BJ Fogg, pendiri Laboratorium Perilaku di Stanford university dalam karyanya, “Tiny Habits” menyebut bahwa motivasi itu sifatnya fluktuatif atau “Gelombang Motivasi”. Itulah sebabnya dalam diri kita sering terjadidorongan menggebu-gebu untuk melakukan sesuatu: Motivasi puncak. Namun, kemudian tiba-tiba kita dapat kehilangan semangat: Anjlok! Menurut Fogg, bukan Anda yang salah, memang begitulah cara motivasi bekerja dalam diri kita.
Setiap akhir tahun ada jutaan orang melakukan resolusi namun kebanyakan gagal justru di bulan-bulan pertama. Alasan pembenarannya bermacam-macam. Kalau Anda pernah membeli sebuah alat terapi kesehatan, seperti yang ditawarkan media-media pengiklan, saya dapat menduga kemungkinan besar Anda tidak ingat lagi kapan alat itu Anda gunakan. Lalu, ingat tidak, juicer sayur yang dijual oleh pria tampan bugar di mal itu? Ya, juicer itu hanya digunakan beberapa kali selanjutnya tersimpan dengan alat-alat lainnya di lemari.
Inilah yang oleh Fogg disebut perangkap motivasi dalam jebakan umum pikiran manusia – Anda terlalu tinggi berharap pada motivasi untuk kelangsungan masa depan. Dalam hal ini Anda tidak bodoh, atau diperdaya: Anda adalah manusia! Jadi, mengapa kita terombang-ambing oleh Gelombang Motivasi walaupun kita tahu bahwa kita kelewat optimis? Jawabnya, saat Anda terdorong untuk bertindak dalam cara yang kelihatannya seperti ide bagus, bahkan diperlukan, di sini Anda merasakan sesuatu: entah itu gairah, kegembiraan, atau rasa takut, tidak penting yang mana – apa pun itu yang memotivasi perilaku dengan segera akan dirasionalisasi oleh otak Anda.
Manusia pada dasarnya adalah pemimpi, jadi kita semua punya beberapa impian setinggi langit yang tersimpan di saku belakang kita. Namun, di sanalah mereka sering kali tertinggal – sebagian karena kita tersandung oleh motivasi plin-plan. Jadi, bagaimana caranya kita mengeluarkan aspirasi kita dari dalam saku dan mulai mewujudkannya tanpa harus tergantung pada motivasi?
Jawabnya: Kelola aspirasi! Aspirasi adalah hasrat abstrak, keinginan yang tersimpan jauh di lubuk hati kita. Inilah yang seharusnya benar-benar kita kenal. Kita harus berani bertanya, apa yang sesungguhnya saya inginkan? Dalam kaitan dengan iman: Apa hasrat saya sebenarnya ketika menyatakan diri untuk mengikut Yesus? Bacaan Injil Minggu ini memerlihatkan orang banyak yang mengikut Yesus terperangkap dalam jebakan Gelombang Motivasi. Mereka menggebu-gebu mencari dan mengikuti-Nya. Mereka mengejar Yesus karena mereka telah menikmati mukjizat roti itu. Motivasi mereka naik melambung tinggi, namun tidak rasional! Sehingga ketika Yesus meminta mereka bekerja untuk makanan yang tidak dapat binasa, motivasi mereka langsung drop.
Mengapa motivasi itu drop? Ya, kita bisa menduganya karena aspirasi atau hasrat yang tersembunyi di saku mereka adalah makanan gratis, kemudahan dan kemuliaan hidup yang berupa kesuksesan dan kekuasaan. Berapa banyak orang Kristen yang mula-mula tepukau karena tawaran kemudahan, mukjizat dan kesuksesan yang akhirnya harus kecewa dengan kenyataan bahwa yang mereka hadapi tidak sesuai dengan hasrat yang tersembunyi itu? Atau kalau pun masih mengaku Kristen, akan mencari aliran-aliran yang sesuai dengan hasrat yang tersembunyi itu.
“Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi. Tetapi Aku telah berkata kepadamu: Sungguhpun kamu telah melihat Aku, kamu tidak percaya.” (Yohanes 6:35-36). Yesus mencoba menawarkan pengganti hasrat roti fisik dengan roti metafisik. Ia ingin orang banyak yang berbondong-bondong itu mengubah hasrat duniawi – yang walaupun tidak bisa diabaikan, itu penting – dengan hasrat atau aspirasi yang jauh lebih mulia, yakni percaya kepada-Nya sebagai roti hidup yang diberikan oleh Sang Bapa, namun mereka tidak percaya!
Ketidakpercayaan mereka bukan saja karena mereka tahu Yesus anak Yusuf. Namun, mereka enggan untuk mengubah hasrat itu. Sebab, dari hasrat itulah akan tercermin perilaku hidup sehari-hari. Bukankah perilaku kita sebenarnya cerminan dari apa yang menjadi hasrat kita? Seberapa banyak dari kita yang tetap ngototmempertahankan hasrat duniawi itu bahkan ketika kita tetap mengaku diri sebagai anak-anak Tuhan?
Padahal, Yesus menjanjikan lebih dari apa yang mereka anggap penting, “Akulah roti hidup yang telah turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (Yohanes 6:51). Roti yang disebut “daging-Ku” jelas bukan harafiah. Kita ingat dalam prolog Yohanes, Yesus adalah firman yang menjadi daging (Manusia). Memakan “daging-Nya” berarti menerima firman yang diperagakan dan diajarkan oleh-Nya. Seperti roti yang dicerna tubuh, lalu menjadi energi yang menumbuhkan dan menggerakkan tubuh. Firman yang menjadi daging itu mestinya dipercayai, diterima, dimakan, dicerna dan akhirnya menjadi perilaku dalam hidup. Itulah yang oleh Fogg disebut elemen kedua (perilaku hidup) yang bermuara pada hasil akhir. Hasil akhir dalam konteks kita hari ini adalah menjadi manusia baru yang tidak lagi menjadikan perkara duniawi sebagai tujuan hidup!
Paulus menolong kita melihat perilaku manusia baru itu. Manusia yang menjadikan menu daging Anak Manusia sebagai makanannya. Paulus mengatakan pembaruan itu bermula dari roh dan pikiran (Efesus 4:23). Mengapa dimulai dari roh dan pikiran? Ya, karena roh dan pikiran itulah yang disebut Frogg sebagai “saku belakang” tempat menyembunyikan hasrat kita. Tanpa dimulai dari sana mustahil pembaruan itu terjadi. Di sini dibutuhkan kerelaan kita untuk menguras isi saku kita. Ya, dikuras tuntas sampai habis. Barulah dapat diisi oleh roti hidup itu.
Perilaku manusia ciptaan baru itu akan tercermin dari pikiran, tutur kata dan perbuatan. Lihat yang dicatat Paulus dalam bacaan ke-2 Minggu ini (Efesus 4:25-5:2). Perilaku inilah yang akan menunjukkan keniscayaan bahwa seseorang telah menjadikan firman yang menjadi daging itu adalah santapan kesehariannya. Jelas, Yesus tidak bermaksud kalau orang telah menikmati “daging-Nya” berarti perutnya tidak lapar lagi. Bukan itu! Namun, perilaku dan tanggungjawabnya sebagai anak-anak Tuhan akan sangat nyata. Ia tetap akan bekerja keras untuk makanan duniawi tetapi tidak serakah dan tamak. Ia tetap akan pergi ke rumah sakit dan berobat ketika ia menderita sakit, namun sekali pun tidak kunjung sembuh ia tetap yakin bahwa tidak ada yang memisahkan dirinya dengan kasih Kristus, bahkan maut sekalipun.
Percayalah kepada Allah karena Dialah yang sanggup memberikan roti surgawi. Ia yang mampu mengubah hasrat sia-siamu menjadi keinginan untuk selalu mengerjakan apa yang diajarkan dan dicontohkan Kristus. Percaya ketika engkau mendapatkan roti hidup itu, maka hanya ada syukur dan kedamaian. Engkau tidak membutuhkan yang lain, karena yang engkau butuhkan akan ditambahkan kepadamu. Percaya kepada Allah bukan sekedar pengakuan dan perasaan, tetapi akan mengubah semua perilaku burukmu menjadi manusia yang bertabiat “ilahi”. Tidak mudah, iya! Maka, banyak orang bersungut-sungut lalu mundur. Tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Percayalah, di ujungnya nanti hidup kekal yang penuh dengan kedamaian itulah yang akan memuaskan hasrat hatimu!
Magelang, 8 Agustus 2024. Minggu biasa tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar