Kamis, 12 Desember 2024

SUKACITA DALAM PERTOBATAN

“Tumornya sudah berhasil kami angkat! Kami membersihkan semua akar dan jaringannya. Dalam waktu dekat pemulihan akan terjadi. Nyeri pada tangan, pundak, dan kelemahan otot-otot penggerak itu terjadi akibat hemangio blastoma yang bersarang pada cervical 2. Sekarang, tumor itu sudah kami bersihkan, segera akan pulih!” Berita baik itu disampaikan seorang dokter bedah syaraf kepada pasien dan keluarganya. Tentu saja tidak hanya Si Pasien, segenap keluarga dan kerabat larut dalam kegembiraan. Meski Si Pasien masih berada dalam ruang ICU untuk pemulihan, mereka sudah merasakan sukacita sebab akar masalah dari sakit penyakit itu telah berhasil diangkat dan energi pemulihan itu mulai terasa!

 

Berita pemulihan yang dibawa oleh Zefanya seakan menegaskan bahwa pembaruan yang dilakukan oleh Raja Yosia adalah cara yang tepat untuk mengangkat “sakit penyakit” Yehuda yang menyebabkan mereka terpuruk dan berada dalam murka Allah. Benar, bahwa pemulihan itu belum sepenuhnya terjadi. Namun, setidaknya tanda-tanda perbaikan dan pemulihan relasi umat dengan TUHAN mulai menemukan titik terang. Maka, tidaklah berlebihan kalau Zefanya mengajak umat TUHAN itu untuk, “Bersorak-soraklah, hai Putri Sion, bersorak-soraklah, hai Israel! Bersukacitalah dan bersukarialah dengan segenap hati, hai Putri Yerusalem! TUHAN telah menyingkirkan hukumanmu…” (Zefanya 3:14-15).

 

Tentu saja ajakan bersukacita itu ditujukan bagi mereka yang menyambut ajakan pertobatan. Sebelumnya, begitu berulang kali Zefanya mengingatkan akan kedatangan hari TUHAN dan penghukuman bagi umat itu atas dosa dan pelanggaran yang mereka perbuat. Wajar, kalau Sang Nabi begitu gencar mengingatkan bangsanya untuk bertobat. Sebab, sudah begitu gamblang kedurjanaan yang diperlihatkan oleh bangsa itu. Akibatnya, mereka berada di bawah penghukuman. Bentuk penghukuman itu mulai nyata dengan adanya tekanan dari Asyur yang nyaris melumat habis bangsa itu. 

 

Zefanya masih mengingat dosa dan kekejian yang dilakukan oleh ayah dan kakek Raja Yosia. Manasye, sang kakek dikenal sebagai raja yang paling jahat di antara raja-raja Yehuda. Apa sih kejahatannya? Ia mendirikan mezbah-mezbah dan patung berhala di Rumah Tuhan. Ia bahkan mengurbankan anak-anaknya dalam api di Lembah Ben-Hinom. Ia melakukan nujum, ramal, dan sihir, menghubungi arwah dan roh peramal. Ia menyesatkan Yehuda dan seluruh penduduk Yerusalem sehingga mereka membelakangi TUHAN. Jelas, tidak hanya Manasye yang harus menanggung hukuman, melainkan seluruh umat itu harus menanggungnya!

 

Melalui Zefanya, TUHAN menyatakan bahwa Ia tidak menghendaki mereka binasa karena kebodohan mereka sendiri. Pertobatan adalah jalan terbaik untuk terhindar dari kebinasaan. Meskipun masih sangat muda belia – delapan tahun ia diangkat menjadi raja – Yosia mulai mencari TUHAN. Pada tahun kedelapan pemerintahannya, itu artinya ia baru berusia 16 tahun, Yosia sungguh-sungguh mencari TUHAN dan pada usia 20 tahun ia mentahirkan Bait Allah yang telah dicemarkan oleh kakek dan ayahnya. Itulah jalan pertobatan yang dilakukan Yosia. Mereka menanggapi seruan pertobatan yang didengungkan Zefanya dengan bersukacita. Sukacita karena “sakit penyakit” umat itu telah diangkat dan fajar yang baru mulai merekah. Sukacita ini mereka wujudkan dengan pembersihan berhala, pembaruan komitmen dan hidup dalam komitmen di jalan TUHAN.

 

Seruan pertobatan yang sama didengungkan oleh Yohanes Pembaptis sebagai cara yang terbaik untuk menyambut kedatangan Sang Mesias. Tentu saja pertobatan bukan sekedar bersedia masuk ke sungai Yordan dan dibaptiskan, melainkan menyatakannya dalam praktik hidup sehari-hari. Pertobatan itu adalah awal dari sebuah komitmen. Selanjutnya, mereka harus benar-benar membenahi kehidupan mereka. Bukan dengan terpaksa, melainkan dengan sukacita. Mengapa? Sebab, mereka akan menjumpai hidup yang berkualitas dan hidup yang sesungguhnya. Hidup terbebas dari murka Allah!

 

Dalam Injil Lukas, seruan pertobatan itu disambut gembira oleh mereka yang mendengarnya. Sambutan ini sama seperti sambutan ketika Zefanya menyerukan pertobatan. Raja Yosia dan rakyatnya menyambut dengan sukacita. Sambutan itu dinyatakan dalam kesediaan untuk mengubah prilaku mereka. Bagaimana dengan kita? Apakah seruan pertobatan ditanggapi dengan sukacita dan dalam sukacita itu kita meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, lalu berbalik kepada Allah dengan mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya?

 

Dalam suasana sukacita menanggapi seruan Yohanes Pembaptis, umat bertanya kepadanya, “… jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” (Lukas 3:10). Tampaknya, Yohanes tahu percis apa yang terjadi dalam masyarakat. Yohanes menjawab dengan konkret apa yang harus mereka kerjakan. Ia tidak menuntut yang bukan-bukan. Ia tidak menyuruh orang memberi persembahan perpuluhan, puasa, atau doa semalam suntuk. Tidak! Yohanes menuntut agar rakyat yang sudah miskin itu tetap memperhatikan dan peduli kepada mereka yang lebih miskin lagi. Yohanes mengajarkan mereka untuk tidak egois, tetapi dapat saling berbagi satu dengan yang lain. Pertobatan adalah munculnya rasa peduli terhadap sesama!

 

Kepada para pemungut cukai, mereka yang bekerja sama dengan penjajah dan berpeluang dalam posisi jabatan mereka untuk dapat mengeruk keuntungan dengan memeras dan memanipulasi laporan pajak. Yohanes meminta agar mereka tidak menagih lebih dari apa yang sudah ditentukan. Menarik di sini, Yohanes tidak menyuruh mereka berhenti menjadi pemungut cukai. Mengapa? Andai mereka berhenti, tentu saja pihak kaisar dapat menunjuk orang lain untuk tugas itu. Dan, orang lain yang belum bertobat, jelas akan menggunakan kesempatan ini untuk memperkaya diri sendiri. Bertobat berarti bertanggung jawab atas tugas yang diemban dan tidak menyalah-gunakan tanggung jawab, alih-alih menjadi contoh dalam hal tugas tanggung jawab. Pertobatan adalah perkara bertanggung jawab dan dapat dipercaya!

 

Kepada para prajurit, yakni mereka yang dipekerjakan oleh Herodes Antipas untuk menjaga ketertiban, mereka diminta untuk tidak menindas rakyat. Sangat mungkin dengan kekuasaan dan kelengkapan senjata, prajurit dapat mengintimidasi, menindas dan memeras rakyat. Yohanes sangat yakin, bahwa gaji mereka cukup untuk penghidupan yang layak. Maka pertobatan adalah upaya mensyukuri berkat Tuhan melalui gaji yang diterima dan tidak berlaku serakah!

 

Bagi Yohanes, pertobatan itu adalah perubahan gaya hidup. Hidup yang berorientasi pada diri sendiri berubah dengan kesadaran menjadi hidup yang berpusat pada Tuhan yang diterjemahkan dalam wujud kasih, kebaikan terhadap sesama, berlaku adil, bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Menjalaninya bukan dengan beban berat, tetapi dengan sukacita. Hidup yang seperti inilah yang diyakini oleh Paulus sebagai cara untuk menyambut kedatangan Tuhan yang telah dekat. 

 

Lebih jauh, Paulus mengingatkan kepada kita bahwa hidup sukacita dan perilaku yang dipenuhi oleh kebajikan adalah gaya hidup baru sebagai tanggapan umat yang telah menyatakan pertobatannya. Sehingga kalau dikatakan bahwa, “hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang..” (Filipi 4:5), ini bukan untuk pamer apalagi politik pencitraan, tetapi menjadi karakter, gaya hidup yang baru yang kemudian melahirkan sebuah reputasi dan orang melihatnya bahwa kita adalah orang-orang yang telah menerima anugerah pengampunan dari Allah!

 

Meski kedatangan-Nya tidak ada yang dapat meramalkan, namun sama seperti seorang pasien yang telah diangkat sakit penyakitnya, ia akan bersukacita dalam proses pemulihannya. Ia akan mengingat nasihat dokter dan memulai gaya hidup sehat. Kita pun bersukacita oleh karena melalui pertobatan, kita dipulihkan. Pemulihan itu yang membuat kita dapat hidup dalam sukacita, sehingga penantian dapat kita jalani dengan berjaga-jaga, melakukan apa yang dikehendaki-Nya.

 

Jakarta, 12 Desember 2024. Minggu Adven III (Gaudete) Tahun C

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar