Suatu hari Narcissus muda sedang berjalan-jalan di hutan. Ia tidak menyadari pada saat yang sama Echo, seorang Oread (kaum nimfa yang tinggal di kawasan terasing) melihatnya. Echo jatuh cinta dan terus mengikuti Narcissus. Menyadari bahwa dirinya ada yang mengikuti, Narcissus berteriak, “Siapa itu?”. Echo mengulang teriakan yang sama, “Siapa itu?” Singkat cerita, Echo mengungkapkan jati dirinya dan berusaha memeluk Narcissus. Namun, di luar dugaan Narcissus mundur dan berkata kepada Echo untuk segera meninggalkannya. Echo patah hati dan menghabiskan sisa hidupnya di lembah yang sepi, yang tersisa padanya hanyalah suara gema. Cinta bertepuk sebelah tangan!
Nemesis, sang dewi pembalas dendam, mengetahu kisah ini. Akhirnya, ia memutuskan untuk menghukum Narcissus. Sang Dewi membujuknya untuk pergi ke sebuah kolam di mana Narcissus melihat bayangan dirinya sendiri. Melihat bayangan itu, ia segera jatuh cinta. Narcissus tidak menyadari bahwa yang dilihatnya adalah sebuah bayangan wajahnya sendiri. Tidak henti-hentinya ia mengagumi dan memuja bayangan itu sampai akhirnya ia menyadari bahwa cintanya itu tidak mungkin terwujud, dia pun bunuh diri. Mengenaskan!
Dari kisah mitologi Yunani ini kita mengenal istilah “Narsis”. Istilah narsis sebenarnya tidak ditujukan kepada orang yang gemar selfie lalu memamerkannya di media sosial. Narsis dalam batas tertentu tidak selalu norak. Dalam batas tertentu perilaku narsis berdampak positif. Seseorang bisa menghargai kelebihannya. Kagum dengan anugerah Tuhan atas dirinya. Namun, narsis yang berlebihan akan menjadi perilaku narsistik. Seseorang yang terjangkiti sindrom narsistik akan mengutamakan dirinya sendiri, merasa diri paling: hebat, unik, spesial, sering memonopoli percakapan, memiliki percaya diri yang berlebihan, menganggap diri paling istimewa, selalu ingin dipuja, serta mudah iri, tersinggung, dan marah ketika tidak mendapat perlakuan khusus.
Perilaku narsistik akan terlihat ketika seseorang sulit mengendalikan egonya, ia akan merasa paling penting, paling nomor satu (protos) dan memiliki kecenderungan untuk menjadi megalomania. Selanjutnya, ia akan menganggap orang lain rendah. Seseorang dengan narsistik akut akan sulit bahkan tidak mungkin mengakui keunggulan orang lain. Jika orang lain dapat melakukan lebih dari yang ia bisa lakukan maka ia akan gelisah dan cemburu lalu tidak dapat menerima mengapa hal itu terjadi!
Minggu lalu kita mencermati tingkah para murid yang ingin menjadi besar. Mereka bertikai tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Masing-masing pribadi berlomba menjadi orang yang utama. Sekarang, mereka tidak lagi bicara kebesaran diri, mereka berbicara tentang keistimewaan kelompok. Sebelumnya Petrus yang menjadi juru bicara, kali ini Yohanes. Yohanes berbicara atas nama rekan-rekannya, “Guru, kami melihat seseorang mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah dia, karena ia bukan pengikut kita.” (Markus 9:38). Laporan Yohanes ini menunjukkan kepicikan murid-murid Yesus. Mereka mau memiliki Yesus untuk diri mereka sendiri. Seolah-olah “hak paten” untuk memakai nama dan kuasa Yesus ada pada mereka. Orang atau kelompok lain tidak boleh menggunakannya. Rupanya wejangan Yesus tentang siapa yang terbesar harus melayani dan berada pada posisi yang paling belakang tidak dapat dicerna dengan baik. Mereka memang mau menjadi yang terbesar (Markus 9:35).
Mereka tidak mau ada orang atau kelompok di luar mereka yang dapat melakukan mukjizat di dalam nama Yesus. Padahal, baru saja Yesus mengajari supaya mereka memberantas dalam diri mereka kecenderungan untuk menjadi yang terbesar, istimewa, dikagumi dan didahulukan. Mereka harus mengubah mentalitas megalomania dengan kerendahan hati. Bila masyarakat meremehkan seorang anak kecil, mereka justru harus bersikap sebaliknya. Tetapi hal ini sangat tidak mungkin jika mereka dikuasai oleh perilaku narsistik dan megalomania.
Perilaku narsistik terlihat ketika Yohanes mengatakan bahwa mereka mencegah orang memakai kuasa nama Yesus untuk mengusir setan. Mereka tidak mau kalau ada orang di luar mereka dapat memakai kuasa Yesus yang berdampak pemulihan itu. Entah apa yang dipikirkan mereka. Mungkin mereka berpikir, jika orang lain dapat melakukan itu maka nama mereka menjadi redup dan orang lain menjadi tenar, terlebih sebelumnya mereka gagal melakukan pengusiran setan (Markus 9:15-18).
Bukan hanya rasa nyaman mereka terusik karena orang lain dapat melakukan pengusiran setan dalam nama Yesus. Hal ini menunjukkan juga bahwa mereka tidak memahami sungguh-sungguh misi Yesus. Misi Yesus tidak lain adalah melucuti kuasa Setan di dunia ini. Maka bila seseorang mengusir roh jahat di dalam nama Yesus dan berhasil, bukankah pada dasarnya Yesus sendiri yang mengusir roh jahat itu? Peristiwa pengusiran roh jahat oleh seorang yang bukan murid Yesus menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki iman kepada Yesus. Ia percaya bahwa Yesus bukanlah manusia biasa. Ia telah mendengar peristiwa-peristiwa yang dilakukan Yesus ketika berhadapan dengan kuasa jahat, maka ia memakai nama-Nya ketika berhadapan dengan roh jahat itu. Bukankah pada dasarnya orang tersebut menundukkan diri kepada Yesus dan tidak mungkin pula ia pada saat yang sama menentang, menjelekkan atau menjadi lawan Yesus?
Yesus melarang para murid mencegah orang lain memakai kuasa nama-Nya. Artinya, siapa pun tidak boleh membatasi karya Allah di dalam Kristus. Siapa dan kelompok mana pun tidak boleh merasa paling benar dan pemilik otoritas kuasa Yesus. Jawaban Yesus terhadap murid-murid yang mencoba membatasi karya-Nya adalah isyarat bahwa gereja harus tetap toleran dan jangan memonopoli iman akan Yesus, lalu memanfaatkannya untuk kebesaran kelompok atau gerejanya sendiri.
Ekslusivisme Yohanes ditanggapi Yesus dengan keterbukaan dan wawasan luas. Yohanes yang mewakili para murid mau melarang orang di luar kelompoknya mengusir roh jahat. Larangan semacam ini bukan kewenangan mereka. Yesus justru membenarkan pengusiran roh jahat itu. Bagi Yesus, orang tidak perlu terdaftar sebagai kelompok tertentu untuk memusuhi dan mengusir setan. Barang siapa memusuhi setan, dengan sendirinya ia berada di pihak Yesus.
Karya Allah tidak boleh dibatasi oleh satu kelompok saja. Narasi seperti ini dapat pula kita jumpai dalam Perjanjian Lama di tengah-tengah sikap Israel yang sangat ekslusif. Ketika Musa mengumpulkan tujuh puluh tua-tua di sekitar Kemah Pertemuan, ada dua orang: Eldad dan Medad, mereka tidak ikut serta. Namun, ketika para tua-tua yang ada di Kemah Pertemuan menerima kuasa Roh Allah dan berbicara layaknya para nabi, kedua orang ini juga mengalami hal yang serupa. Mereka menerima kuasa Roh Allah itu. Yosua meminta Musa untuk mencegahnya (Bilangan 11:28). Yosua menganggap hanya orang-orang yang di dalam Kemah Suci itulah yang berhak menerima kuasa Roh Allah. Musa justru tidak mengindahkan permintaan Yosua, alih-alih ia bersyukur kalau seluruh umat TUHAN diberi Roh-Nya! Dengan sikapnya itu, Musa seolah mau mengatakan bahwa rahmat dan Roh Allah adalah sesuatu yang terlalu besar untuk dibatasi!
Di tengah begitu banyak polemik, aliran-aliran gereja dan teologi yang saling mengagungkan diri paling benar sambil menunjuk dengan cibiran bahwa kelompok lain keliru, marilah kita kembali mengingat pesan Yesus dan Musa bahwa kuasa Roh Allah dan anugerah-Nya terlalu besar untuk dibatasi oleh sekelompok denominasi manusia. Yakinilah kebenaran yang diajarkan dalam setiap komunitas kita tanpa harus bersikap narsistik. Pada saat yang sama hargai dan yakini bahwa Tuhan dapat berkarya dalam kelompok yang lain, sebab tidak ada yang dapat membatasi kuasa-Nya!
Jakarta, 26 September 2024. Minggu Biasa Tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar