Pecandu musik gendre rapp tanah air pasti tidak asing dengan suara Saykoji. Sosok gemoy pemilik nama asli Ignatius Rosoinaya Penyami ini suatu kali diwawancarai penulis buku kondang: Hendry Manampiring. Dalam buku yang paling anyar, The Compass terekam obrolan asyik itu. Obrolan itu mengarah pada motivasi Saykoji untuk menurunkan berat badan.
Sebelum menjawab lebih jauh, Saykoji berkisah tentang masa kecilnya yang tidak mudah mendapatkan makanan seperti yang ia mau. Tidak punya akses berkalori tinggi, katanya. Berat badannya mulai naik ketika ia mulai berpenghasilan lebih dari yang dibutuhkannya. Bahkan, bukan sekedar makanan, kesenangan lain pun dapat ia beli. Saykoji dapat menikmati apa yang ia mau!
Kini hasil menikmati apa yang Saykoji inginkan, berat badannya menyentuh 140 kg. Tentu saja ia menyadari, ini tidak nyaman dan tidak aman. Di tengah himpitan waktu, ia bertekad mengelola tubuhnya dengan gaya hidup sehat dengan cara mengubah mindset. “Sekarang gw masih bisa menikmati makanan yang gw suka. Mindset-nya bukan untuk mengisi ‘kekosongan’, tetapi ini fuel (bahan bakar). Setelah makan, ini jadi bahan bakar gw buat beraktivitas. Gw memutuskan untuk hidup lebih aktif aja. Jadi liat lebih banyak hal yang bisa jadi inspirasi. I see real life sehari-hari yang menurut gw lebih mengisi diri, dari pada di rumah hanya makan dan Netflix-an.”
Bagi banyak orang kata “menikmati” merupakan impian. Hidup dalam kesulitan, tidak dapat membeli makanan atau memenuhi hobi merupakan penderitaan. Ketika punya uang, punya jabatan dan kesempatan di sinilah kenikmatan itu! Apakah sungguh-sungguh kenikmatan itu membawa kita pada kebahagiaan? Belum tentu! Mengecap dan menikmati makanan lalu mensyukurinya sebagai berkat Tuhan adalah perbuatan yang baik. Namun, jika sesudah itu tidak melakukan apa-apa selain berbaring dan mencari kenikmatan serupa adalah perbuatan yang membahayakan.
Yesus memanggil, mengundang orang banyak untuk datang kepada-Nya. Kepada mereka Ia memberikan makanan dan pemulihan. Pada akhirnya, Yesus mengajak orang untuk bisa menikmati roti hidup yang Ia tawarkan, kata-Nya: “Akulah roti hidup yang telah turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.”(Yohanes 6:51).
Sejak awal karya-Nya, banyak orang tertarik untuk menikmati apa yang diberikan Yesus. Banyak orang berbondong-bondong datang untuk menikmati mukjizat pemulihan dan kenyangnya perut. Tidak salah, memang itu yang mereka butuhkan. Sayang, kenikmatan-kenikmatan itu tidak menghantar mereka memahami apa selanjutnya yang harus mereka lakukan. Anda bayangkan, jika kenikmatan-kenikmatan itu hanya untuk dikonsumsi oleh diri sendiri, apa yang bakal terjadi? Tentu saja seperti yang dialami Saykoji dan banyak orang yang mengalami over wight, lalu menimbun penyakit di dalam tubuh-Nya.
Sama seperti Elia yang diberi roti bakar dan air kendi dalam kepenatannya. Lalu, sesudah itu ia harus pergi ke Gunung Horeb untuk tugas selanjutnya. Yesus memberi kita makan makanan surgawi bukan selanjutnya untuk berleha-leha. Namun untuk sebuah lampah karya yang harus kita lakukan. Seperti kesadaran Saykoji bahwa ia makan apa yang ia sukai tapi dengan mindset sebagai fuel (bahan bakar) untuk melakukan sebuah tugas mulia.
Apa yang terjadi ketika kita menikmati roti surgawi dengan benar? Yesus mengatakan lebih lanjut, “Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barang siapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” (Yohanes 6:56-57). Perhatikan bagian ini: Yesus hidup dan diutus oleh Bapa. Dan, sekarang hal yang sama Ia lakukan untuk kita. Jika kita hidup dengan menikmati, dalam hal ini makan daging-Nya dan minum darah-Nya maka yang terjadi adalah sama seperti relasi Bapa dan Anak, kita akan hidup dan bekerja seperti Yesus hidup dan bekerja!
Daging dan darah yang dimaksud jelas bukan menunjuk pada hal fisik. Dalam Injil Yohanes sejak dari awal diberitahu bahwa Yesus adalah firman yang menjadi manusia. Memakan daging dan minum darah Yesus berarti menikmati persekutuan dengan-Nya. Dalam bahasa khas Yohanes inilah yang dimaksud dengan tinggal di dalam Yesus. Yesus ingin kita tinggal di dalam Dia, sama seperti diri-Nya di dalam Bapa.
Jelas, menikmati roti surgawi bukan seperti menikmati kesenangan duniawi. Namun, sayangnya masih banyak orang yang terbelenggu dengan sikap seperti ini. Tidak heran banyak orang menganggap hidup yang diberkati Tuhan itu adalah hidup yang berkelimpahan dengan segala kenyamanan yang dapat dinikmati. Padahal, hidup seperti ini adalah hidup yang bahaya.
Menikmati roti surgawi tidak seperti itu. Menikmati roti surgawi adalah hidup dalam persekutuan yang berkualitas dengan “Sang Roti” itu. Sebagaimana makanan yang oleh Saykoji disebut bahan bakar untuk melakukan segala aktivitasnya, maka buah dari hidup bersekutu yang berkualitas dengan Yesus akan menjadi bahan bakar kita melakukan segala sesuatu seperti apa yang Yesus lakukan. Dengan menikmati roti surgawi itu, seperti yang dikatakan Paulus, kita akan dapat hidup dengan seksama, artinya hidup bijaksana tidak mabuk oleh kesenangan duniawi, melainkan memanfaatkan waktu dan kesempatan dengan efektif untuk mengerjakan apa yang Tuhan kehendaki (lihat bacaan ke-2, Efesus 5:15-20).
Roti surgawi yang menjadi “bahan bakar” kita beraktivitas akan menolong kita mengerjakan pekerjaan yang mungkin saja nyaris tidak mungkin dikerjakan oleh sebagian besar orang. Roti surgawi itu akan membuat kita mampu mengampuni orang yang telah menyakiti dan melukai kita. Roti surgawi itu akan menolong kita untuk mengasihi orang-orang yang dipandang oleh dunia ini tidak layak untuk dikasihi. Roti surgawi itu akan menolong kita melintasi jalan terjal yang sepi. Pendek kata, kita akan menempuh segala ketidak-mungkinanmenjadi mungkin, sama seperti yang sudah ditempuh oleh Tuhan Yesus. Persekutuan erat dengan Sang Bapa, ketaatan dan kesetiaan-Nya itulah yang memungkinkan Yesus menyelesaikan tugas-Nya sampai akhir. Hal serupa akan terjadi dengan Anda dan saya ketika menikmati roti surgawi, ketika kita menjalin relasi persekutuan yang berkualitas dengan Yesus.
Pergunakanlah waktu yang tersisa. Bukan hanya menikmati roti surgawi untuk kesenangan diri sendiri. Mencari dan mengejar mukjizat untuk kemuliaan, kenyamanan dan kesuksesan diri sendiri. Berhentilah memuaskan diri sendiri meski hal itu dilakukan atas nama roti surgawi. Jadikanlah roti surgawi itu menjadi “bahan bakar” dalam kehidupan kita, sehingga apa pun yang kita kerjakan akan dilakukan dengan sebaik-baiknya seperti untuk Tuhan. Apa pun yang kita kerjakan merupakan cerminan dari Sang Roti hidup yang sesungguhnya itu!
(Jangan lupa bagi yang memanfaatkan tulisan ini buat khotbah, transfer 10% viatikumnya)
Jakarta, 15 Agustus 2024, Minggu Biasa tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar