Rabu, 11 September 2024

MURID SEJATI

Murid dalam kosa kata Yunani disebut mathētēs dari manthano dari akar kata math (mungkin juga serumpun dengan kata mathematic) yang menunjukkan pemikiran yang disertai dengan usaha untuk belajar dari orang lain melalui instruksi, baik formal maupun informal. John MacArthur bertutur bahwa mathētēyang berasal dari kata manthano itu “mengandung konotasi pembelajaran yang disengaja melalui penyelidikan dan pengamatan.” 

 

Dalam tradisi Yunani, seseorang disebut murid (mathētēs) ketika ia mengikatkan dirinya kepada orang lain untuk memperoleh pengetahuan praktis dan teoritis. Ia bisa saja seperti seorang yang sedang magang dalam bisnis perdagangan, atau seorang mahasiswa kedokteran, atau seorang yang menjadi anggota mazhab filsafat tertentu. Seseorang hanya dapat menjadi mathētēs (baca: murid sejati) jika bersedia berada di bawah bimbingan didaskalos: seorang guru atau maestro dalam bidang yang ditekuninya.

 

Dalam budaya filsafat Yunani, Plato, misalnya; mengembangkan sistem pemikiran dengan menyandang namanya. Kemudian ia melatih murid muda, namanya Aristoteles. Selanjutnya, Aristoteles mengembangkan pemikiran Plato dalam konteksnya sendiri yang dikenal dengan “Logika Aristoteles” Kemudian ia mendirikan sekolah yang disebut “akademi” untuk melatih banyak murid. Sistem pemuridan Yunani ini sangat efektif. Bahkan, setelah Roma menaklukkan Yunani, orang-orang Roma tidak dapat membasmi pengaruh Yunani. Benar, secara politik dan militer, orang-orang Yunani hidup di bawah kekuasaan Romawi, tetapi pemikiran, budaya dan prinsif hidup mereka tetap Yunani yang terlatih di setiap aspek kehidupan. Dan, pada akhirnya apa yang dipikirkan orang jauh lebih penting dan kuat dari pada apa yang dipaksakan oleh kekuatan eksternal terhadap mereka. Ini menolong kita untuk memahami mengapa Yesus menugaskan para murid untuk mengajar dan menjadikan semua bangsa murid-Nya.  

 

Pastilah Yesus ingin menanamkan pemahaman yang benar tentang misi Allah melalui diri-Nya kepada para murid. Mengapa? Ya, seperti pengalaman bangsa Yunani, prinsif hidup mampu menopang mereka menghadapi perubahan hidup termasuk ketika berada dalam penindasan Romawi. Apa yang menghantam mereka dari luar dapat dibendung oleh pengajaran yang tertanam di dalam dada setiap orang Yunani.

 

Yesus tidak ingin para murid-Nya keliru memahami diri-Nya. Layaknya sebuah pembelajaran, setelah sekian lama para murid itu hidup, belajar, berinteraksi, dan melakukan pelbagai kegiatan bersama Sang Guru. Kini di daerah Kaisarea Filipi, Didaskalos itu menguji pengetahuan mereka: “Kata orang, siapakah Aku ini?” (Markus 8:27). Untuk pertanyaan pertama, wawasan mereka cukup baik. Ada tiga jawaban yang mereka sampaikan. Ketiga jawaban itu mewakili pendapat orang banyak mengenai Sang Guru, yakni: pertama: Yohanes Pembaptis, kedua: Elia dan terakhir: seorang dari para nabi. Pendapat orang banyak ini tidak dapat dianggap remeh. Mereka mengakui Yesus bukan orang biasa. Yesus sejajar dengan tokoh-tokoh besar dalam agama Yahudi!

 

Sekarang, pertanyaan itu lebih menukik. Yesus bertanya mengenai pendapat mereka sendiri tentang diri-Nya, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” (Markus 8:29). Inilah untuk pertama kalinya Yesus menantang para murid untuk menyatakan pendapat mereka sendiri tentang diri-Nya. Seperti biasa, Petrus mewakili teman-temannya menjawab, “Engkaulah Mesias!”. Apa atau siapa itu “Mesias”? Dalam Perjanjian Lama, para imam dan raja Israel diurapi dengan minyak sehingga kedua jabatan ini mendapat gelar ‘mesias’, yang berarti ‘yang diurapi’. Hanya satu kali dalam Perjanjian Lama, seorang nabi diurapi. Nabi itu: Elisa (1 Raja-raja 19:16). Selain itu gelar mesias juga pernah dikenakan pada Koresh, raja Persia yang berperan besar dalam pembebasan orang Israel dari pembuangan di Babel (Yesaya 45:1).

 

Pada zaman Perjanjian Baru, gelar mesias ditujukan terhadap raja yang akan datang. Raja itu diyakini akan mendirikan kembali takhta Daud. Raja yang mampu mengembalikan zaman keemasan Israel. Raja sakti mandraguna yang mampu menumpas musuh-musuh umat kesayangan Allah. Dalam pengertian inilah Petrus mengenakan gelar mesias kepada Yesus! Sementara, Yesus sendiri tidak pada posisi itu! Karena itu, Petrus tidak dapat menerima ketika Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Mesias yang harus menderita sebagaimana terekam dalam kidung Deutero Yesaya. Ada empat kidung Deutero Yesaya yang mewartakan bahwa Mesias itu adalah tokoh penyelamat dalam rupa hamba Allah. Bisa jadi, Petrus dalam teman-temannya belum khatam membaca Yesaya. Benar, pengharapan mesianik dalam Perjanjian Lama umumnya berbicara tentang mesias politis. Ini akibat kehancuran Israel dan pembuangan mereka ke Babel (597-538 SM). Namun, cakrawala pandang mereka lebih luas lagi setelah masa pembuangan itu. Mesias bukan melulu sosok sakti mandraguna, tetapi juga tampil sebagai seorang hamba yang menderita.

 

Bacaan pertama minggu ini menunjukkan salah satu kidung Mesias sebagai hamba: Yesaya 50:4-9. Sosok Mesias yang menghamba ini digambarkan sebagai murid. Murid yang menerima tempaan dahsyat untuk mempertajam dan mengasah lidah serta telinga sehingga ia akan berkata benar dan bertahan dalam ketaatan ketika menanggung penderitaan. Tentu saja, Yesus ingin para murid-Nya juga berlaku demikian. Tidak melulu memimpikan takhta gemerlap dan kekuasaan tanpa batas!

 

Jelas, pernyataan dan pengakuan Petrus yang mewakili teman-temannya bahkan mewakili kita juga, bias. Pengharapan mesianik para murid dan juga kita bercampur dengan ambisi duniawi untuk menaklukkan dan berkuasa. Ini harus diluruskan kembali! Maka menjadi jelas buat kita, mengapa Yesus melarang Petrus dan murid-murid yang lain untuk tidak memberitakan diri-Nya sebagai mesias versi mereka. Mereka diminta untuk menunggu sampai pemahaman itu lengkap. Mereka diminta untuk mengikuti episode lampah Yesus sampai selesai, barulah setelah itu mereka akan menjadi saksi kebenaran tentang Mesias itu. Bukankah hal yang sama sering terjadi dalam kesaksian kita? Ingin buru-buru kesaksian tentang cerita sukses?

 

Petrus tidak puas dengan penjelasan Yesus, maka ia menarik dan menegur Yesus. Murid-murid yang lain pasti sependapat dengan Petrus bahwa Yesus keliru sekali, sehingga pantas ditegur. Namun, Yesus tegas menolak pandangan para murid-Nya. Teguran Petrus dipandang-Nya seperti godaan Iblis di padang gurun yang menghalang-halangi misi-Nya. Bukan guru yang harus mengikuti murid, melainkan muridlah yang harus mengikuti gurunya. Yesus yakin bahwa kalau murid-murid-Nya tidak mau mengikuti-Nya sampai akhir kematian yang hina, tinggal satu hal saja untuk dilakukan, yaitu bubar: mereka bukan murid sejati!

 

Hardikan tegas Yesus menunjukkan betapa tajamnya perbedaan pendapat-Nya dengan Petrus. Sesungguhnya jalan sengsara itulah yang ditetapkan Allah dan Petrus mencoba menghalanginya. Mencoba menghalangi dari jalan sengsara itu searti dengan mencobai Dia untuk tidak taat kepada Allah. Bukankah hal ini adalah pekerjaan Iblis, dan itu harus dienyahkan! 

 

Reaksi Petrus membuka kedok keyakinan murid-murid Yesus. Selama ini kriteria duniawi menentukan pikiran, keinginan dan langkah hidup mereka. Mereka tidak seperti murid-murid filsuf klasik Yunani yang akhirnya bertahan dari gempuran dahsyat fisik. Mereka sama sekali tidak peduli akan pikiran Allah tetapi selalu terikat pada hal-hal dunia sehingga mereka berpihak pada iblis yang menghalangi rancangan Allah untuk mewujudkan Kerajaan-Nya. Petrus menjadi juru bicara musuh besar Allah. Teguran keras Yesus tidak tertuju pada Petrus seorang diri saja, melainkan pada semua murid-Nya, termasuk Anda dan saya!

 

Dari kisah ini kita belajar. Pertama, menjadi murid sejati berarti bersedia memahami dengan lengkap ajaran Kristus, tidak setengah-setengah, apalagi membawa pikiran sendiri yang terpengaruh dengan nafsu duniawi. Kedua, bukan murid yang mengatur guru, tetapi gurulah yang mengatur muridnya. Bukan kita yang mengatur Tuhan, melainkan tunduklah kepada yang dikehendaki oleh Tuhan. Cobalah periksa doa-doa kita, mana yang lebih banyak: tunduk dan bersedia mendengar suara-Nya atau sibuk mengatur Tuhan memenuhi segala keinginan kita?

 

 

Jakarta, 11 September 2024, Minggu Biasa Tahun B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar