Apa itu egosentrisme dan mengapa pula harus ditolak? Egosentrisme, menurut kebanyakan pakar teori perkembangan adalah keadaan yang membuat seseorang menjadi egosentris, yakni perhatian yang berlebih pada diri sendiri dan fokus untuk mendapatkan kenyamanan, kenikmatan, kesejahteraan dan keuntungan diri sendiri. Sekalipun untuk itu ia harus mengorbankan kepentingan orang lain. Sebagian lagi berpendapat, egosentrisme adalah bentuk ketidakmauan seseorang untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Akibatnya, ia tidak bisa menarik kesimpulan dari apa yang dipikirkan, dirasakan, dialami dan dilihat oleh orang lain. Jadi, wajarlah bila kita menolak egosentrisme!
Jean Piaget, psikolog perkembangan Swiss membagi tahap-tahap perkembangan kognitif yang berhubungan dengan egosentris manusia. Piaget mengatakan bahwa intelegensi akan berubah seiring dengan perkembangan usia anak. Perkembangan kognitif anak-anak tidak hanya tentang memperoleh dan mengolah pengetahuan tetapi juga pengembangan dan pembentukan mental. Menurutnya ada empat tahap perkembangan kognitif, yaitu tahap sensorimotor (dari bayi lahir sampai 18-28 bulan), tahap pra operasional(2-7 tahun), tahap operasional konkret ( 7-11 tahun) dan tahap operasional formal (usia 12 tahun ke atas).
Berkaitan dengan egosentris, ada tahap yang menarik dari teori Jean Piaget. Tahap kedua, yakni pra operasional (usia 2-7 tahun). Tanda yang menonjol pada tahap ini adalah munculnya bahasa. Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir pada tingkat simbolik dengan menggunakan kata-kata dan gambar untuk mewakili obyek. Namun, ia belum bisa menggunakan logika, mengubah, menggabungkan, memisahkan ide atau pikiran. Pada usia ini, kebanyakan anak-anak cenderung bersifat egosentris, dalam arti ia melihat dunia dalam kehendaknya sendiri dan belum mampu menggunakan perspektif lain. Maka tidak heran, jika pada tahap ini, segala yang diingininya adalah miliknya sendiri. Benda-benda yang menarik perhatiannya seperti mainan, kursi, tempat tidur, dan yang lainnya adalah miliknya.
Egosentris pada tahap pra oprasional adalah wajar, tidak selamanya buruk. Ini merupakan proses pendewasaan bagi anak usia dini. Lebih lanjut, Piaget mengatakan ciri-ciri khusus egosentris pada tahap ini adalah seperti berpikir imajinatif (berbicara dengan boneka seperti dengan teman-temannya, menjadikan benda di sekitarnya sebagai teman main). Ia berbahasa egosentris: ia akan berhenti berteman atau bermain saat sesuatu tidak sesuai keinginannya. Pokoknya, ia harus mendapatkan sesuatu yang dimauinya. Ia memiliki ego yang tinggi: menangis dan marah jika kalah dalam permainan, ia ingin selalu didengar. Piaget menegaskan bahwa egosentrisme pada anak kecil bukan bersikap egois sebagaimana orang dewasa. Egosentrisme bisa saja turut berperan dalam munculnya perilaku negatif pada anak, tetapi bukan satu-satunya faktor penyebab.
Banyak orang gagal bertumbuh secara mental kognitif. Tubuhnya makin tinggi, besar, usianya bertambah namun sifatnya masih tetap kekanak-kanakan. Cirinya jelas seperti apa yang disampaikan Piaget. Segala sesuatu berpusat pada dirinya. Ia berbicara secara imajinatif, ia yang mengendalikan “boneka-boneka” itu. Kalau kalah dalam permainan, ia akan menyalahkan pihak lain. Wasitnya tidak adil, kondisi lapangannya buruk, diteror penonton. Ia hanya ingin menang, ingin didengar dan tidak mau tahu sudut pandang orang lain. Kalau masih kanak-kanak, wajar. Menjadi tidak wajar ketika tubuhnya menjadi dewasa dan usianya semakin bertambah namun mental spiritualnya mandeg. Kekanak-kanakan!
Ketika Yesus meneruskan perjalanan bersama para murid-Nya, datanglah seseorang tergopoh-gopoh menghampiri-Nya seraya berkata, “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Yesus tampaknya enggan menerima sanjungan dari orang ini. Lalu Ia menjawab pertanyaan orang itu. Yesus mengutip beberapa perintah dari Taurat Musa. Dengan percaya diri, orang itu menyatakan bahwa seluruh perintah itu telah ia lakukan sejak masa mudanya. Dengan begitu, ia yakin bahwa dirinya akan memperoleh hidup yang kekal. Sayang, Yesus belum tuntas berbicara, “Hanya satu kekuranganmu: Pergilah, juallah apa yang kau miliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan memiliki harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku!” Mendengar ini, orang itu menjadi muram dan ia pergi dengan sedih.
Mengapa ia sedih? Karena hartanya banyak dan ia tidak mau melepasnya. Orang Yahudi berpandangan bahwa kekayaan, keturunan, dan umur panjang merupakan ganjaran yang diberikan Allah kepada orang-orang yang hidup berkenan kepada-Nya. Kesejahteraan hidup di dunia adalah tanda awal dari kesejahteraan abadi yang akan mereka terima sesudah kehidupan di dunia ini. Tetapi Yesus justru meminta orang itu menjual seluruh harta miliknya. Baginya perintah Yesus ini sama dengan perintah untuk membuang ganjaran Allah, yang menjadi bukti bahwa dia adalah orang baik dan bahwa hidupnya berkenan kepada Allah. Bagi orang tersebut, harta kekayaan memiliki ciri religius, tetapi Yesus mencabutnya! Orang itu pergi karena tidak menerima pandangan Yesus mengenai kekayaan. Perhatikan, apa yang diinginkan orang kaya ini bukanlah ajaran dari Yesus, melainkan pembenaran dari sikapnya. Egosentrisme muncul ketika ia hanya mau mendengar apa yang sejalan dengan pikiran dan ambisinya!
Apa yang menjadi titik krusial ajaran Yesus pada orang itu sebenarnya tidak terletak pada milik yang harus dijual karena menghalangi keselamatan memperoleh hidup yang kekal, melainkan sikap, penilaian dan kemelekatan dia terhadap harta kekayaan. Yesus mengingatkan bahwa kekayaan – juga sebaliknya : kemiskinan – dengan sendirinya tidak memiliki ciri religius. Kekayaan itu bukanlah “upah” yang diterima karena orang sudah berbuat baik dan, sama halnya dengan kemiskinan yang tidak dapat disimpulkan sebagai kutuk dari Allah. Kalau kekayaan dianggap sebagai ganjaran awal dari perbuatan baik, kehidupan kekal punakan dipandang sebagai upah yang diberikan kepada orang yang bekerja keras untuk berbuat baik. Padahal, bagi Yesus posisi sosial, tinggi atau rendah, bukan jaminan keselamatan. Keselamatan atau kehidupan kekal bukanlah hasil kerja keras manusia, melainkan anugerah: kemurahan Allah di dalam diri Kristus!
Seakan pedang bermata dua yang digambarkan dalam Ibrani 4:12, perkataan Yesus tajam menusuk jiwa dan roh dan mengoyak sendi-sendi sumsum orang kaya itu. Ia menjernihkan pikiran dan niat hati dari seorang yang dengan mulutnya meminta ditunjukkan jalan keselamatan: hidup yang kekal. Namun tampaknya, orang itu terlalu melekat dengan keyakinannya bahwa dia adalah orang kaya yang telah diberkati karena kebaikannya. Ia memilih suara egonya dengan melekatkan diri pada harta kekayaannya dan menutup rapat hatinya untuk kebenaran yang disampaikan Yesus yang semula dia sanjung sebagai Guru yang baik!
Bisa jadi, mental spiritual kita juga tidak mengalami pertumbuhan. Kita menjadi manusia yang hanya mau mendengar apa yang menyenangkan kita. Kita begitu melekat dengan pola pikir pandangan sendiri, menutup hati untuk teguran yang memberi peringatan. Bahkan, kita membenci orang yang menunjukkan jalan yang benar. Sama seperti Yerobeam anak Yoas raja Israel dan Uzia raja Yehuda yang membenci teguran. Mereka memilih hidup munafik dengan kekayaan dan kuasanya ketimbang mendistribusikan keadilan dan kasih sayang dari Allah kepada rakyatnya.
Menolak egosentrisme bukan sekedar tema dan wacana indah yang dibicarakan. Namun, ia harus menembus hati dan jiwa. Ia harus seperti pedang yang bermata dua, memisahkan pikiran dan niat hati kita. Sehingga, segala kemelekatan itu akan terkikis habis. Menyakitkan! Namun, dampaknya luar biasa. Kita akan terbebas dari pelbagai candu pemikiran sendiri yang membuai dan meninabobokan kita dalam kenyamanan semu!
Keluarga yang menolak egosentrisme akan berjuang, saling menolong dalam melewati fase-fase pertumbuhan ego. Setiap anggota keluarga berfungsi sebagai penyambung lidah bibir Allah yang menopang, mengingatkan, dan menyuarakan kebenaran. Sehingga pada akhirnya seluruh anggota keluarga – meminjam teori perkembangan ego menurut Jane Loevinger (1918-2008) – mencapai tahap akhir yang dinamakannya “Integrated” : Tahap ini mirip dengan konsep “aktualisasi diri” milik Maslow. Ego kita menunjukkan kebijaksanaan batin, kita akan bisa berempati mendalam terhadap orang lain, dan tingkat penerimaan diri yang sangat tinggi. Kita menjadi orang yang menerima diri sendiri dengan sukacita. Kita akan dapat menghargai orang lain seperti kita menghargai diri sendiri. Ah, betapa indahnya jika kita memiliki keluarga yang terdiri dari anggota-anggotanya yang mencapai tahap ini. Anda bisa bayangkan bagaimana gereja Anda ketika terdiri dari keluarga-keluarga seperti ini? Kerajaan surga dinyatakan di bumi!
Jakarta, 9 Oktober 2024, Minggu Biasa Tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar