Cerita ini semula disampaikan oleh Socrates yang kemudian diceritakan dalam tulisan Xenophon berjudul Memorabilia dan saya menikmati kisah ini berkat tulisan Henry Manampiring dalam The Compass.
Suatu hari saat Hercules masih muda, jauh sebelum ia dikenal dengan kisah-kisah kepahlawanannya yang agung, ia berjalan sambil merenungi hidupnya yang terasa hambar, ketika ia menemukan dirinya di persimpangan jalan. Jalan yang sedang ditapakinya bercabang dua: ke kiri dan ke kanan.
Hercules mencermatinya. Ia menimbang jalan mana yang harus diambilnya. Ia menoleh ke kanan, jalur ini tampak sulit, sempit, berkelok, dengan permukaan kasar bergelombang, sangat buruk, melintasi bukit berbatu dan gersang, walau di kejauhan jalan tersebut tampak menuju ke pegunungan biru. Berbeda, jalur sebelah kiri sangat lebar dan mulus, rindang dan teduh dengan pohon-pohon besar di sisi kiri dan kanannya. Jalur tersebut melewati padang berumput hijau yang meriah dengan bunga-bunga bermekaran warna-warni, tetapi kemudian memasuki kawasan berkabut tebal yang misterius sebelum akhirnya berujung di pegunungan biru yang sama juga.
Ketika Hercules masih termenung berdiri di persimpangan jalan itu, datanglah dua orang perempuan menghampirinya masing-masing dari jalur yang berbeda. Perempuan yang datang dari jalur yang mulus sampai kepada Hercules terlebih dahulu. Ia seorang perempuan yang cantik jelita, dengan pipi merah merona, bibir diwarnai gincu, dan matanya berkilat-kilat. Ia memakai baju yang mewah dengan warna yang mencolok mata. Emas permata menghiasi lehernya yang putih nan jenjang, juga pergelangan tangannya yang mulus bagai putri raja. Suaranya hangat, sedikit menggoda, ketika ia berkata: “Oh, anak muda yang mulia, cukuplah sudah susah payah hidupmu. Ikutlah aku, akan kubawa engkau melalui jalan yang menyenangkan, di mana tidak ada mendung badai dan kesusahan yang akan mengusikmu. Kamu akan hidup dengan nyaman, diiringi musik indah dan wangi dupa nan harum; kamu tidak akan pernah kekurangan apa pun. Minuman anggur, sofa empuk kulit rusa, atau jubah sutra, dan perempuan-perempuan pelayan jelita – semuanya nanti bagianmu. Ikutlah aku dan hidupmu akan serasa mimpi indah penuh kesenangan saja!”
Pada saat itu, perempuan kedua juga tiba di hadapan Hercules. Ia berkata: “Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa kepadamu, kecuali bahwa kamu akan menang dengan kekuatanmu sendiri. Jalan yang kutawarkan kepadamu sesungguhnya tidak rata, keras, banyak bukit terjal, dan turunan ke lembah curam berlumpur. Pemandangan dari puncak bukit memang indah memukau, tetapi jurangnya gelap dan sulit untuk dipanjat. Tetapi kamu bisa melihat sendiri, jalan ini akan menuju pada pegunungan indah di ufuk. Pegunungan tersebut tidak bisa dicapai tanpa jerih payah. Bukankah semua hal yang sungguh-sungguh bernilai harus dicapai dengan cara itu? Jika kamu ingin buah mangga, kamu harus menanam dan merawatnya. Jika kamu ingin dicintai sesama, kamu pun harus mengasihi mereka dan menderita untuk mereka. Jika kamu ingin dipilih Kahyangan, kamu harus membuktikan bahwa kamu layak untuk itu. Jika kamu menginginkan kejayaan kekal, jangan menganggap rendah jalan sulit yang membawamu ke sana.”
“Siapa namamu?” tanya Hercules pada perempuan kedua.
“Sebagian menyebutku Jerih Payah,” jawabnya, “tapi orang lain menyebutku sebagai Keutamaan.”
Kemudian Hercules berpaling kepada perempuan pertama yang menghampirinya, “Dan siapa namamu?”
“Sebagian menyebutku Kenikmatan.” Jawabnya dengan senyum genit, “Tetapi aku lebih suka menyebut diriku Si Senang dan Gembira.”
“Keutamaan,” kata Hercules, “Kamulah yang akan menjadi panduku. Jalan jerih payah dan kerja jujur akan menjadi milikku, dan hatiku tidak akan lagi mengizinkan kepahitan dan kekecewaan.” Selanjutnya, Keutamaan menggandeng tangan Hercules memasuki jalan terjal, berbatu, dan keras itu. Dan benar, kehidupan Hercules kemudian akan diisi dengan penuh penderitaan, perjuangan, air mata, keringat dan darah. Namun, sesudah ia melalui itu semua, Hercules bergabung dengan para dewa-dewi di Kahyangan dengan segala kemuliaannya.
Mitos ini menggambarkan dengan tepat bahwa tidak ada kebahagiaan tanpa perjuangan. Tidak ada kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga yang diraih tanpa perjuangan. Peneguhan dan pemberkatan nikah sehebat dan semahal apa pun tidak akan mewujudkan kebahagiaan jika tidak diperjuangkan oleh masing-masing pihak yang telah dipersatukan Tuhan. Bisa jadi, perjuangan itu melalui jalan terjal, keras, berbatu, penuh dengan onak duri dan air mata. Namun, percayalah bahwa hasilnya itu tidak akan menghianatiperjuangan!
Ketika Yesus melanjutkan perjalanan-Nya ke Yudea dan daerah seberang Sungai Yordan. Banyak orang datang berkerumun mengikuti-Nya. Sebagaimana biasanya, Yesus memakai kesempatan ini untuk mengajar mereka. Di antara orang banyak itu ada beberapa orang Farisi. Mereka datang bukan untuk menyimak apa yang diajarkan Yesus tetapi mencari celah untuk menjatuhkan-Nya di hadapan umum. Rancangan pertanyaan biasanya dijadikan umpan untuk menjerat Yesus. Kali ini mereka bertanya tentang boleh tidaknya seorang suami menceraikan istrinya. Mendengar soal ujian ini, Yesus balik bertanya, “Apa perintah Musa sehubungan dengan pertanyaan kalian?”
Satu-satunya perikop dalam Taurat yang berbicara tentang perceraian adalah Ulangan 24:1-4. Kutipan ini menyatakan bahwa menurut Hukum Musa, seorang suami boleh menceraikan istrinya dengan syarat memberikan surat cerai.
Di luar dugaan kaum Farisi, Yesus memberi penafsiran baru tentang aturan main perceraian itu, “Karena kekerasan hatimulah, Musa mengizinkan perceraian!” Bagi Yesus, pemberian izin melalui surat perceraian itu diberikan karena tuntutan dan desakan manusia, bukan karena mengikuti kehendak Allah. Sebab, menurut Yesus, sejak semula Allah tidak menghendaki adanya perceraian. Allah menciptakan manusia; laki-laki dan perempuan dan menyatukan mereka dalam perkawinan sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka tidak lagi menjadi dua, melainkan satu. Jika manusia mempercayai bahwa Allah yang menyatukan, mustahil Ia merestui perceraian. Maka dengan sangat logis Yesus mengingatkan kepada mereka bahwa apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia!
Allah mempersatukan manusia; laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan, dan manusia tidak mempunyai hak untuk menceraikan apa yang telah disatukan Allah itu. Tegasnya, tidak dibenarkan seorang suami menceraikan istrinya karena tindakan itu bertentangan dengan kehendak Allah yang dinyatakan sejak awal mula penciptaan semesta ini.
Tampaknya apa yang dijelaskan Yesus sulit diterima tidak hanya oleh kaum Farisi tetapi juga para murid. Para murid yang hidup dalam tradisi Yudaisme jelas hidup dalam tarikan nafas yang sama dengan para pengajar Taurat itu. Ini terbukti ketika sampai di rumah, mereka bertanya lagi dan meminta penjelasan lebih lanjut dari Yesus (Markus 10:10). Sebagai laki-laki Yahudi mereka merasa memiliki hak untuk menceraikan istrinya karena Hukum Musa memang mengizinkannya. Dalam hukum agama Yahudi, istri dianggap sebagai milik suami (lihat Keluaran 20:17). Seorang istri yang berhubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya dianggap berzina terhadap suaminya. Namun, seorang suami yang berhubungan dengan perempuan lain yang bukan istrinya, tidak dianggap berzina terhadap istrinya. Ini terbukti, mereka yang selalu diadili karena kasus perzinaan adalah kaum perempuan!
Yesus tidak menerima anggapan bahwa Istri adalah milik suami. Yesus menolak bahwa istri disamakan seperti benda yang ditentukan kepemilikannya. Ia memandang keduanya; laki-laki dan perempuan setara karena diciptakan oleh Allah dan disatukan menjadi satu daging. Siapa pun, suami atau istri yang merusak hubungan mereka jelas keliru. Karena itulah Yesus menegaskan bahwa orang yang menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain berbuat zina terhadap istrinya dan istri yang menceraikan suaminya lalu kawin dengan laki-laki lain, ia berzina terhadap suaminya.
Memperjuangkan kesatuan dalam keluarga jelas tidak mudah. Pilihan mudah, jalan pintas selalu menggoda kita: cerai! Kisah Hercules mengingatkan kita, ia tidak memilih jalan mudah. Mungkin keluarga Anda saat ini sedang berada dalam jalan terjal, ujung tebing kehancuran atau lembah kekelaman penuh air mata. Bulatkan tekad, katakan pada hati Anda seperti Hercules mengatakannya, “aku tidak mengizinkan kepahitan dan kekecewaan memenuhi hatiku! Aku akan menatap ke depan, bersama anak-anak dan semua kenangan indah bahwa di sana Tuhan akan menibakan aku pada pegunungan biru yang indah!”
Perjuangan itu pertama-tama ada dalam ranah iman, yang menyebar pada pemikiran kita. Kendalikanlah ambisi dan ketakutan kita untuk tidak dihargai dan diabaikan. Selanjutnya, jadilah seperti Hercules yang mau menempuh jalan penderitaan. Rasanya kisah heroik Hercules yang berujung pada kemuliaan itu sepadan dengan perjuangan berat yang dihadapinya. Percayalah bahwa perjuangan berat Anda yang disertai peluh dan air mata, jika dilakukan dalam Tuhan, akan melampaui kebahagiaan Hercules! Wujudkanlah perjuangan itu dengan hal-hal sederhana: senyum, pelukan sama seperti Yesus melakukannya terhadap anak kecil. Ucapan terima kasih dan maaf adalah hal-hal yang mungkin sepele tapi percayalah hal itu pasti keluar dari jiwa yang besar. Ingatlah, jangan terus merawat luka yang bersarang dalam hatimu. Lebih baik, rawatlah cinta walaupun kecil, ia akan bertumbuh dan nanti semaraknya bak bunga warna-warni di kebun rumah tangga kita!
Jakarta, 3 Oktober 2024, Minggu Biasa Tahun B (Perjamuan Kudus sedunia dan Pembukaan Bulan Keluarga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar