Sir Hugh Beaver seorang direktur pelaksana pabrik bir terkenal, Guinness beradu pendapat dengan teman-temannya sewaktu berburu di muara Sungai Slaney, Country Wexford, Irlandia. Mereka mempersoalkan burung buruan di Eropa yang paling cepat terbangnya: burung spesies Pluvialis apricaria atau burung famili Tetranodiae. Saya membayangkan dengan referensi yang terbatas, belum ada internet apalagi embah Google, perdebatan menjadi seru dan panas.
Otak bisnis Beaver berputar. Ia menyadari buku rujukan yang ada ternyata tidak bisa menjawab keingintahuan mereka tentang burung buruan tercepat di Eropa. Aha, jika saja ada penerbit yang mencetak buku yang berisi tentang jawaban dari segala yang terhebat, pasti buku itu akan menjadi populer! Beaver menugaskan karyawan Guinness, Christopher Chataway untuk mewujudkan ide membuat buku berisi catatan rekor. Lalu, Chataway meminta rekan satu almamaternya, Norris dan Ross McWhirter yang kebetulan membuka sebuah kantor pencari fakta di London. Si kembar McWhirter akhirnya mewujudkan impian Beaver. The Guinness Book of Record edisi pertama akhirnya terbit pada Bulan Agustus 1954. Buku tersebut dicetak sebanyak seribu eksemplar dan dibagi-bagikan secara gratis!
The Guinness Book of Record dalam perkembangannya dicetak dan diperbarui setiap tahun. Buku ini terus mencatat kumpulan rekor dunia yang berkaitan dengan prestasi manusia, serta catatan “ter – “ dan “paling” yang ada di dunia dan mendapat pengakuan secara internasional. Buku yang dimulai oleh direktur pelaksana dan terus dikembangkan oleh perusahaan bir hitam Guinness memegang rekor sebagai serial buku berhak cipta paling laku di dunia!
The Guinness Book of Record yang berkembang tidak hanya dalam mencatat rekor tetapi juga memvasilitasi, menggugah dan memotori manusia serta terus membarui pencapaiannya seakan mewadahi naluri manusia yang ingin menjadi terhebat, dikagumi dan berkuasa. Bukankah seseorang akan lebih bangga bila disebut terhebat ketimbang hebat saja, tercantik ketimbang cantik doank, terkuat dari hanya sekedar kuat!
Bayangkan, kedua belas murid Yesus yang telah lama bersama-sama Sang Guru, mestinya sudah menjadi orang yang bukan biasa-biasa saja. Mereka mengatakan sendiri telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Yesus (Markus 10:28). Mereka tidak puas hanya menjadi orang hebat yang mengikuti Guru Super hebat! Mereka ingin menjadi terhebat, paling berkuasa, paling mulia di antara yang lain. “Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu.” (Markus 10:37). Posisi di sebelah kanan dan kiri Sang Mesias akan membuat mereka mempunyai kuasa besar dan akan dapat berbuat apa saja. Ironis, Yesus baru saja memberitahukan tentang penderitaan yang akan dijalani-Nya, tetapi mereka meminta kemuliaan!
Lontaran ketidakmengertian, tetapi juga gambaran hasrat motivasi mengikut Yesus tersirat vulgar! Mereka tidak tahu bahwa kemuliaan hanya dapat diraih setelah sengsara dan kematian; mereka yang ingin mulia bersama dengan Yesus, harus pula menderita bersama dengan-Nya. Itulah sebabnya, Yesus kemudian mengulang kembali kepada mereka tentang jalan menuju kemuliaan itu, yakni via dolorosa: jalan sengsara! Dalam kiasan, Yesus bertanya: “Dapatkah kamu meminum cawan yang harus Kuminum atau dibaptis dengan baptisan yang harus Kuterima” (Markus 10:38).
Di tengah ketidaktahuan dan ambisi, mereka menjawab, “Kami dapat!”. Tanpa tahu makna yang disampaikan Yesus, Yakobus dan Yohanes menyatakan kesanggupan mereka. Jelas, kedua murid itu tidak memahami apa yang Yesus maksudkan dengan meminum cawan dan dibaptis dengan baptisan yang diterima-Nya. Dengan kata lain, mereka akan mengalami sengsara seperti yang dialami Yesus.
Kesepuluh murid yang lain menjadi marah kepada Yakobus dan Yohanes. Mungkin saja mereka berpikir bahwa permintaan kedua orang teman mereka ini sudah kelewatan. Atau, mereka tersinggung, karena permintaan itu menunjukkan bahwa merekalah yang paling layak, paling hebat untuk posisi di sebelah kanan dan kiri Yesus. Dengan meminta posisi itu mereka telah merendahkan kesepuluh murid yang lain.
Yesus menanggapi pertengkaran receh itu dengan berbicara tentang, “mereka yang diakui sebagai pemerintah bangsa-bangsa” yang bertindak sebagai tuan dan penguasa, dengan sewenang-wenang menindas dan memperdaya rakyatnya demi mengikuti keinginan dan hawa nafsu mereka. Yesus menolak pola kekuasaan yang berlaku di dunia ini. Dan, Ia menawarkan hal yang sebaliknya, “Siapa yang ingin menjadi besar, hendaklah ia menjadi pelayan dan yang ingin menjadi terkemuka hendaklah menjadi pelayan.” Seorang pelayan mengikuti kehendak mereka yang dilayaninya dan tidak menjadikan orang lain sebagai budaknya.
Kuasa tidak bertentangan dengan pelayanan. Yesus memandang diri-Nya sebagai pribadi yang memiliki kuasa untuk mengampuni dosa, mengusir setan, memulihkan kelemahan manusia. Tetapi Ia memahami bahwa kuasa itu diberikan oleh Allah untuk melayani manusia, bukan untuk mengagungkan diri dan meraup keuntungan atas ketenaran dan kuasa itu. Yesus mengajarkan hal ini bukan hanya melalui ucapan tetapi gaya hidup-Nya juga memang demikian. Dia datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang!
Yesus memberikan nyawa-Nya, Ia bukan dikorbankan melainkan mengorbankan diri-Nya sendiri supaya manusia terbebas dari belenggu dosa dan menjadi benar di hadapan Allah. Bagaimana Yesus melakukan hal ini? Seperti hamba Allah dalam Yesaya 53:10-12, Yesus menyerahkan diri-Nya sebagai kurban penebus salah, yakni kurban yang dipersembahkan kepada Allah supaya manusia memperoleh pengampunan dosa.
Yesus melebih para imam besar yang membawa kurban untuk penghapusan dosa. Sebab, para imam sebagai perantara umat, mereka membawa hewan kurban dan mempersembahkan untuk penghapusan dosa umat, sementara mereka sendiri harus menyucikan diri mereka juga dengan kurban penebus salah. Tetapi berbeda dengan mereka, Ibrani 5:1-10 mencatat bahwa Yesus sebagai Imam Besar justru mempersembahkan diri-Nya sendiri untuk menghapus dosa manusia. Yesus tidak memuliakan diri-Nya sendiri alih-alih menghamba. Ia taat meski harus menderita!
Jadi, buat Yesus berjuang menjadi besar, tenar, berkuasa dan mulia dalam pemikiran hikmat dunia menjadi tidak relevan untuk mencapai kemuliaan yang sesungguhnya. Yesus menawarkan jalan menjadi hamba. Jelas, yang dimaksud Yesus bukan dalam arti “diperhamba”, melainkan dengan kesadaran penuh bahwa kita semua telah ditebus dan kini menjadi anak-anak Allah di dalam Kristus, maka bukan lagi nikmat dunia dan kuasanya yang menjadi tujuan hidup kita, melainkan memberi diri untuk melayani satu dengan yang lain. Pelayanan itu paling masuk akal apabila dimulai dalam lingkungan terkecil. Keluarga!
Ketimbang berpikir dan ambisius menjadi yang paling hebat, paling berkuasa, paling dominan, paling dihormati, dan sederet lagi seperti yang diimpikan banyak orang agar namanya tercantum dalam The Guinness Book of Record, marilah kita menjadi orang yang berjuang untuk kepentingan bersama: menjadi orang yang paling suka melayani, menjadi sahabat bagi orang yang kehilangan, menjadi teman bagi mereka yang sebatang kara, menjadi bahu bagi mereka yang kehilangan sandaran, bahkan menjadi “tong sampah” untuk setiap keluh kesah orang-orang yang telah penat menghadapi beban hidup ini!
Jakarta, 17 Oktober 2024. Minggu Biasa tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar