Kemuliaan berasal dari kata “mulia”, yang berarti tinggi martabatnya, luhur, agung, dan terhormat. Kemuliaan berarti keadaan atau kualitas hidup mulia. Dalam bahasa Ibrani kata kābôd menggambarkan keadaan mulia itu, yakni berbobot, berkualitas, bernilai, penuh kehormatan. Pada umumnya digunakan untuk melukiskan hadirat Allah yang penuh kuasa dan keagungan. Manusia mulia berarti mencerminkan keagungan Allah, gambaran yang setara dengan kata Yunani dōxa yang mencakup kemegahan, kehormatan, pujian, kebesaran. Kemuliaan adalah puncak kehormatan atau keluhuran yang diakui orang lain.
Semua orang ingin diri dan hidupnya mulia. Namun, setiap orang mempunyai sudut pandang, cara menggapai dan memberi makna pada kemuliaan itu. Ada yang memaknai kemuliaan itu sebagai sebuah sanjungan dan penghormatan. Atas dasar itu mereka mencari-cari cara agar orang lain menghormati dan menyanjungnya. Cara ini relatif instan, namun bukan berarti bebas biaya. Ada ongkos yang harus dibayar untuk membuat citra diri terhormat di hadapan publik. Anda pasti tahu cara itu!
Tidak sedikit pula yang berjuang agar hidup menjadi mulia dengan cara menggali hakikat kemuliaan itu. Mereka menyadari siapa dirinya dan untuk apa mereka diciptakan. Mereka akan berupaya untuk membuat dirinya berkualitas, punya nilai, bermanfaat bagi sesamanya serta mencerminkan kemuliaan Allah. Mereka tidak akan tergoda untuk mengejar kemuliaan, apalagi kemuliaan semu. Kemuliaan dan penghormatan akan datang dengan sendirinya ketika seseorang membuat dirinya berkualitas, bernilai dan bermanfaat.
Di sepanjang zaman manusia bergulat memaknai, mencari dan mewujudkan hidup yang mulia. Pergulatan itu terus bergulir penuh dinamika. Manusia selalu dan selalu berebut tempat kehormatan. Yesus pun prihatin melihat manusia berlomba meminta dihormati. Suatu Sabat, Yesus datang ke rumah salah seorang pemimpin Farisi. Tentu saja, Yesus hadir karena diundang makan. Orang-orang mengamat-amati-Nya. Bisa jadi mereka bertanya-tanya siapakah gerangan orang ini sehingga pemimpin mereka mengundang-Nya untuk makan bersama. Atau, mereka kagum bahwa Guru yang tenar ini ada tepat di hadapan mereka. Yang jelas, Yesus pun melakukan hal yang sama. Ia duduk dan mengamati tetamu yang hadir dalam jamuan makan itu!
Yesus melihat tetamu yang datang berebut tempat duduk terhormat. Inilah kesempatan bagi-Nya untuk menasihatkan para murid untuk tidak memilih tempat utama, atau tempat duduk untuk orang-orang terhormat. Yesus menyarankan mereka untuk memilih tempat duduk di barisan “kelas kambing”. Pada zaman Yesus, makan bersama bukan soal makanan, melainkan ajang unjuk status sosial dan kehormatan. Orang Yahudi sangat memerhatikan hierarki tempat duduk dalam perjamuan. Semakin dekat dengan tuan rumah, semakin tinggi kehormatannya. Saat yang tepat bagi Yesus untuk menegur budaya gengsi dan adu status sosial yang merusak relasi antar manusia.
Yesus mengajar, bukan manusia atau status sosial yang menentukan kehormatan sejati, melainkan Allah sendiri. Ini merupakan kritik pedas atas sikap ambisius dan haus pengakuan dalam kehidupan sosial maupun rohani. Yesus mengajarkan bahwa dalam Kerajaan Allah setiap orang yang merendahkan diri akan ditinggikan dan barang siapa meninggikan diri akan direndahkan! Penting untuk kita sadari bahwa merendahkan diri berbeda dengan rendah diri. Merendahkan diri (Yunani: tapeinoō) berarti menempatkan diri dengan rendah hati, tidak meninggikan diri sendiri, tidak merasa lebih hebat, lebih mulia dan terhormat dari orang lain. Sedangkan rendah diri adalah sikap minder dan tidak menolak mengakui kelemahan diri.
Yesus menantang pola umum yang sudah terbiasa terjadi dalam masyarakat. Pesta biasanya hanya mengundang orang-orang yang bisa membalas dengan mengundang balik. Yesus mengajarkan untuk mengundang orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh, dan orang-orang buta di mana mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalas (Lukas 14:13). Inilah kerendahan hati dan ketulusan dalam berbuat kasih yang akan memunculkan kemuliaan yang sesungguhnya. Kemuliaan itu akan hadir tanpa diundang ketika kasih bukan lagi transaksional, melainkan relasi. Kasih sejati ditujukan bagi mereka yang lemah, miskin, papa, dan tersisih. Inilah yang mencerminkan kasih Allah. Bukankah kemuliaan sejati itu hanya milik Allah sendiri. Ketika Anda melakukan kasih seperti tindakan Allah yang mengasihi maka, kemuliaan sejati itu akan terpancar dalam diri Anda, karena kasih tanpa pamrih itu adalah cerminan hati Allah yang merangkul mereka yang terpinggirkan!
Di permukaan kita melihat Kerajaan Allah seolah berbanding terbalik dari logika dunia: Yang kecil ditinggikan, yang hina dihormati, dan yang tak berdaya menjadi prioritas. Namun, mari kita kaji lebih dalam lagi. Bukankah, mereka yang terus-menerus mengejar status, posisi, jabatan dan pujian justru pada akhirnya tidak benar-benar mendapatkannya. Bahkan kehilangan semuanya, kehilangan kemanusiaannya yang adalah gambaran kemuliaan Allah? Dan, bukankah orang-orang yang rendah hati, bersedia merendah dan hidup dengan cinta kasih tulus pada hakikatnya mereka yang berhiaskan kekudusan dan kemuliaan Allah? Jadi, sebenarnya logika yang rohani maupun sosial yang ditawarkan Yesus tidak berbanding terbalik. Hanya kita saja yang melihatnya terbalik. Yesus sedang memperbaiki yang terbalik itu!
Ajaran Yesus tidak pernah usang. Gereja dipanggil bukan hanya melayani yang “mampu membalas”, tetapi terutama mereka yang miskin, tersisih, terpinggirkan, dan tidak mempunyai apa-apa. Gereja harus memahami bahwa ketika ia menyambut dan melayani mereka berarti sedang menjamu malaikat-malaikat Tuhan! “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.” (Ibrani 13:2).
Gereja adalah Anda dan saya. Jadi, tidak ada alasan buat para pengikut Kristus untuk mencari-cari panggung kemuliaan. Murid Yesus tidak akan melakukan itu, apalagi melalui cara-cara yang dibenci Tuhan; korupsi, penindasan dan ketidakadilan! Kemuliaan hidup tidak diukur dengan banyaknya uang dan kekuasaan, “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: ‘Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibrani 13:5). Jangan takut untuk tidak dihormati orang-orang di sekelilingmu. Jangan gelisah jika hari ini engkau tidak menduduki tempat terhormat. Takut dan gelisahlah kalau engkau menahan cinta kasih Allah dan menikmatinya sendiri tanpa peduli terhadap sesamamu!
Jakarta, 29 Agustus 2025 Minggu XXII, tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar