Kamis, 29 Agustus 2024

HATI SEORANG PEMIMPIN

Untuk mengatasi serangan tikus, pada abad ke-19 pemerintah kolonial Perancis di Hanoi mengeluarkan suatu peraturan: Siapa saja yang dapat menangkap tikus, dan menyerahkan bangkainya kepada pemerintah akan mendapat imbalan atau hadiah. Sejak saat itu banyak tikus yang terbunuh. Namun, banyak juga yang dikembangbiakkan khusus untuk tujuan tersebut. Mereka mengembangbiakkan tikus-tikus itusetelahmencapai ukuran tertentu kemudian dibunuh dan bangkainya diserahkan kepada pemerintah untuk mendapatkan hadiah. Ketahanan pangan yang terancam, bukan lagi menjadi keprihatinan mereka. Jelas, tujuan pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan, meleset!

 

Hukum atau peraturan selalu bisa diakali untuk tujuan memperoleh keuntungan. Para politisi culas biasanya sangat piawai dalam bermain undang-undang. Undang-undang dijadikan tameng untuk meraih, menjaga dan memperluas kekuasaan. Oportunis! Selanjutnya, otoritas dan kontrol menjadi instrumen untuk melanggengkan kekuasaan.

 

Di permukaan, para pemimpin Yahudi pemegang otoritas begitu saklek dan tidak kenal kompromi memelihara kekudusan mereka dengan alat yang bernama hukum Taurat dan turunannya sehingga menjadi tradisi yang mengurat-akar dalam komunitas mereka. Dengan hukum yang telah mendarah-daging itu mereka dapat memisahkan antara yang najis dan yang tahir. Tentu dapat diduga, mereka yang memegang otoritas adalah kelompok saleh yang tahir di hadapan Allah. Para pemimpin yang tahir ini terpanggil untuk melanggengkan garis pemisah dari sebuah sistem ketahiran tersebut.

 

Di lain pihak, Yesus justru berusaha untuk mempersatukan umat manusia. Dalam kiprah-Nya, Yesus berusaha meniadakan batas-batas pemisah antara orang-orang saleh dan kelompok yang disebut pendosa (Markus 2:15-17), antara yang tahir dan yang najis – dan dengan sendirinya – antara orang Yahudi dan orang-orang kafir. Perjuangan yang dilakukan Yesus dianggap merongrong kewibawaan pemegang otoritas Taurat. Maka Yesus telah menjadi target operasi yang gerak-gerik-Nya harus diawasi dengan ketat. Yesus terus menjadi bahan pembicaraan di kalangan pemimpin agama Yahudi di Yerusalem. Berdasarkan pengamatan tersebut, mereka mengutus beberapa orang, yakni : orang-orang Farisi dan ahli Taurat, sengaja datang dari Yerusalem untuk menemui Yesus.

 

Para utusan dari Yerusalem ini menyaksikan sendiri bahwa para murid Yesus makan dengan tangan najis. Mereka makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Tentu saja ditinjau dari aspek kesehatan, mencuci tangan sebelum makan adalah perkara yang baik dan dianjurkan. Mencuci tangan dapat meminimalkan kotoran, kuman, atau virus dapat terbawa dalam makanan dan tertelan masuk dalam tubuh. Namun, yang dipersoalkan di sini bukan perkara higenitas. 

 

Dalam tradisi Yahudi, tanpa mencuci tangan itu berarti najis! Setiap saat ada kemungkinan bahwa tangan seseorang menyentuh sesuatu yang najis. Artinya, tanpa mencuci tangan membuat orang secara ritual kotor. Misalnya, tangan dapat menyentuh makanan yang haram, menyentuh binatang najis seperti daging babi dan anjing, menyentuh perempuan yang sedang haid, dan sebagainya. Tanpa mencuci tangan, tangan itu akan bersentuhan dengan makanan bila, orang itu mengambil makanan dan menyuapkan ke dalam mulutnya. Makanan yang tersentuh dengan tangan najis akan menjadi najis. Lebih najis lagi ketika makanan itu masuk ke dalam tubuh: seluruh tubuh menjadi najis!

 

Bagi komunitas Yahudi, orang-orang yang najis tidak layak ambil bagian dalam ibadat mereka. Mengapa? Sebab, mereka kotor, mereka najis di hadapan Allah. Sekali lagi, ini bukan sesederhana karena alasan kesehatan, ini menyangkut ibadah dan sistem ketahiran di hadapan Allah! Orang-orang Yahudi, terutama dari golongan Farisi menjunjung tinggi aturan ini karena mereka ingin menghadap Tuhan dengan tubuh yang bersih.

 

Anda dapat membayangkan, para pemimpin Yahudi yang telah hidup dalam tradisi seperti ini lalu melihat para murid Yesus yang makan tanpa terlebih dahulu mencuci tangan? Ya, ini adalah pelanggaran berat! Mereka protes, “Mengapa para murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” 

 

Bagaimana reaksi Yesus? Ia tidak menjawab tuduhan dan keberatan mereka, tetapi balik mengecam dengan keras dengan mengutip nubuat Yesaya, “… bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, sedangkan hatinya menjauh dari Aku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang diajarkan adalah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan dan adat istiadat manusia kamu pegang.” (Markus 7:6-8). Padahal, jauh sebelumnya, melalui Musa TUHAN telah memberi peringatan kepada mereka untuk mendengar ketetapan Allah dan jangan menambahi apa yang sudah diperintahkan. Mereka diminta untuk bijak melakukan dengan setia apa yang diperintahkan Allah sehingga dampaknya menjadi kesaksian bagi bangsa-bangsa (Ulangan 4:1-2, 6-9).

 

Yesus menyebut mereka sebagai orang-orang yang munafik. Munafik: tampaknya mereka hidup saleh memberlakukan hukum dan aturan dengan begitu ketat, tidak boleh ada kesalahan. Mereka menekankan kesucian dan kebersihan badani sebagai tanda umat yang kudus. Sebaliknya, menurut Yesus mereka mengabaikan ibadah dan kesucian batiniah. Padahal, yang dikehendaki Tuhan bukanlah kesucian lahiriah yang dibuat manusia yang pada akhirnya membangun sekat dan tembok pemisah antara yang najis dan yang tahir. Menurut Yesus, percuma mereka memelihara aturan yang pada akhirnya tidak menjangkau tujuan, yakni menjadi berkat agar mereka yang berdosa dapat kembali mengalami hidup persekutuan dengan umat Allah dan merasakan kasih-Nya.

 

Perkara cuci tangan dan makanan yang disebut najis, buat Yesus bukanlah pokok persoalan utama. “Tidak ada sesuatu pun dari luar seseorang, yang masuk ke dalam dirinya, dapat menajiskannya, melainkan hal-hal yang keluar dari dalam diri seseorang, itulah yang menajiskannya.” (Markus 7:15). Dengan kata lain, Yesus menyatakan bahwa, “Kamu boleh makan apa saja tanpa khawatir karena semua yang masuk ke dalam mulut tidak dapat menajiskanmu.” Sekali lagi harus kita pahami, Yesus tidak sedang mengajari kita makan segala-galanya untuk memuaskan nafsu makan kita. Bukan itu! Tetapi Ia sedang berbicara tentang sumber yang dapat menajiskan orang. Sumber itu ada dalam hati manusia!

 

Menurut Yesus, sumber kenajisan ada dalam batin manusia, bukan oleh tindakan lahiriah seperti makan dan minum. Hati dipahami oleh umat Yahudi sebagai sumber dari segala apa yang tercermin dalam perilaku. Hati adalah pusat kepribadian manusia. Keadaan hati manusia menentukan seluruh aksi dan non-aksi manusia. Jadi, ketimbang mempermasalahkan najis atau tahirnya seseorang dari perilaku cuci tangan dan makan makanan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepribadian dan akhlaq manusia, Yesus mengajak pendengar-Nya untuk menelusuri dan membereskan hati nurani mereka. Pada kenyataannya, Yesus tidak menolak hukum Musa, tetapi dalam hal ini Ia merekonstruksi pemikiran yang keliru bahwa manusia dapat tahir di hadapan Allah hanya dengan memperhatikan, memelihara dan melakukan segala ketetapan ketahiran yang terus diturun-alihkan oleh para penjaga kesucian Yahudi. Bagi Yesus, segala ketetapan itu tidak akan mampu membersihkan kenajisan manusia, jika hati manusia tidak disentuh dan terbuka untuk kebenaran firman Allah. 

 

Ketika hati kita terbuka dan menerima kebenaran firman Allah, maka dengan sendirinya segala kenajisan yang disebut sebagai keberdosaan di hadapan Allah itu akan mampu kita buang, “Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.” (Yakobus 1:21). Jadi, bukan dengan menjaga makanan yang masuk ke dalam tubuh, tetapi dengan memperbaiki hati, yakni: hati yang menyambut firman yang berkuasa. Itulah yang akan menyelamatkan jiwa kita!

 

Jakarta, 29 Agustus 2024, Minggu Biasa Tahun B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar