Sion atau di gunung Samaria yang berbaring dalam menara gading kemewahan. Mereka akan dibawa pada penghakiman ilahi. Mereka celaka oleh karena melanggengkan kemiskinan terstruktur terus terjadi untuk menjamin kenyamanan hidup dalam kemewahan!
Yesus, Sang Kepala Gereja mengajak kita semua untuk memikirkan, berencana, berbuat dan meneruskan kepedulian Ilahi kepada mereka yang papa, rentan dan menderita. Ia mengajak kita tidak mengutuk kemiskinan dan penderitaan, tetapi membangun jembatan kepedulian. Jembatan itu dapat terwujud apabila masing-masing kita mempunyai rasa cukup, autarkeia, sehingga tidak menjadi hamba uang. Melainkan, mendistribusikan kasih Allah itu kepada sesama!
Autarkeia mengajar kita untuk tidak hanya merasa cukup hingga dapat berbagi dan peduli terhadap orang lain, tetapi juga mengendalikan kita untuk tidak menjadi orang yang paling menderita. Hati yang merasa cukup akan memelihara kita tidak iri terhadap orang lain, tetapi yakin bahwa Tuhan memelihara kita!
Jakarta, 24 September 2025. Minggu Biasa XXVI, Tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar