“Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Lihat, bapak-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Tegur Maria, sang bunda kepada Yesus.
“Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”Yesus menjawab keluhan sang bunda.
Orang tua mana yang akan tinggal diam ketika menyadari anaknya hilang?. Tiga hari! Mereka panik, bertanya kian kemari. Satu per satu sanak keluarga ditanya, setiap pelosok dilihat, berharap anaknya segera ditemukan. Akhirnya, sang anak ditemukan terlibat diskusi seru dengan para alim ulama di teras Bait Allah.
Saya kira teguran Maria, sang bunda terhadap Yesus kecil merupakan percakapan wajar. Anda pun pasti akan melakukan hal yang sama. Menjadi tidak wajar adalah jawaban Yesus. Ada nada mengelak untuk disalahkan, sedikit berargumen dan mengajari orang tua-Nya. Yusuf dan Maria seakan orang bodoh yang tidak tahu bahwa anak mereka harus berada dalam rumah Bapa-Nya. Jelas, mereka bingung dan tidak mengerti. Sama seperti kita, tidak mengerti: mengapa sanggahan Sang Anak ini, kemudian ditutup dengan kalimat, “Yesus makin dewasa dan bertambah hikmat-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Lukas 2:52)
Kalimat penutup yang menjadi kalimat tema kita hari ini, rasanya lebih pas dilekatkan pada sosok Samuel kecil. Ia anak nazar Hana yang doanya dikabulkan Allah. membayar nazar itu Hana dan Elkana menyerahkan Samuel kecil kepada imam Eli. Samuel kecil anak penurut. Kontras, berbanding terbalik dengan perilaku Hofni dan Pinehas. Maka sudah sepantasnya kalau penulis kitab Samuel mencatat, “Tetapi, Samuel yang masih muda bertambah besar dan makin disukai TUHAN dan manusia.” (1Samuel 2:52).
Cara pandang kita terhadap anak-anak sering kali bias. Kita memberi pujian kepada anak yang diam, tidak rewel dan patuh sebagai anak yang baik. Kita menyukainya. Sebaliknya, anak yang banyak celoteh, tidak mau diam, aktif berlari ke sana ke mari, tanpa pikir panjang kita memberi label anak nakal. Kita tidak suka anak nakal! Anak yang nilai akademisnya bagus kita sebut sebagai anak yang cerdas. Sebaliknya, yang gemar berolah raga, main musik atau melukis, kita mengkhawatirkan masa depannya.
Padahal, setiap anak unik dengan masing-masing talenta dan konteks di mana ia berinteraksi. Ada karakter dan potensi yang berkembang dalam diri mereka. Ada bermacam kecerdasan, tidak hanya akademis. Anak yang pendiam dan patuh seperti Samuel, bisa jadi menjadi anak yang disukai karena Eli, sang imam tampaknya punya karakter lembut dalam membimbing anak. Kelembutan yang sama tidak bisa ia terapkan terhadap kedua anaknya. Terbukti, mereka tumbuh menjadi anak-anak yang sulit dikendalikan. Apa yang terjadi dengan Yesus? Sangat mudah dalam persepsi budaya kita memandangnya sebagai anak yang tidak sopan ketika menerima teguran dari ibu-Nya. Benarkah?
Mari kita masuk dalam dialog orang tua dan anak ini. Ketika Yesus kecil ditemukan oleh orang tua-Nya, Ia sedang berada di teras Bait Allah, di tengah-tengah para ulama. Berdialog, begitulah cara mereka belajar dan mengajar. Yesus terlibat aktif. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mereka bercakap-cakap tentang tema-tema yang ada dalam kitab suci. Tidak mengherankan apabila anak usia dua belas tahun dapat bercakap-cakap dengan para rabi tentang isi kitab suci. Sebab, anak laki-laki Yahudi dianggap dewasa secara keagamaan pada usia tiga belas tahun. Mulai usia itu setiap anak laki-laki Yahudi harus bertanggung jawab penuh sebagai anggota komunitas umat Tuhan. Setelah mencapai usia dua belas tahun, remaja pria dididik langsung oleh sang ayah, agar setahun kemudian ia mampu tampil layaknya orang dewasa.
Di sini jelas, mengapa Yesus dapat berdialog bahkan mengimbangi percakapan dengan para rabi. Tentu saja pengajaran Yusuf, sang ayah! Setiap ayah Yahudi yang saleh pasti akan mengajarkan iman kepada anak-anak mereka, itulah yang tersirat dari Ulangan 6:1-9. Hikmat dan pengetahuan Yesus berlatar belakang tradisi religius Yahudi. Yesus bukan kanak-kanak yang serba tahu. Namun, Ia mengerti kehendak Allah Bapa-Nya!
Menjelang dewasa secara religius, sebagai laki-laki Yahudi Yesus tahu memosisikan diri dan bertanggung jawab atas iman dan ajaran serta tradisi yang dijalani-Nya. Itulah sebabnya, Ia terlihat betah dan seakan tidak peduli dengan keberadaan Maria dan Yusuf yang sudah tiga hari mencari-Nya dengan panik dan gelisah. Kegelisahan mereka tampaknya sangat wajar. Secara fisik dua belas tahun masih anak-anak. Namun, mereka lupa bahwa secara spiritual, Yesus beranjak dewasa. Bukankah itu yang diajarkan sang ayah? Tidak jauh berbeda, perasaan itu dengan setiap orang tua. Kita akan gelisah, cemas dan mengkhawatirkan anak-anak kita ketika mereka akan melanjutkan studi ke luar kota atau ke luar negeri. Perasaan yang sama terjadi ketika orang tua melepas anaknya untuk membangun keluarga baru.
Dalam jawaban atas teguran ibunda-Nya, Yesus membuat kontras antara “bapak” dan “Bapa”. Ini khas Injil Lukas, yang salah satu pokok utamanya adalah tentang Yesus (Sang Anak) yang menunjukkan Allah (Bapa). Kontras itu mengenai kata Bapa-Ku (menunjuk kepada Allah) yang diucapkan Yesus sendiri, berhadapan dengan kata bapak-Mu (yang dimaksud Maria adalah Yusuf). Dalam hal ini, Maria berbicara mengenai kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya. Sedangkan Yesus berbicara tentang kewajiban-Nya terhadap Bapa-Nya.
Dengan Yesus balik bertanya, Tidakkah kamu tahu, Yesus menyatakan kepada orang tua-Nya bahwa seharusnya mereka sudah peka, mereka sudah tahu. Lalu, mengapa mereka tidak tahu? Jelas, ini keterbatasan manusiawi. Dalam kisah-kisah selanjutnya, kita dapat menemukan bahwa tidak mudah orang memahami ucapan, ajaran, dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Yesus, bahkan oleh murid-murid terdekat sekali pun. Barulah setelah peristiwa kebangkitan itu mata batin mereka terbuka!
Untuk memahami perkataan Yesus ini, kita perlu fokus pada kata harus. Ini bukan hanya pada dialog Maria dan Yesus saat ini saja. Yesus harus ada dan terlibat dalam perkara-perkara Bapa-Nya, sebab begitulah Ia menjalankan misi Allah. Injil Lukas menggunakan kata harus berkali-kali, khususnya nanti dalam kisah sengsara Yesus. Yesus harus mengutamakan ketaatan-Nya kepada Allah dari pada terhadap orang tua-Nya. Pada pihak lain, jika kita renungkan, dengan mengutamakan ketaatan kepada Allah, bukankah pada waktu yang sama justru Yesus sedang menjalankan ketaatan juga kepada orang tua-Nya. Bukankah Maria sejak semua sudah diberi tahu bahwa anak yang dikandung-Nya itu merupakan anak yang membawa misi istimewa? Jadi, ketaatan Yesus justru sedang menggenapi seluruh misi hidup Maria dan juga Yusuf!
Di sini kita bisa mengerti, mengapa Yesus yang tampaknya seperti seorang anak yang mendebat dan mengajari orang tuanya disebut bahwa Ia semakin disukai Allah dan manusia. Yesus, bahkan ketika masih anak-anak, beranjak dewasa mengerti menempatkan diri dan tahu prioritas mana yang harus Ia pilih dan kerjakan meski berkaitan dengan hal-hal sensitif yakni kepentingan penghormatan kepada orang tua yang diatur dalam Taurat.
Tentu, Anda dan saya ingin disukai oleh Allah dan sesama manusia. Caranya? Belajar dari Yesus: tahu menempatkan diri, prioritas mana yang harus kita ambil. Ya, mengutamakan pesan Tuhan! Sebab, dengan mengutamakan pesan-Nya, kita akan menerjemahkan menjadi hidup, yaitu: mencintai sesama manusia seperti kita mencintai diri sendiri!
Jakarta, 27 Desember 2024. Minggu sesudah Natal, tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar