Mata kami tertuju pada seorang pria muda, ganteng dengan pakaian keren berdasi. Bukan ganteng dan necisnya yang lebih menarik perhatian kami. Bukan itu! Ia membawa nampan berisi piring, gelas dan sisa makanan ke tempat di mana telah tersedia rak untuk piring dan gelas kotor serta tempat sampah. Tak lupa si pria itu mengelap meja bekas makan dengan tisu yang masih tersisa. Tanpa aksinya mau dilihat orang, ia langsung pergi! Menurut Anda, apakah yang dilakukannya menurunkan derajat dan haknya sebagai pembeli, yang dalam adagium kita: pembeli adalah raja?
Naluri manusia umumnya ingin seperti raja. Dilayani! Ya, bukankah ada kenikmatan tersendiri ketika orang-orang melayani kita? Kita tinggal mengatur, memerintah dan kesenangan kita terpenuhi! Maka tidaklah mengherankan kalau manusia berlomba-lomba ingin berkuasa, berpengaruh, dan menjadi yang terdepan meski dengan begitu sebenarnya manusia menyadari bahwa ada harga yang harus dibayar. Menurut Yakobus harganya mahal, yaitu: sengketa dan pertengkaran yang bisa menumpahkan darah (Yakobus 4:1-2).
Perselisihan terjadi di antara para murid Yesus yang mengiring-Nya menuju Yerusalem. Seperti yang diisyaratkan Yakobus, mereka berselisih di sepanjang perjalanan itu tentang siapa yang terbesar atau tepatnya siapa yang paling utama di antara mereka. Pertengkaran itu mempertontonkan dengan vulgar bahwa mereka tidak sungguh-sungguh menyimak apa yang diajarkan Yesus dalam perjalanan itu. Nafsu menjadi orang yang paling terdepan mengabaikan peringatan Yesus bahwa diri-Nya akan menderita, dan mati dengan cara yang mengerikan. Lebih dari itu, nafsu berkuasa itu membutakan bahwa mereka berada pada jalan yang sama dengan Sang Guru menuju Yerusalem.
Melalui catatan Injil Markus kita dapat melihat Yesus tiga kali memberitahukan tentang penderitaan yang akan dialami-Nya dikaitkan dengan perjalanan bersama-sama para murid-Nya. Dengan narasi ini, Markus ingin menegaskan, sejak Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, mulailah Yesus menjelaskan arti kemesiasan-Nya secara terbuka. Apa yang dijelaskan-Nya itu sama sekali berlawanan dengan pemahaman – atau tepatnya keinginan – para murid dan kebanyakan orang Yahudi. Yesus menjelaskan makna kemesiasan-Nya. Dengan sadar Ia menuju pada kematian-Nya dan Ia mau mengikutsertakan para murid-Nya dalam perjalanan itu. Namun, alih-alih mereka berupaya menangkap pesan Sang Guru, mereka sibuk dengan ambisinya masing-masing.
Barang kali polemik inilah yang terjadi, yang menggema dan dihadapi oleh jemaat mula-mula. Mereka berlomba ingin menjadi tokoh yang terkemuka dan berpengaruh dalam komunitas gereja. Kalau kita mau jujur, residu seperti ini terus berkembang sampai hari ini. Gereja dan orang-orang di dalamnya menancapkan pengaruh dan berusaha membesarkan nama gereja dan nama dirinya sendiri yang dibalut apik atas nama pelayanan dan kebesaran Tuhan Yesus. Maka tidak heran kalau akhirnya apa yang dikhawatirkan Yakobus terjadi. Gereja yang satu menjadi lawan gereja yang lain; tokoh yang satu menjadi musuh tokoh yang lain, padahal sama-sama mengaku murid Yesus!
Apakah Yesus tidak tahu dan membiarkan perebutan pengaruh berkuasa dan ambisi ini? Yesus tahu dan Ia menegur para murid yang bersengketa itu. Yesus menanggapi pertengkaran yang tidak pantas itu. “… Jika seseorang ingin menjadi yang pertama, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Markus 9:35). Kata Yunani protos dapat berarti “pertama” dalam arti urutan (pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya) karena dalam tatanan masyarakat yang sering kali didahulukan adalah orang-orang penting, misalnya pejabat pemerintah dan pemimpin agama. Kata protos juga bisa dikenakan pada orang-orang terkemuka (Markus 6;21). Penguasa, bangsawan, orang kaya, dan orang yang berpengaruh dalam masyarakat sering kali disebut orang-orang terkemuka (protos).
Dalam budaya manusia seperti ini sikap kerendahan hati dipandang sebagai kelemahan dan melayani orang lain dianggap sebagai kehinaan karena dianggap mengerjakan pekerjaan budak. Namun, Yesus mempunyai cara pandang berbeda. Ia membalikkan cara pandang umum: orang yang ingin menjadi pertama (baca: terkemuka) harus menjadi yang terakhir dan pelayan dari semua! Bagi Yesus, kedudukan seseorang tidaklah ditentukan oleh status sosial, jabatan, dan kepemilikan harta benda, tetapi oleh pelayanannya yang dilakukan untuk orang lain. Yesus sendiri datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikannyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Markus 10:45).
Yesus jelas mempunyai sikap tentang menjadi yang terutama. Para pengikut-Nya tidak boleh membiarkan diri dikuasai oleh visi “kebesaran” dan menjadi yang terkemuka yang begitu disenangi oleh dunia ini. Yesus langsung dan dengan tegas memotong setiap jenis ambisi murid-murid untuk menduduki tempat protos itu. Kebesaran sejati hanya ada ketika seseorang mau menjadi pelayan bagi sesamanya dan tempatnya bukan terdepan, melainkan di belakang!
Dengan mengubah peta ranking pertama menjadi perintah “jadilah pelayan bagi semua orang”, Yesus menetapkan pola relasi manusiawi yang baru. Pola ini pertama-tama tidak untuk menjawab seperti apa yang dikhawatirkan Yakobus. Anda dan saya mau melayani bukan pertama-tama supaya tidak ada perselisihan. Tidak adanya konflik itu bukan tujuan, melainkan dampak! Namun, yang hendak diajarkan Yesus sebagai pola relasi manusiawi baru adalah: dengan melayani Anda menjadi orang yang bebas, tidak lagi diperbudak oleh nafsu rendah, yakni mendominasi dan menaklukkan sesamanya. Nilai relasi baru ini akan menolong manusia terangkat pada jati diri semula, yakni makhluk mulia, bukan makhluk serakah! Kemanusiaan secara otomatis akan terangkat derajatnya apa bila satu dengan yang lain saling melayani. Bahasa Paulus menganggap yang lain lebih utama (Filipi 2:3).
Dalam pengajaran-Nya ini, Yesus melibatkan anak kecil dan menempatkan-Nya di tengah-tengah mereka. Anak kecil menjadi pusat! “Siapa saja yang menyambut seorang anak seperti ini, dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Siapa yang menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”(Markus 9:37). Yesus tidak hanya memperagakan bahwa Ia mencintai anak-anak. Dalam kasus ini, anak kecil dijadikan-Nya “alat peraga”. Menyambut seorang anak kecil – seperti dicontohkan-Nya sendiri dengan memeluknya – berarti menerima dan melayani tanpa mengharapkan balasan, karena anak kecil itu tidak dapat membalas kebaikan yang diberikan kepadanya. Jadi, pelayanan yang serius itu adalah ketika kita melakukan tindakan kasih yang tidak akan terbalas oleh orang yang menerimanya. Jika kita melakukan tindakan pelayanan atau kasih dan mencanangkan bahwa suatu saat orang yang kita layani dapat membalas budi, itu mah bukan pelayanan. Investasi!
Dengan cara demikian, Yesus menyatakan bahwa menyambut dan melayani mereka yang tidak dapat memberikan balasan berarti menerima dan menyambut-Nya juga. Bukankah kita mengingat bahwa Yesus pernah menyamakan diri dengan mereka yang sama sekali tidak dipandang oleh dunia ini (Matius 25:31-46)? Apa yang dilakukan orang terhadap mereka, sesungguhnya juga dilakukan terhadap Yesus, apa yang tidak dilakukan terhadap orang-orang tidak yang dipandang oleh dunia ini, sesungguhnya tidak juga dilakukan untuk Yesus.
Kita juga harus mengingat bahwa Yesus adalah Anak Allah yang diutus untuk menyatakan kasih-Nya. Menyambut Yesus berarti juga menyambut Dia yang mengutus-Nya, yaitu Allah Bapa. Dengan melayani mereka yang tidak penting, sesungguhnya kita sedang melayani yang paling penting dan paling utama, yakni Allah sendiri!
Pria muda, berdasi, ganteng dan keren itu sama sekali tidak turun derajatnya ketika ia membersihkan sisa makanan dan membawa piring serta gelas kotor ke tempatnya. Malah, saya dibuatnya kagum! Bagaimana dengan Anda? Jangan bicara panjang lebar tentang pelayanan kalau bekas makanmu sendiri enggan dibereskan dengan dalil sudah membayar!
Jakarta, 19 September 2024, Minggu Biasa Tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar