Anda pasti setuju dengan saya bahwa, kata “toleransi” itu adalah kata yang indah didengar. Indah ketika Anda yang minoritas dapat dipahami, diakui dan diterima sebagai entitas bahkan saudara. Namun, percayalah kata ini merupakan ganjalan, seperti duri dalam daging ketika Anda ada pada posisi pemegang otoritas dan mayoritas!
Anda pasti setuju juga dengan saya bahwa, kata “toleransi” itu tidak hanya ada pada tataran casing: ucapan manis di bibir. Namun, seperti makna mendasar tolelare yang sederhananya berarti: “menanggung”, “menerima dengan sabar”, atau “membiarkan”. Percayalah, bahwa keindahan toleransi yang berbalut kata ramah dan budi yang sumringah ketika tidak benar-benar tembus pada kedalaman hati yang mau menanggung, menerima dengan sabar apa yang menjadi pergumulan dan beban berat si liyan itu, tidak lebih dari pencitraan. Munafik!
Kemunafikan dipertontonkan pada zaman Yesus oleh para pemuka agama Yahudi. Memang tidak semua pemuka Yahudi seperti itu. Umumnya dalam perjumpaan Yesus dengan para ulama Yahudi diwarnai tema utama tentang kemunafikan. Bukankah kemunafikan juga terjadi di sepanjang zaman dan kalangan mana pun termasuk gereja yang di dalamnya ada Anda dan saya? Kita bicara tentang toleransi dan kepedulian namun enggan menanggung dan menerima dengan sabar orang-orang yang berbeda dengan diri kita. Si liyan itu tidak mungkin selamat, mereka itu tempatnya di neraka, atau kita peduli dan melakukan kebaikan agar mereka bisa masuk dalam komunitas kita. Pamrih!
Pamrih dan munafik adalah dua kata yang dibenci Yesus. Masihkah gereja atau kita mau melanggengkannya? Hari ini kita menikmati kisah perjumpaan Yesus dengan si liyan yang muncul dalam sosok seorang ibu dari Siro-Fenisia, Yunani. Kisah ini jauh dari pamrih dan munafik alih-alih memunculkan makna hakiki dari kepedulian universal: tolelare!
Sang ibu digambarkan tidak bernama, ini lazim dalam budaya patriakal totok. Kita sebut saja ibu ini dengan sapaan Liyan. Liyan adalah perempuan Yunani keturunan Siro-Fenisia. Keterangan ini menandakan bahwa ia tidak berkebangsaan Yunani, tetapi berkebudayaan Yunani. Anak perempuan Liyan menderita parah akibat kerasukan roh jahat. Ini lazim, penderitaan dan sakit kerap dikaitkan dengan ulah roh jahat yang merasuki tubuh seseorang.
Yesus, bak Paus yang berkunjung ke sebuah negara, kedatangan-Nya menghebohkan jagat raya. Sama seperti orang-orang begitu antusias menanti dan menyambut kedatangan Paus, begitu mendengar Yesus datang di kotanya, Liyan segera bergegas, gas pol meluncur menjumpai Yesus. Rupanya Liyan telah banyak mendengar kehebatan Yesus dalam menaklukkan kuasa jahat dan menyembuhkan pelbagai penyakit yang mendera manusia. Keyakinannya bermula dari berita kata orang!
Liyan datang dengan penuh pengharapan bahwa Yesus dapat mengangkat penderitaan anak perempuannya itu. Ini jelas, setiap ibu pasti akan melakukan apa pun untuk menolong penderitaan anaknya. Harapan itu semakin membuncah ketika ia melihat wajah Yesus. Kini, Liyan berhasil menerobos orang banyak dan ia tepat berhadapan muka dengan Sang Idola. Tanpa membuang waktu, Liyan menumpahkan segala kegundahannya. Ia berharap Yesus segera menanggapi dan membebaskan anaknya dari jerat kuasa roh jahat itu.
“Biarkan anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing!” (Markus 7:27). Bagaimana perasaan Anda kalau menjadi si Liyan? Situasi genting, sang anak dalam penderitaan berat, berharap sosok yang dipercaya ini dapat menolong, namun jawaban terhadap harapan Anda seperti itu? Saya pastikan Anda akan ambil mode balik badan dan meninggalkan-Nya! Namun, Liyan tidak melakukannya. Demi sang anak yang menderita itu, Liyan mengemis!
Pada pihak lain, apakah perkataan Yesus itu adalah bentuk penghinaan yang diskriminatif dan rasisme sehingga menyebut Liyan dengan anjing? Sepintas begitu, jika kita menanggapi dari sisi budaya Yahudi. Bagi orang Yahudi, anjing adalah binatang najis. Anjing harus dihindari, tidak boleh disentuh, maka mereka tidak akan membiarkan anjing masuk ke dalam rumah, apalagi berbaring di bawah meja makan, sementara ia dan anak-anaknya sedang makan. Jelas, jawaban Yesus dengan memakai perumpamaan ini bukan diambil dari kebiasaan orang Yahudi. Kalau demikian apa yang dapat dijelaskan?
Yesus sering menggunakan perumpamaan dari sudut pandang pendengar atau lawan bicara-Nya untuk mengajar. Ingat, percakapan dengan si Liyan ini terjadi bukan di wilayah otonom Yahudi, melainkan di Tirus. Liyan adalah seorang Yunani berkebangsaan Siro-Fenisia. Perumpamaan yang dipakai Yesus diambil dari kebiasaan orang Yunani yang tidak menganggap anjing itu binatang najis alih-alih kesayangan dalam keluarga. Jadi, perempuan itu kemungkinan tidak merasa terhina dan Yesus juga tidak bermaksudmenghinanya.
Perumpamaan ini luar biasa, keren! Mengapa? Ia punya dua dimensi. Dimensi pertama, bagi orang-orang Yahudi akan terasa nyaman karena mengakomodasi superioritas mereka. Mereka adalah “anak-anak”, umat kesayangan Allah, sementara Liyan dan sebangsanya pantas disebut anjing. Pada pihak lain – karena budaya yang berbeda – si Liyan tidak ambil pusing. Apa yang diucapkan Yesus bukanlah tindakan atau perkataan rasis. Kedua budaya dan keyakinan teologis ada di hadapan Yesus dan Yesus sanggup mengajar kedua-duanya: Yahudi dan non Yahudi!
Lalu, bagaimana si Liyan menanggapi sikap Yesus? “Benar Tuhan. Namun, anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.” (Markus 7:28). Tentu, ini bukan tanggapan teologis. Liyan menyampaikan jawaban sesuai dengan yang ia lihat dalam kesehariannya. Benar, para tetangga Liyan yang memelihara anjing tentu tidak akan mengambil makanan yang disediakan untuk anak-anak mereka lalu memberikannya kepada anjing. Jika hal itu dilakukan maka anak-anak tidak akan bisa makan tetapi justru anjinglah yang makan dan kenyang. Anak-anaklah yang harus didahulukan, baru setelah kenyang, sisanya diberikan pada ajing-anjing itu. Cengli!
Jelas, apa pun itu, Liyan tahu dalam menempatkan diri. Ia bersedia menerima “remah-remah” atau sisa makanan. Bagi Yesus, perkataan Liyan menunjukkan kepercayaannya. Karena perkataan itulah, Yesus kemudian mengatakan kepadanya bahwa setan telah keluar dari anaknya. Mendengar perkataan itu, Liyan segera pulang. Ia mendapati anaknya berbaring di tempat tidur dan sudah terbebas dari roh jahat.
Yesus yang penuh belas kasih tidak pernah memandang muka. Benar, di permukaan seakan terlihat ada pembedaan mencolok prioritas pelayanan; anak harus dilayani terlebih dahulu, lalu anjing makan remah. Dalam metode pembelajaran yang digunakan Yesus, justru kita melihat apa yang dilakukan-Nya adalah untuk mengajar orang dalam budaya dan tradisi mereka sehingga apa yang disampaikan-Nya dapat dipahami sesuai konteks dan kebutuhan para pendengar-Nya. Hasil akhir dapat kita lihat bahwa Yesus tidak membeda-bedakan orang. Pengajaran, karya dan mukjizat-Nya tidak hanya untuk orang dalam saja, melainkan untuk siapa pun yang menyambut dan berharap kepada-Nya.
Yakobus mengingatkan kita, agar kasih dan perlakuan terhadap orang lain jangan dilandasi karena “memandang” muka, melainkan semata-mata karena cinta kasih itu sendiri (Yakobus 2:1-13). Pelajaran ini tidak mudah karena melawan kebanggaan dan kenyamanan diri. Namun, apa yang tidak mudah itu bukan tidak mungkin. Yesus telah mencontohkannya, kepedulian itu nyata terhadap orang yang berbeda dan mungkin juga status sosial yang timpang. Gereja toleran bukan sekedar gereja yang sibuk melakukan ini dan itu supaya dipandang toleran untuk sebuah pencitraan dan agar keberadaannya tidak terusik. Gereja yang toleran adalah gereja yang tolerare yang melakukan tindakan kasih itu tidak pura-pura tetapi mau sepenanggungan dan solider seperti Tuhan Yesus sendiri. Dan, ingatlah bahwa gereja itu adalah orangnya: Anda dan saya!
Jakarta, 5 September 2024. Minggu biasa tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar