Jean Vanier memberi tanggapan istimewa tentang prolog Injil Yohanes (Yohanes 1:1-18) sebagai berikut:
Inilah inti, pusat, awal dan akhir Injil:
Inti, pusat, asal dan akhir sejarah.
Allah, Allah yang abadi, Pencipta langit dan bumi, menjadi seperti kita, manusia lemah dan fana.
Ia menjadi bayi yang membutuhkan seorang ibu, dikandung dalam rahimnya, diberi makan oleh susunya, membutuhkan kasihnya dan kasih serta kehadiran Yusuf agar dapat hidup dan berkembang sebagai manusia.
Ia “tinggal di antara kita” – yang dapat juga diartikan: “Ia mendirikan kemah-Nya di antara kita”
Ia menjadi peziarah dan saudara,
berjalan melewati padang gurun bersama kita.
Ia menjadi bagian dari sejarah,
sambil menunjukkan jalan menuju Allah dan damai universal..
Melalui tanggapan Vanier, saya tersentak! Mengapa? Bukankah Dia, Sang Pencipta? Bukankah Dia Sang Mahakudus dan dunia ini begitu cemar? Terlalu suci Dia berada dalam kubangan dosa manusia! Okelah, Dia Mahakuasa, jadi bisa melakukan apa pun dalam konsep keilahian-Nya. Andai benar, Ia menjadi manusia itu hanya sekedar mengambil rupa, berperan dan menjelma sebagai manusia. Ini agaknya masih logis sama seperti kisah-kisah para penguasa bijak yang menyamar menjadi rakyat jelata agar ia benar-benar tahu percis apa yang dialami rakyatnya dan rakyat dapat menyerap dengan optimal serta termotivasi untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik.
Ini bukan sandiwara, bukan berpura-pura, Ia sungguh-sungguh menjadi manusia! Ia menjadi rentan, perlu orang tua, dan setelah dewasa menjalani kehidupan-Nya sama seperti rakyat jelata lainnya! Ia menjadi peziarah dan berjalan bersama kita melalui padang gurun dunia yang membentangkan tantangan bahaya, tetapi sekaligus juga fatamorgana. Ilusi yang dapat membuai setiap kita lupa diri bahwa sebenarnya kita adalah peziarah. Ia hadir dalam rentang sejarah dan menyejarah dalam kehidupan yang senyata-nyatanya.
Ia mempunyai nama: Yesus!
Ia juga mempunyai asal-usul yang sangat manusiawi. Seorang Yahudi, anak dari seorang ibu Yahudi, dididik secara Yahudi. Ia pergi ke sinagoge. Pada hari-hari pesta, Ia pergi ke bait Suci di Yerusalem untuk beribadah kepada Allah. Ia bisa marah karena ketidakadilan dan menangis karena duka dan kehilangan. Ia bisa lapar dan haus. Ia tidak bebas dari penderitaan bahkan derita itu adalah makanan-Nya sehari-hari. Oleh karena itu, Ia tahu keinginan kita, ia mengerti hasrat dan ambisi kita. Ia tinggal bersama kita, menjadi salah satu saudara dari kita!
Meski Ia menjadi manusia utuh dan saudara bagi kita, namun Ia adalah penunjuk jalan menuju Allah dan damai universal. Sang Terang, nama yang tepat! Ya, terang itu hadir dan menerangi rimba dunia yang banyak membuat orang tersesat dengan ilusi yang ditawarkannya. Hanya Dialah yang dapat menunjukkan jalan yang sesungguhnya: menuju Allah dan damai universal. Tidak mungkin keliru, sebab hanya Dialah yang dapat memberikan kesaksian siapakah Allah, karena Dia mengenal Allah secara sempurna, telah melihat Allah, berada bersama Allah dan ada dalam Allah. Hanya Dialah yang menunjukkan jalan menuju kesatuan dengan Allah.
Dia tinggal di antara kita agar kita tidak gelap mata, sadar sesadar-sadarnya untuk apa kita hidup dan mau ke mana arah tujuan hidup kita. Bagai dalam pengembaraan umat Israel di padang gurun, ada arah yang jelas karena tiang awan dan tiang api yang menjadi penolong mereka. Tidak hanya itu, Allah berkenan hadir dalam kemah-Nya sehingga langkah kaki mereka tidak tersesat.
Dia tinggal di antara kita, agar kita tahu, mengalami dan merasakan kasih-Nya!
Sayang, meski terang benderang Sang Firman itu diam di antara kita, tidak semuanya menerima. Tetap ada yang menolak, bukan saja karena tidak tahu tetapi juga karena tidak ingin Terang itu menyinari kehidupan mereka. Mereka kadung kepincut dan terjebak dalam ilusi gurun dunia ini.
Namun, mereka yang menyambut-Nya diberi kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Kuasa itu bukan hak istimewa menjadi manusia-manusia yang dibebaskan dari segala macam penderitaan dan selalu sukses dalam segala macam bidang kehidupan. Bukan itu! Diberi kuasa sebagai anak-anak Allah artinya diberi daya atau kemampuan yang dapat membawa perubahan signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Kuasa itu adalah kemampuan setiap orang percaya – yang disebut anak-anak Allah – yang semula hidup dalam kegelapan dan menjadi musuh Allah, kini mengalami hidup dalam terang dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dikehendaki Allah.
Hanya kuasa dari Allahlah yang dapat menolong setiap orang untuk melakukan seperti apa yang dicontohkan oleh Yesus, Sang Terang itu. Sebab, tidak mungkin seseorang dapat melakukannya tanpa diberi kuasa oleh Allah sendiri. Maka, sambutlah Dia yang telah tinggal di antara kita dengan sukacita!
Selamat Hari Natal, 25 Desember 2024. Tuhan memberkati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar